Selamat Datang Sahabat Nasreuhe Online. Silakan Bacah Artikelnya. Kalau Sudah Dibacah silakan dishare dan jangan lupa ditutup ya. hehehehehe. SEJARAH LAKSAMANA WANITA PERTAMAH DIDUNIA. ( LAKSAMANA KEUMALAHAYATI ) - Nasreuhe Online

Jun 15, 2014

SEJARAH LAKSAMANA WANITA PERTAMAH DIDUNIA. ( LAKSAMANA KEUMALAHAYATI )

Pada postingan saya kali ini saya akan memceritakan tentang kisah seorang laksamana wanita yang sangat berjasa pada masa kejayaan Kesultana Aceh Darussalam yaitu laksamana kumalahayati. oke langsung aja mari kita simak ceritanya.

1. Riwayat Hidup

Laksamana Keumalahayati merupakan wanita pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Ia lahir pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV. Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari keluarga bangsawan Aceh. Belum ditemukan catatan sejarah secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya. Diperkirakan, masa hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.
Laksamana Keumalahayati adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.
Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut. Jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kelak berpengaruh besar terhadap kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya tersebut.

a. Riwayat Pendidikan

Ketika menginjak usia remaja, Laksamana Keumalahayati mendapatkan kebebasan untuk memilih pendidikan yang diinginkannya. Ketika itu Kesultanan Aceh Darussalam memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Setelah menempuh pendidikan agamanya di Meunasah, Rangkang, dan Dayah, oleh karena ia ingin mengikuti karir ayahnya sebagai laksamana, maka ia mendaftarkan diri dalam penerimaan taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Ia diterima di akademi ini dan dapat menempuh pendidikan militernya dengan sangat baik. Bahkan, ia berprestasi dengan hasil yang sangat memuaskan. 

Sebagai siswa yang berprestasi, Laksamana Keumalahayati berhak memiliki jurusan yang diinginkannya. Ia memilih jurusan Angkatan Laut. Ketika menempuh pendidikan di akademi ini ia pernah berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior (data tentang namanya belum diketahui). Perkenalan tersebut berlanjut hingga benih-benih kasih sayang terbangun di antara mereka. Mereka berdua akhirnya bersepakat untuk saling memadu kasih dan menyatukan diri ke dalam cinta. Setelah tamat dari Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya melangsungkan pernikahan. 

Setelah menamatkan studinya di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, Laksamana Keumalahayati berkonsentrasi pada dunia pergerakan dan perjuangan. Ia diangkat oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604 M) sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam. Jabatan tersebut merupakan kepercayaan sultan terhadap dirinya, sehingga ia perlu menguasai banyak pengetahuan tentang etika dan keprotokolan.

b. Riwayat Perjuangan

Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, yaitu antara armada pasukan Portugis dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil dan dibantu oleh dua orang laksamana. Pertempuran sengit terjadi di Teluk Haru dan dimenangkan oleh armada Aceh, meski harus kehilangan dua laksamananya dan ribuan prajuritnya yang tewas di medan perang. Salah satu laksamana yang tewas tersebut adalah suami Laksamana Keumalahayati sendiri yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Setelah suaminya meninggal dunia dalam peperangan tersebut, ia berjanji akan menuntut balas dan bertekad meneruskan perjuangan suaminya meski secara sendirian. 

Untuk memenuhi tujuannya tersebut, Laksamana Keumalahayati meminta kepada Sultan al-Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya adalah wanita-wanita janda karena suami mereka gugur dalam Perang Teluk Haru. Permintaan Keumalahayati akhirnya dikabulkan. Ia diserahi tugas memimpin Armada Inong Balee dan diangkat sebagai laksamananya. Ia merupakan wanita Aceh pertama yang berpangkat laksamana (admiral) di Kesultanan Aceh Darussalam. Armada ini awalnya hanya berkekuatan 1000 orang, namun kemudian diperkuat lagi menjadi 2000 orang. Teluk Lamreh Krueng Raya dijadikan sebagai pangkalan militernya. Di sekitar teluk ini, ia membangun Benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan. 

Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumlahayati mengkoordinir pasukannya di laut, mengawasi berbagai pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, dan mengawasi kapal-kapal jenis galey milik Kesultanan Aceh Darussalam. Seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis, mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksanana Keumalahayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki perlengkapan armada laut yang di antaranya terdiri dari 100 buah kapal (galey) dengan kapasitas penumpang 400-500 orang. 

Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati tidak berhenti di sini. Ia pernah terlibat dalam pertempuran melawan kolonialisme Belanda. Ceritanya, pada tanggal 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda, pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak senjata dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang bersaudara, Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman, berlabuh di ibukota Kesultanan Aceh Darussalam. Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan. 

Namun, dalam perkembangan selanjutnya Sultan al-Mukammil tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap Sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya. Serangan tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Keumalahayati. Alhasil, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun). Keberhasilan Laksamana Keumalahayati merupakan sebuah prestasi yang sungguh luar biasa. 

Keumalahayati ternyata bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, namun ia juga pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana. Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri. Ia sendiri telah menunjukkan bakatnya dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ia memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi berbagai momen perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris. Meski begitu, sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan berbagai perundingan. 

Pada tanggal 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka. Setelah itu datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana Yacob van Neck. Mereka mendarat di Pelabuhan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601. Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan al-Mukammil karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya. 

Pada tanggal 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan al-Mukammil. Sebelum surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 golden). 

Setelah itu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Aceh berlangsung cukup baik. Kehadiran bangsa Belanda dapat diterima secara baik di istana kesultanan dan mereka diperbolehkan berdagang di Aceh. Sebagai lanjutan dari hubungan baik antara Belanda dan Kesultanan Aceh, maka diutuslah tiga orang untuk menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga orang itu adalah Abdoel Hamid, Sri Muhammad (salah seorang perwira armada laut di bawah Laksamana Keumalahayati), dan Mir Hasan (bangsawan kesultanan). Meski sedang dilanda perang melawan kolonialisme Spanyol, pihak Belanda menyambut utusan Aceh tersebut dengan upacara kenegaraan.
Peran diplomatik Laksamana Keumalahayati masih berlanjut. Hal ini bermula dari keinginan Inggris untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ratu Elizabeth I (1558-1603 M) mengirim utusan untuk membawa sepucuk suratnya kepada Sultan Aceh al-Mukammil. Rombongan yang dipimpin oleh James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris ini, tiba di Pelabuhan Aceh pada tanggal 6 Juni 1602. Sebelum bertemu dengan Sultan al-Mukammil, Lancaster mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumalahayati. Dalam perundingan itu, Lancaster menyampaikan keinginan Inggris untuk menjalin kerjasama dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ia juga berpesan agar Laksamana Keumalahayati memusuhi Portugis dan berbaik hati dengan Inggris. Laksamana Keumalahayati meminta agar keinginan tersebut dibuat secara tertulis dan diatasnamakan Ratu Inggris. Setelah surat tersebut selesai dibuat, Lancaster diperkenankan menghadap Sultan al-Mukammil. 

Laksamana Keumalahayati juga berperan besar dalam menyelesaikan intrik kesultanan. Hal ini bermula dari peristiwa penting perihal suksesi kepemimpinan di Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1603 M, Sultan al-Mukammil menempatkan anak lekaki tertuanya sebagai pendamping dirinya. Namun, rupanya putra tersebut berkhianat terhadap ayahnya dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M). 

Pada masa awal kepemimpinannya, berbagai macam bencana menimpa Kesultanan Aceh Darussalam, seperti kemarau yang berkepanjangan, pertikaian berdarah antar saudara, dan ancaman dari pihak Portugis. Tidak ada keinginan kuat dari Sultan Ali Riayat Syah untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan serius. Maka banyak timbul rasa kekecewaan dari punggawa kesultanan, salah satu di antaranya adalah Darmawangsa Tun Pangkat, kemenakannya sendiri. Darmawangsa ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan. 

