Sebelum dikeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1956, Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar merupakan daerah yang terdiri dari tiga kewedanaan yaitu:
1. Kewedanaan Seulimum
2. Kewedanaan Lhoknga
3. Kewedanaan Sabang
Akhirnya dengan perjuangan yang panjang Kabupaten Aceh besar disahkan menjadi daerah otonom melalui Undang-undag Nomor 7 Tahun 1956 dengan ibukotanya pada waktu itu adalah Banda Aceh dan juga merupakan wilayah hukum Kotamadya Banda Aceh.
Sehubungan dengan tuntutan dan perkembangan daerah yang semakin maju dan berwawasan luas, Banda Aceh sebagai pusat ibukota dianggap kurang efisien lagi, baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang. Usaha pemindahan Ibukota tersebut dari Wilayah Banda Aceh mulai dirintis sejak tahun 1969, dimana lokasi awalnya dipilih Kecamatan Indrapuri yang jaraknya 25 km dari Banda Aceh Usaha pemindahan tersebut belum berhasil dan belum dapat dilaksanakan sebagaimana diharapkan.

Kemudian pada tahun 1976 usaha perintisan pemindahan ibukota untuk kedua kalinya mulai dilaksanakan lagi dengan memilih lokasi yang lain yaitu di Kecamatan Seulimum tepatnya kemukinan Janthoi yang jaraknya sekitar 52 km dari Banda Aceh.
Akhirnya usaha yang terakhir ini berhasil dengan ditandai keluarnya Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1976 tentang pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dari wilayah Kotamadya Banda Aceh. Daerah Tingkat II Banda Aceh ke kemukinan Janthoi di Kecamatan Seulimum Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar dengan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh team departemen Dalam Negeri dan pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan Konsultan PT. Markam Jaya yang ditinjau dari segala aspek dapat disimpulkan bahwa yang dianggap memenuhi syarat sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh besar adalah Kemukinan Janthoi dengan nama KOTA JANTHO.
Setelah ditetapkan Kota Jantho sebagai ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Aceh Besar yang baru, maka secara bertahap pemindahan ibukota terus dimulai, dan akhirnya secara serentak seluruh aktifitas perkantoran resmi dipindahkan dari Banda Aceh ke Ibukota Jantho pada tanggal 29 Agustus 1983, dan peresmiannya dilakukan oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia pada masa itu, yaitu Bapak Soepardjo Rustam pada tanggal 3 Mei 1984.

Situs Sejarah Kabupaten Aceh Besar
1. Benteng Indra Patra
 

Benteng Indra Patra yang terletak di dekat pantai Ujong Batee, Desa Ladong, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar ini dibangun oleh Kerajaan Lamuri, kerajaan Hindu pertama di Aceh (Indra Patra) pada masa sebelum kedatangan Islam di Aceh, yaitu pada abad ke tujuh masehi. Benteng ini dibangun dalam posisi yang cukup strategis karena berhadapan langsung dengan Selat Malaka, sehingga berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan armada Portugis. Pada masa Sultan Iskandar Muda, dengan armada lautnya yang kuat dibawah pimpinan Laksamana Malahayati, sebagai laksamana wanita pertama di dunia, benteng ini digunakan sebagai pertahanan kerajaan Aceh Darussalam.
Benteng ini berukuran besar dan berkonstruksi kokoh, berarsitektur unik, terbuat dari beton kapur. Saat ini jumlah benteng yang tersisa hanya dua, itu pun pintu bentengnya telah hancur terkena tsunami. Pada awalnya ada tiga bagian besar benteng yang tersisa. Benteng yang paling besar berukuran 70 x 70 meter dengan ketinggian 3 meter lebih. Ada sebuah ruangan yang besar dan kokoh berukuran 35 x 35 meter dan tinggi 4 meter. Rancangan bangunannya terlihat begitu istimewa dan canggih, sesuai pada masanya karena untuk mencapai bagian dalam benteng, harus dilalui dengan memanjat terlebih dahulu.
2. Mesjid Indra Puri


