Sunan Kalijaga dengan nama panggilan Raden Mas Said atau
yang bergelar “Sunan Kalijaga” merupakan putra dari Ki Tumenggung
Wilatikta yaitu Bupati Tuban merupakan salah satu dari Walisongo yang mempunyai
peran penting dalam penyebaran islam. Nama
lengkap ayah Sunan Kalijaga adalah Raden Sahur Tumenggung Wilatikta. Selain
mempunyai anak Sunan Kalijaga, beliau juga mempunyai putri yang bernama Dewi
Roso Wulan. Sunan Kalijaga atau Sunan Kalijogo adalah seorang
tokoh Wali Songo yang sangat lekat dengan Muslim di
Pulau Jawa, karena kemampuannya memasukkan pengaruh Islam ke
dalam tradisi Jawa. Makamnya berada di Kadilangu, Demak
Masa kecil Sunan Kalijaga sudah merasakan dan melihat
lingkungan sekitar yang kontradiktif dengan kehidupan rakyat jelata yang serba
kekurangan, menyebabkan ia bertanya kepada ayahnya mengenai hal tersebut, yang
dijawab oleh ayahnya bahwa itu adalah untuk kepentingan kerajaan Majapahit yang
membutuhkan dana banyak untuk menghadapi pemberontakan. Maka secara diam-diam
ia bergaul dengan rakyat jelata, menjadi pencuri untuk mengambil sebagian
barang-barang di gudang dan membagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Namun
akhirnya ia ketahuan dan dihukum cambuk 200 kali ditangannya dan disekap
beberapa hari oleh ayahnya, yang kemudian ia pergi tanpa pamit. Mencuri atau
merampok dengan topeng ia lakukan, demi rakyat jelata. Tapi ia tertangkap lagi,
yang menyebabkan ia di usir oleh ayahnya dari Kadipaten. Akhirnya ia pun pergi,
tinggal di hutan Jadiwangi dan menjadi perampok orang-orang kaya dan berjuluk
Brandal Lokajaya. Selain gelar tersebut sebenarnya Sunan Kalijaga juga
mempunyai nama-nama lain seperti R. Abdurrahman, Syeh Malaya, Pangeran Tuban
serta Jogoboyo.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama Sunan Kalijaga
berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di
Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa
mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai
(kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari
bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci”
kesultanan.
Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari
100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir
kekuasaan Majapahit (berakhir 1478),Kesultanan Demak, Kesultanan
Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir
pada 1546 serta
awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah
pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula
merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang
"tatal"
(pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah
kreasi
Sunan Kalijaga.
Kelahiran
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan
nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang
bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara
lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden
Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal
dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia
sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Silsilah
Mengenai asal usul beliau, ada beberapa pendapat yang
menyatakan bahwa beliau juga masih keturunan Arab. Tapi, banyak pula yang menyatakan ia orang Jawa asli.
Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab
yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Sementara itu menurut Babad Tuban menyatakan
bahwa Aria Teja alias
'Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini
putrinya. Dari perkawinan ini ia memiliki putra bernama Aria Wilatikta. Menurut
catatan Tome Pires, penguasa Tuban pada tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa
Islam pertama di Tuban. Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria
Wilatikta. Sejarawan lain seperti De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I
('Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu
Abbas, paman Muhammad. Sunan Kalijaga mempunyai tiga anak
salah satunya adalah Umar Said atau Sunan Muria. Namun beberapa sumber yang saya temukan
bahwa sunan kalijaga mempunyai 8 anak dari dua istri.
Pernikahan
Beliau menikah dengan dewi Sarokah dan mempunyai 5 (lima)
anak, yaitu:
1. Kanjeng Ratu Pembayun yang menjadi istri Raden
Trenggono (Demak)
2. Nyai Ageng Penenggak yang kemudian kawin dengan Kyai
Ageng Pakar
3. Sunan Hadi (yang menjadi panembahan kali)
menggantikan Sunan Kaijaga sebagai kepala Perdikan Kadilangu.