Pada bulan Juni 1606, Portugis menyerang Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Alfonso de Castro. Ketika itu Darmawangsa masih berada di penjara. Ia memohon kepada Sultan Ali Riayat Syah agar dirinya dapat dibebaskan dan dapat ikut bertempur melawan Portugis. Dengan didukung adanya pemintaan Laksamana Keumalahayati, Darmawangsa akhirnya dapat dibebaskan. Mereka berdua akhirnya berjuang bersama dan dapat menghancurkan pasukan Portugis.
Oleh karena Sultan Ali Riayat Syah dianggap banyak kalangan tidak cakap lagi memimpin kesultanan, maka Laksamana Keumalahayati melakukan manuver dengan cara menurunkan Sultan Ali Riayat Syah dari tahta kekuasaan. Darmawangsa akhirnya terpilih sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasan.

2. Karya

Karya Laksamana Keumalahayati memang tidak berupa buku atau berbagai bentuk tulisan. Namun demikian, segala bentuk perjuangannya dalam melawan kolonialisme dapat juga dianggap sebagai karya-karya nyatanya. Di antara karya-karya dimaksud adalah sebagai berikut: Ia pernah membangun Benteng Inong Balee dengan tinggi 100 meter dari permukaan laut. Tembok benteng menghadap ke laut dengan lebar 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu teluk. Ia pernah berhasil membunuh Cornelis de Houtman, salah seorang pemimpin kapal Belanda yang pertama kali tiba di Aceh.

3. Penghargaan

Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangannya, sebuah serial bertajuk “Laksamana Keumalahayati” telah digarap dengan sutradara Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Adhyaksa Dault. Serial ini berisi 13 episode. Episode perdananya telah diputar di Blitz Megaplex (10 November 2007). MENGUAK pertalian Raja-raja Aceh Sejak Kerajaan Perlak Sebuah buku berjudul “Silsilah Raja-Raja Islam di Aceh dan Hubungannya dengan Raja-Raja Islam di Nusantara,” diterbitkan pelita Gading Hidup Jakarta, ditulis Pocut Haslinda Syahrul Muda Dalam, mencoba menguak pertalian raja-raja di Aceh sejak pra Islam. dalam suatu forum di Balai Kartini, Jakarta, 16 Nopember 2008 silam. Malam harinya, di gedung yang sama dipentaskan “drama musikal” yang memuat informasi silsilah raja-raja Aceh tersebut serta peranan kaum perempuan Aceh sejak abad VIII dampai abad XXI. Pentas itu disutradari Dedi Lutan berdasarkan nasakah yang ditulis Pocut Haslinda Syahrul MD binti Teuku H Abdul Hamid Azwar, waris Tun Sri Lanang ke-8. Sebetulnya masih ada tiga buku lain yang dihasilkan Pocut Haslinda dalam waktu bersamaan, yaitu “Perempuan Aceh dalam Lintas Sejarah Abad VIII-XXI, Tun Sri Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah Melayu, dan Dua Mata Bola di Balik Tirai Istana Melayu.” Untuk menggenapi informasi “Silsilah Raja-Raja Aceh” dan ketiga bukunya itu, Pocut Haslinda, pernah menempuh pendidikan fashion dan model di Paris, Jerman, dan London (1965-1970) membaca lebih dari 1000 judul buku ditulis oleh penulis dalam dan luar negeri.