Masjid Indra Puri yang terletak sekitar 150 meter dari tepi Sungai Krueng Aceh, Kecamatan Indrapuri,  Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia ini,  berdasarkan situs arkeologis, adalah masjid tertua di Nusantara, yang dipengaruhi Hindu di masa lampau. Pada tahun 1874, tempat ini pernah digunakan untuk  melantik Tuanku Muhammad Daud Syah sebagai Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah.
Pada masa kejayaan Kerajaan  Aceh Darussalam, Indra Puri pernah menjadi Ibu Kota Kerajaan dan Masjid Indra  Puri dijadikan sebagai pusat dakwah, pendidikan, politik, ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Dari masjid ini, banyak lahir ulama-ulama besar, pemikir dan ahli pembangunan yang bekerja untuk kerajaan.
Sebelum kedatangan Islam, tepatnya  pada masa Kerajaan Hindu, Masjid Indra Puri merupakan candi yang digunakan  sebagai tempat pemujaan atau peribadatan umat Hindu. Pada masa Sultan Iskandar  Muda, bangunan bekas candi ini dialih fungsikan menjadi masjid agar masyarakat lebih mudah beribadah dan memeluk Islam.
Selain sebutan Masjid Indra  Puri, masyarakat menyebutnya dengan Benteng Indra Puri. Bangunan masjid ini  berbentuk berundak dan berdinding tembok. Bahan baku yang terpasang di dinding terlihat tidak teratur dengan campuran kapur dan tanah liat sebagai perekat.
3. Museum Cut Nyak Dhien.
 

Museum Cut Nyak Dhien berbentuk rumah tradisional Aceh (rumoh Aceh), merupakan replika rumah srikandi Aceh, Cut Nyak Dhien. Pada mulanya  rumah ini adalah tempat tinggal pahlawan wanita Cut Nyak Dhien. Di era Perang  Aceh, rumah ini sempat dibakar oleh tentara Belanda (1893) yang kemudian  dibangun kembali pada permulaan tahun 1980an dan dijadikan museum. Pondasi  bangunan ini masih asli.
Cut Nyak Dhien adalah seorang pahlawan wanita Aceh yang  gagah berani. Ia lahir di Lampadang tahun 1848, dan menikah pada usia dua belas  tahun. Pada tahun 1878 suami pertamanya, Ibrahim Lamnga meninggal karena tertembak dalam sebuah pertempuran melawan Belanda. Dua tahun kemudian, seorang  pria bernama Teuku Umar datang ke pihak keluarga Cut Nyak Dhien untuk  melamarnya. Secara pribadi, Cut Nyak Dhien bersedia menerima lamarannya asalkan  Teuku Umar menerima permohonannya, yaitu apabila menikah dengannya agar ia  diizinkan ikut bersama suaminya berperang melawan Belanda. Permohonan Cut Nyak  Dhien diterima Teuku Umar dan pada tahun 1880 mereka pun menikah. Sebagai seorang  istri, ia setia dan selalu mendukung perjuangan suaminya.
Peristiwa kelam terjadi pada tahun 1899, Teuku Umar meninggal karena ditembak dengan peluru emas oleh tentara Belanda. Akhirnya, Cut Nyak Dhien mengambil alih kepemimpinan suaminya. Selama enam tahun ia berjuang bersama anaknya Cut Gambang, memimpin pasukan, menerapkan strategi perang  gerilya dan hidup bersama pasukannya di dalam hutan. Akhirnya, di usianya yang  senja dengan mata yang rabun ia ditangkap oleh tentara Belanda di hutan dan diasingkan  ke Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Pada tanggal 6 November 1908 ia meninggal dan dikebumikan di Gunung Puyuh, Kabupaten Sumedang.
Berkunjung ke museum Cut Nyak Dhien, pengunjung dapat mengenang  keberanian dan kepahlawanan seorang Srikandi terkenal Aceh dalam perjuangan  mempertahankan tanah air dari penjajahan Belanda. Museum ini memiliki  nilai-nilai sejarah, budaya dan berarsitektur khas Aceh. Di dalamnya terdapat bukti dan benda-benda sejarah, koleksi peninggalan Cut Nyak Dhien dan Teuku  Umar.
Lokasi museum terletak di sebelah Barat Jalan Banda Aceh-Lhok Nga, di daerah pedesaan dengan hamparan sawah yang hijau, tepatnya di Desa Lampisang, Kecamatan Lhok Nga, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi  Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia.
4. Benteng Inong Balee
 