4. Raden Abdurrahman
5. Nyai Ageng Ngerang.
Dalam suatu cerita dikatakan bahwa Sunan Kalijaga pernah
juga menikah dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishak, Sunan Kalijaga mempunyai
tiga orang putra, masing-masing ialah:
1. Raden Umar Said (Sunan Muria)
2. Dewi Ruqoyah
3. Dewi Sofiyah
Berda'wah
Sunan Kalijaga terlahir dari kalangan ningrat (darah biru)
yang serba berkecukupan dari materi maupun pendidikan. Ia adalah putra
Tumenggung Wilatika (Aria Teja IV), seorang Adipati di Tuban. Aria Teja IV
sendiri adalah keturunan Adipati Ronggolawe, salah satu tokoh pendiri kerajaan Majapahit
yang kemudin mendapat kedudukan sebagai adipati di Tuban. Akan tetapi,
alih-alih mewarisi jabatan yang empuk dari ayahandanya, Raden Syahid justru
memilih manjadi pendakwah ajaran Islam di tanah jawa.
Harta dan tahta yng sudah ada di depan mata justru membuat
Raden Syahid hidup dengan penuh kagalauan. Raden Syahid merasa risau melihat
ketidakadilan dan penindasan terjadi di mana-mana. Hal itu terjadi setelah
Kerajaan majapahit yang secara sosial politik dan budaya banyak mengalami
kemunduran. Keadaan seperti ini menjadikan pejabat Negara banyak bergelimang
harta dan berfoya-foya dari hasil upeti rakyat.
Hati nurani Raden Syahid tidak tahan melihat penderitaan
rakyat Tuban yang diperas dan ditindas untuk kepentingan pejabat Negara.
Apalagi pada saat itu sedang terjadi kemarau panjang. Secara diam-diam, Raden
Syahid membobol gudang perbekalan. Hasil curiannya kemudian dibagi-bagikan
kepada rakyat miskin. Tindakan ini dilakukan berkali-kali. Perbuatan ini pada
awalnya tidak diketahui penjaga di kadipaten. Namun, setelah diselidiki
perbuatan tadi ternyata dilakukan Raden Syahid yang juga pewaris tahta
Kadipaten Tuban. Tindakan ini membuat ayahanda Raden Syahid malu. Ayahnya marah
besar sehingga mengusir Raden Syahid keluar dari wilayah Kadipaten Tuban.
Raden Syahid akhirnya keluar memilih menjadi penyamun. Ia
memimpin segerombolan perampok, menghadang orang-orang kaya dan pejabat Negara
yang korup. Anehnya, hasil rampokan itu tidak digunakan untuk dirinya, tetapi
dibagi-bagikan kepada rakyat miskin. Suatu
hari, Saat Raden Said berada di hutan, ia melihat seseorang kakek tua yang
bertongkat. Orang itu adalah Sunan Bonang. Karena tongkat itu dilihat seperti
tongkat emas, ia merampas tongkat itu. Katanya, hasil rampokan itu akan ia
bagikan kepada orang yang miskin. Tetapi, Sang Sunan Bonang tidak membenarkan
cara itu. Ia menasihati Raden Said bahwa Allah tidak
akan menerima amal yang buruk. Lalu, Sunan Bonang menunjukan pohon aren emas
dan mengatakan bila Raden Said ingin mendapatkan harta tanpa berusaha, maka
ambillah buah aren emas yang ditunjukkan oleh Sunan Bonang. Karena itu, Raden
Said ingin menjadi murid Sunan Bonang. Raden Said lalu menyusul Sunan Bonang ke
Sungai. Raden Said berkata bahwa ingin menjadi muridnya. Sunan Bonang lalu
menyuruh Raden Said untuk bersemedi sambil menjaga tongkatnya yang ditancapkan
ke tepi sungai. Raden Said tidak boleh beranjak dari tempat tersebut sebelum
Sunan Bonang datang. Raden Said lalu melaksanakan perintah tersebut. Karena
itu,ia menjadi tertidur dalam waktu lama. Karena lamanya ia tertidur, tanpa
disadari akar dan rerumputan telah menutupi dirinya. Tiga tahun kemudian, Sunan
Bonang datang dan membangunkan Raden Said. Karena ia telah menjaga tongkatnya
yang ditanjapkan ke sungai, maka Raden Said diganti namanya menjadi Kalijaga.