Buku “Silsilah Raja-Raja Aceh” itu secara sederhana mencoba menarik garis pertautan raja-raja Aceh sejak awal abad ke 8 pada masa Kerajaan Perlak, kemudian berkembang menjadi kerajaan- kerajaan lain di Aceh, termasuk persinggungan yang sangat penting dan fundamental dengan Kerajaan Isaq di Gayo, dan pertautan raja-raja Aceh dengan Perak, Johor, Deli- Serdang, Majapahit, Demak, Wali Songo dan sebagainya. Kisah kedatangan satu delegasi dagang dari Persia di Blang Seupeung, pusat Kerajaan Jeumpa yang ketika itu masih menganut Hindu Purba. Salah seorang anggota rombongan bernama Maharaj Syahriar Salman, Pangeran Kerajaan Persia yang ditaklukkan pada zaman Khalifahtur Rasyidin. Salman adalah turunan dari Dinasti Sassanid Persia yang pernah berjaya antara 224 – 651 Masehi. Setelah penaklukkan, sebahagian keluarga kerjaan Persia ada yang pergi ke Asia Tenggara. Kerajaan Jeumpa, ketika itu dikuasai Meurah Jeumpa. Maharaj Syahriar Salman kemudian menikah dengan putri istana Jeumpa bernama Mayang Seludang. Akibat dari perkawinan itu, Maharaj Syahriar Salman tidak lagi ikut rombongan niaga Persia melanjutkan pelayaran ke Selat Malaka. Pasangan ini memilih “hijrah” ke Perlak (sekarang Peureulak,red), sebuah kawasan kerajaan yang dipimpin Meurah Perlak. Meurah Perlak tak punya keturunan dan memperlakukan “pengantin baru” itu sebagai anak. Ketika Meurah Perlak meninggal, kerajaan Perlak diserahkan kepada Maharaj Syahriar Salman, sebagai Meurah Perlak yang baru. Perkawinan Maharaj Syahriar Salman dan Putri Mayang Sekudang dianugerahi empat putra dan seroang putri; Syahir Nuwi, Syahir Dauli, Syahir Pauli, SyahirTanwi, dan Putri Tansyir Dewi. Syahir Nuwi di kemudian hari menjadi Raja Perlak ( PEUREULAK ) yang baru menggantikan ayahandanya. Dia bergelar Meurah Syahir Nuwi. Syahir Dauli diangkat menjadi Meurah di Negeri Indra Purwa (sekarang Aceh Besar, red). Syahir Pauli menjadi Meurah di Negeri Sama indra (sekarang Pidie), dan si bungsu Syahir Tanwi kembali ke Jeumpa dan menjadi Meurah Jeumpa menggantikan kakeknya. Merekalah yang kelak dikenal sebagai “Kaom Imeum Tuha Peut” (penguasa yang empat). Dengan demikian, kawasan- kawasan sepanjang Selat Malaka dikuasai oleh keturunan Maharaj Syahriar Salman dari Dinasti Sassanid Persia dan Dinasti Meurah Jeumpa (sekarang Bireuen). Sementara itu, Putri Tansyir Dewi, menikah dengan Sayid Maulana Ali al-Muktabar, anggota rombongan pendakwah yang tiba di Bandar Perlak dengan sebuah kapal di bawah Nakhoda Khalifah. Kapal itu memuat sekitar 100 pendakwah yang menyamar sebagai pedagang. Rombongan ini terdiri dari orang-orang Quraish, Palestina, Persia dan India. Rombongan pendakwah ini tiba pada tahun 173 H (800 M). Sebelum merapat di Perlak, rombongan ini terlebih dahulu singgah di India. Syahir Nuwi yang menjadi penguasa Perlak menyatakan diri masuk Islam, dan menjadi Raja Perlak pertama yang memeluk Islam.Sejak itu, Islam berkembang di Perlak. Perkawinan Putri Tansyir Dewi dengan Sayid Maulana Ali al- Muktabar membuahkan seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, yang kelak setelah dewasa dinobatkan sebagai Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, sultan pertama Kerajaan Islam Perlak, bertepatan dengan 1 Muharram 225 Hijriah.

Sayid Maulana Ali al-Muktabar berfaham Syiah, merupakan putra dari Sayid Muhammad Diba‘i anak Imam Jakfar Asshadiq (Imam Syiah ke-6) anak dari Imam Muhammad Al Baqir (Imam Syiah ke-5), anak dari Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin, yakni satu-satunya putra Syaidina Husen, putra Syaidina Ali bin Abu Thalib dari perkawinan dengan Siti Fatimah, putri dari Muhammad Rasulullah saw. Lengkapnya silsilah itu adalah: Sultan Alaidin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah bin Sayid Maulana Ali-al Muktabar bin Sayid Muhammad Diba‘i bin Imam Ja‘far Asshadiq bin Imam Muhammad Al Baqir bin Syaidina Ali Muhammad Zainal Abidin Sayidina Husin Assyahid bin Sayidina Alin bin Abu Thalib (menikah dengan Siti Fatimah, putri Muhammad Rasulullah saw). Keikutsertaan Sayid Maulana Ali al-Muktabar dalam rombongan pendakwah merupakan penugasan dari Khalifah Makmun bin Harun Al Rasyid (167-219 H/813-833 M) untuk menyebarkan Islam di Hindi, Asia Tenggara dan kawasan-kawasan lainnya. Khalifah Makmun sebelumnya berhasil meredam “pemberontakan” kaum Syiah di Mekkah yang dipimpin oleh Muhammad bin Ja‘far Ashhadiq.