Secara administratif berada di Desa Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar. Benteng ini disebut Benteng Inong Balee yang pebangunannya dipimpin Laksamana Malahayati, pada masa Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil. Pencapaian menuju Benteng Inong Balee melalui jalan raya beraspal arah Banda Aceh – Mesjid Raya berbelok ke arah kiri berlanjut melalui jalan tanah. Kemudian sekitar 1 km melintasi jalan tanah tersebut maka akan dijumpai benteng yang berada di tepi jurang, dan dibawahnya pantai dengan batuan karang.
Benteng berdenah persegipanjang menghadap ke barat yaitu arah laut/Selat Malaka. Batas tembok di sisi utara berupa tanah landai yang penuh dengan semak belukar, sisi timur juga semak belukar, sisi selatan areal perladangan, dan sisi barat sekitar 10 m adalah jurang. Konstruksi tembok benteng yang masih tersisa kini di bagian barat berupa tembok yang membujur utara-selatan, dan di bagian utara dan selatan membujur timur-barat. Kemudian di bagian timur terdapat struktur pondasi berukuran panjang sekitar 20 m. Bahan bangunan penyusun tembok benteng terbuat dari batuan alam berspesi kapur. Tembok benteng di bagian barat memiliki ukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi 2,5 m, tembok benteng di bagian utara berukuran panjang 40 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Sedangkan tembok di bagian selatan berukuran panjang 60 m, tebal 2 m, dan tinggi bagian dalam 1 m. Pada tembok yang membujur utara-selatan di bagian barat terdapat 4 lubang pengintaian menyerupai bentuk tapal kuda. Tinggi lubang pengintaian bagian dalam sekitar 90 cm, lebar 160 cm, sedangkan tinggi lubang bagian luar sekitar 85 cm dan lebar 100 cm. Posisinya yang mengarah ke Selat Malaka jelas berfungsi untuk mengawasi terhadap lalu-lalang kapal laut. Benteng Inong Balee sering disebut juga Benteng Malahayati. Benteng ini merupakan benteng pertahanan sekaligus sebagai asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain itu juga digunakan sebagai sarana pelatihan militer dan penempatan logistik keperluan perang.
5. Kompleks Makam Laksamana Malahayati
Sekitar 3 km dari Benteng Inong Balee dijumpai kompleks makam Laksamana Malahayati yaitu pada bagian puncak bukit kecil. Sekeliling areal makam adalah perladangan penduduk. Pencapaian ke kompleks makam tersebut ditempuh dengan cara menaiki susunan anak tangga semen mulai dari bawah bukit. Areal makam dibatasi pagar tembok dengan pintu masuk berada di timur. Ada tiga makam yang berada dalam satu jirat dan dinaungi oleh satu cungkup. Jirat berbentuk persegipanjang dari semen yang dilapisi keramik putih. Ukuran tinggi jirat dari permukaan tanah sekitarnya adalah 30 cm.
Berikut adalah deskripsi makam:
  • Makam I: berada di sisi barat dilengkapi sepasang nisan tipe pipih bersayap. Bagian kaki berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Bagian bawah badan berhiaskan kuncup bunga teratai. Terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai di tengah badan nisan, hiasan sulur-suluran di bagian sayap nisan. Puncak nisan berbentuk atap limasan.
  • Makam II: berada di antara Makam I dan Makam III, tipe nisan pipih tanpa sayap. Kaki nisan berbentuk balok, antara kaki dan badan terdapat pelipit. Pada bagian bawah nisan berukirkan kuncup bunga teratai. Pada bagian tengah badan terdapat 3 panel kaligrafi berbingkai dan motif garis-garis. Bahu kiri dan kanan nisan meruncing ke atas. Di atas bahu nisan terdapat dua susun mahkota teratai yang diakhiri bagian puncak berbentuk atap limasan.
  • Makam III: terletak di sisis timur dari Makam II. Ukuran nisan lebih kecil dari Makam I dan Makam II. Bentuk nisan pipih tanpa sayap. Nisan yang berada di bagian utara dan selatan telah patah. Selain nisan aslinya yang telah patah, nisan di bagian utara juga ditandai dengan batuan alam.
Lokasi makam pada puncak bukit, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan. Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa tempat yang tinggi itu suci. Beberapa kompleks makam di daerah lain yang terdapat di puncak bukit antara lain: Kompleks Makam Raja-raja Mataram di Imogiri Yogyakarta, makam sunan di Giri, Muria, dan Gunung Jati di Cirebon, Kompleks Makam Papan Tinggi dan Mahligai di Barus.