Kalijaga lalu diberi pakaian baru dan diberi pelajaran agama oleh Sunan Bonang.
Kalijaga lalu melanjutkan dakwahnya dan dikenal sebagai Sunan Kalijaga.
Dalam Hikayat Patani, Raden Syahid dikenal sebagai seorang
tabib karena pernah mengobati Raja Patani yang menderita sakit kulit hingga
sembuh. Di wilayah itu ia dikenal sebagai Syekh Sa’id. Ia dikenal juga sebagai
Syekh Malaya. Setelah beberapa tahun berguru di Pasai dan berdakwah di Malaya,
Sunan Kalijaga kembali ke tanah Jawa. Ia kemudian diangkat menjadi anggota Wali
Songo.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor
sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf"
-bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa
masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati
secara bertahap: mengikuti sambil memengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika
Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak
mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam.
Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai
sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer
adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju
takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang
Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja").
Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar
adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga, di antaranya adalah
adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas,
serta Pajang.
Jasa-jasa Sunan
Kalijaga
1. Bidang
strategi perjuangan
Sunan Kalijaga di dalam menyebarkan ajaran Islam benar-benar
memahami dan mengetahui keadaan rakyat yang masih tebal dipengaruhi kepercayaan
agama Hindu Budha dan gemar menampilkan budaya-budaya Jawa yang berbau
kepercayaannya itu, maka bertindaklah beliau sesuai dengan keadaan yang
demikian itu, sehingga taktik dan strategi perjuangan beliau disesuaikan pula
dengan keadaan, ruang dan waktu.
2. Bidang kesenian
Sunan Kalijaga ternyata mampu menciptakan kesenian dengan
berbagai bentuknya. Maksud utama kesenian itu diciptakan adalah sebagai alat
dalam bertabligh mengelilingi berbagai daerah, ternyata malah mempunyai nilai
yang berharga bagi bangsa Indonesia.
3. Bidang lain-lain
Selain jasa-jasa beliau di atas tadi, masih ada jasanya yang
lain seperti pendirian Masjid Agung Demak, Sunan Kalijaga tidak ketinggalan
ikut serta membangun masjid bersejarah itu. Malah ada hasil karya beliau yang
sangat terkenal sampai sekarang, yaitu “Soko Total” artinya tiang pokok dalam
masjid Agung Demak yang terbuat dari potongan-potongan kayu jati, lalu
disatukan dalam bentuk tiang buat berdiameter kurang lebih 70 cm.
Peninggalan-peninggalan
Sunan Kalijaga
photo : |
1. Masjid Sunan
Kalijaga
2. Masjid
Kadilangu
3. Keris Kyai
Clubuk
4. Keris Kyai
Syir’an
5. Kotang
Ontokusumo
Menurut beberapa cerita rakyat menyatakan bahwa dahulu waktu
para Walisongo sudah selesai menunaikan shalat subuh di masjid Agung Demak,
tiba-tiba terlihatlah ada sebuah bungkusan yang terletak di depan mikhrab. Maka
oleh Sunan Bonang diminta supaya Sunan Kalijaga mengambil dan memeriksanya.
Ternyata bungkusan tersebut berisi “baju” (kutang), dan secarik kertas yang
menerangkan baju itu adalah anugerah dari Nabi Muhammad Saw, dan menerangkan
supaya kulit kambing yang terdapat juga dalam bungkusan itu dibuat baju juga.
Menurut cerita kedua baju itu sampai sekarang masih terawat baik, yang pertama
“baju ontokusumo” yang disimpan di musium kraton Solo dan “baju kyai Gondil”
ada dalam makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.
Sumber referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sunan_Kalijaga
http://atifhidayat.wordpress.com/2009/03/10/sunan-kalijaga/
http://paraoh4saputro.wordpress.com/kisah-kisah-menarik/kisah-sunan-kalijaga/
http://hamamburhanuddin.wordpress.com/artikel-2/sosial-budaya/sejarah-perjuangan-islam-sunan-kalijaga/
http://kota-islam.blogspot.com/2014/01/kisah-sunan-kalijaga-walisongo.html
0 #type=(blogger):
Posting Komentar