Raja Isaq Gayo dan Turunannya Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulan memiliki tiga putra; Meurah Makhdum Alaiddin Ibrahim Syah, kemudian menjadi Sultan ke-8; Maharaja Mahmud Syah yang kemudian menjadi Raja Salasari Islam I di Tanoh Data (Cot Girek) ; Meurah Makhdum Malik Isaq (Isak) mendirikan Negeri Isaq I. Meurah Isaq memiliki putra bernama Meurah Malik Masir yang juga dikenal sebagai Meurah Mersa alias Tok (Tuk) Mersa, diangkat sebagai Raja Isaq II mernggantikan ayahandanya.

Tok Mersa memiliki tujuh putra yakni:

1. Meurah Makhdum Ibrahim mendirikan Negeri Singkong. Cucu Meurah Makhdum ini bernama Malikussaleh di kemudian hari mendirikan Kerajaan Samudra Pasai.
2. Meurah Bacang mendirikan Kerajaan Bacang Barus.
3. Meurah Putih mendirikan Kerajaan Beuracan Merdu.
4. Meurah Itam mendirikan Kerajaan Kiran Samalanga.
5. Meurah Pupok mendirikan Kerajaan Daya Aceh Barat.
6. Merah Jernang mendirikan kerajaan Seunagan.
7. Meurah Mege (Meugo) menjadi Raja Isaq III.

Dari turununan Meurah Mege lahir Sultan Abidin Johansyah pendiri Kerajaan Aceh Darussalam (1203-1234) sampai Sultan Daud Sjah (1874-1939). Turunen Meurah Mege lain, Syekh Ali al Qaishar anak dari Hasyim Abdul Jalil hijrah ke Bugis dan menikah dengan putri bangsawan Bugis yang kelak cucu psangan ini bergelar Daeng.

Di antara anak-cucunya, ada yang pulang ke Aceh bernama Daeng Mansur atau Tgk Di Reubee dan mempunyai seorang putra bernama Zainal Abidin dan seorang putri bernama Siti Sani yang dinikahi Sultan Iskandar Muda. Di tanah Jawa, Turunan Tok Mersa bernama Puteri Jempa nikah dengan Raja Majapahit terakhir kemudian lahir Raden Fattah yang menjadi Raja Demak. Turunen Tok Mersa lain, yakni Fatahillah menyusul ke Jawa menikah dengan adik Sultan Demak. Fatahillah mendirikan kerajaan Cirebon dan anaknya mendirikan Kerajaan Banten. Fatahillah dikenal juga Sunan Gunung Jati menikah dengan Ratu Mas anak Raden Fattah, cucu Majapahit, keturunannya turun temurun menjadi raja dan pembangun Demak, Cirebon, Banten dan Walisongo.
Melihat pertautan raja-raja Aceh itu, jelasnya bagi kita bagaimana sebenarnya hubungan erat satu sama lain. Pada awalnya, mereka berangkat dari “indatu” ( NENEK MOYANG ) yang sama dari Perlak.

Biografi

Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad XV, Aceh pernah melahirkan seorang tokoh wanita bernama Keumalahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama dengan kemala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya, banyak kasiatnya dan mengandung kesaktian. (Poerwadarminto, 1989 : 414). Berdasarkan sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia din berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi Sufi, 1994 : 30-33). 

Jika dilihat dari silsilah Keumalahayati dapat dipastikan bahwa dirinya berasal dari darah biru, yang merupakan keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya Keumalahayati pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut, sehingga jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah dan kakeknya sangat berpengaruh pada perkembangan pribadinya, seperti kata pepatah, "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Oleh karena sang ayah dan kakeknya seorang Panglima Angkatan Laut, maka jiwa bahari tersebut dapat diwarisi oleh Keumalahayati. Kendatipun dirinya hanya seorang wanita, ia juga ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya. Sepanjang catatan sejarah, tahun kelahiran dan tahun kematian Keumalahayati belum diketahui dengan pasti. Hanya dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumalahayati sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.

Pada masa Keumalahayati masih remaja, Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut, dengan para instrukturnya sebagian berasal dari Turki. Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di Meunasah, RanAkang dan Dayah, Keumalahayati berniat mengikuti karir ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh. Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, ia kemudian ikut mendaftarkan diri dalam penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna akademi militer tersebut. 

Pendidikan militer pada tahun pertama dan kedua ia lalui dengan sangat baik, karena ternyata ia adalah seorang taruna wanita yang berprestasi sangat memuaskan. Sebagai taruna yang cakap dan mempunyai prestasi yang sangat menonjol telah membuat la sangat dikenal di kalangan para taruna lainnya, termasuk juga para taruna yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Maka tidak mengherankan kalau banyak mahasiswa di Akademi Militer tersebut yang sayang padanya. Bahkan banyak pula yang telah tertambat hatinya pada wanita tersebut. Namun di antara sekian banyak taruna laki-laki yang jatuh cinta padanya, tidak ada yang berkenan di hatinya. la lebih mementingkan pendidikannya dari pada memikirkan hal-hal yang menurutnya belum saatnya untuk dilakukan. Sebagai siswa yang berprestasi di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, Keumalahayati berhak memilih jurusan yang ia inginkan. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, ia memilih jurusan Angkatan Laut. Maklum karena sejak kecil jiwa pelaut telah ditanam oleh ayah dan kakeknya. Dalam masa-masa pendidikan militernya, ia berhasil dengan mudah melahap semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh para instrukturnya. 

Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil makdis tersebut, Keumalahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior dari dirinya. Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih sayang antara pria dan wanita. Keduanya akhirnya sepakat menjalin cinta asmara, dua tubuh satu jiwa, menyatu dalam cinta, mengarungi bahtera kehidupan yang bergelombang ini bersama-sama untuk menuju pantai bahagia, menikmati indahnya cinta. Setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya akhimya menikah sebagai suami-istri yang bahagia. Sejarah akhirnya mencatat, bahwa pasangan suami-istri alumni dari Akademi Militer ini menjadi Perwira Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran laut melawan armada Portugis.

Komandan Protokol lstana

Sebagai seorang perwira muda lulusan Akademi Militer Baitul Makdis di Aceh dan memiliki prestasi pendidikan yang sangat memuaskan, Keumalahayati memperoleh kehormatan dan kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589- 1604), diangkat menjadi Komandan Protokol lstana Darud-Dunia dari Kerajaan Aceh Darussalam. Jabatan sebagai Komandan Protokol lstana bagi Keumalahayati adalah merupakan jabatan yang tinggi dan terhormat. Jabatan tersebut sangat besar tanggung jawabnya, karena di samping menjadi kepercayaan Sultan, juga harus menguasai soal etika dan keprotokolan sebagai mana lazimnya yang berlaku di setiap istana kerajaan di manapun di dunia. Bersamaan dengan pengangkatan Keumalahayati sebagai Komandan Protokol Istana, diangkat pula Cut Limpah sebagai komandan intelijen istana (geheimraad).(Rusdi Sufi, 1994 :31).

Panglima Armada Inong Balee

Sejarah hidup Keumalahayati mengingatkan kita pada perjalanan hidup Cut Nyak Dhien. Ketika suaminya yang bemama Teuku Umar gugur di medan perang melawan Belanda, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan suaminya. Demikian pula halnya dengan Keumalahayati. Ketika suaminya gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di perairan Selat Malaka, Keumalahayati bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya. Semangat juang dan kepahlawanannya dapat disejajarkan dengan Srikandi, seorang tokoh pahlawan wanita dalam kisah Mahabharata. Oleh karena itulah maka Laksamana Keumalahayati Juga terkenal dengan sebutan "Srikandi dari Aceh". Mengenai tokoh Srikandi ini dapat kita lihat pada kitab Mahabharata. Srikandi adalah istri Harjuna, seorang ksatria pandawa yang terkenal sakti dalam Perang Baratayudha. Srikandilah yang berhasil membunuh Maharsi Bisma, Panglima Perang Korawa. Berkat kemenangan Srikandi itulah, maka Pandawa berhasil menghancurkan tentara Korawa. (Nyoman S. Pendit, 1970 : 189; I Made Purna, 1994 : 54-61). 

Kisah kepahlawanan Keumalahayati dimulai ketika terjadi pertempuran laut antara armada Portugis versus armada Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil. Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang Laksamana. Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru tersebut berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sedangkan di pihak Aceh, kehilangan dua orang Laksamana dan 1000 (seribu) prajuritnya gugur. Salah seorang Laksamana yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru itu, adalah suaminya Keumalahayati yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Adapun nama suami Keumalahayati yang ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut belum dapat diketahui dengan pasti. Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat Aceh Darussalam. Begitu pula Keumalahayati merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan suaminya yang gugur di medan perang. Walaupun dirinya bangga, ia juga geram dan marah pada Portugis. Maka tidak mengherankan jika ia ingin menuntut balas atas kematian suaminya dan bersumpah akan terus memerangi Portugis. Untuk melaksanakan niatnya, ia mengajukan perrnohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru. 

Mengingat Keumalahayati adalah seorang prajurit yang cakap dan alumni dari Akademi Militer, maka dengan senang hati Sultan mengabulkan permohonannya. Untuk itu Keumalahayati diserahi tugas sebagai panglima armada dan diangkat menjadi Laksamana. Armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada Inong Bale (Armada Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya. Di sekitar Teluk Krueng Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut. Tembok yang menghadap laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu Teluk. Benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda) tersebut, hingga sekarang masih dapat kita saksikan di Teluk Krueng Raya, dekat Pelabuhan Ma)ahayati. 

Armada Inong Balee ketika dibentuk hanya berkekuatan 1000 orang janda muda yang suaminya gugur di medan perang laut Haru. Dan jumlah pasukan tersebut, oleh Laksamana Keumalahayati diperbesar lagi menjadi 2000 orang. Tambahan personil ini bukan lagi jandajanda, tetapi para gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin Laksamana Keumalahayati. (A. Hasjmy, 1980: 3). 

Keumalahayati adalah seorang wanita Aceh pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral) Kerajaan Aceh dan rnerupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut dengan Sultan Al Mukammil saja. (J. Davis dalam Jacobs, 1894 : 185). Sebelum diangkat sebagai Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati pernah menjabat sebagai pemimpin pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 89). Setelah Keumalahayati sukses mengemban tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia diangkat oleh Sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam militer. (Davis dalam Yacobs, 1894). 

Pada saat berkuasa, usia Sultan sudah sangat tua (95 tahun). Maka tidak mengherankan jika di istana sering terjadi intrik-intrik yang berhubungan dengan suksesi dan berbagai usaha untuk menyingkirkan Sultan dari kursi kerajaan. (Wap, 1862 : 12). Hal itu menyebabkan Sultan menjadi tidak percaya pada setiap laki-laki yang dianggapnya akan mendongkel dirinya dari singgasana. Sultan sudah trauma dengan para laki-laki yang dianggapnya telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan dirinya. Mungkin karena kecurigaannya terhadap kaum laki-laki (Davis dalam Jacobs, 1894), Sultan akhirnya pada keputusan untuk mengangkat seorang wanita sebagai Laksamana. Kemungkinan tersebut semakin jelas ketika Sultan mengangkat Malahayati sebagai Laksamana. Sultan juga mengangkat seorang Cut Limpah sebagai "dewan rahasia" istana yang oleh Van Zeggelen disebut sebagai "geheimraad ". (Van Zeggelen, 1935). 

Setelah memangku jabatan sebagai Laksamana, Keumalahayati mengkoordinir sejumlah Pasukan Laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar\ (Van Zeggelen, 1894 : 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galey milik Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Keumalahayati menjadi Laksarnana, menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal (galey), di antaranya ada, yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang wanita berpangkat Laksamana. (Davis dalam Yacobs, 1894). 

Pada awal abad XVII, Kerajaan Aceh telah memiliki angkatan perang yang tangguh. Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki Angkatan Lautnya. Di samping itu, Angkatan Darat Kerajaan Aceh juga memiliki pasukan gajah. Untuk mengawasi daerah kekuasaan dan daerah taklukan, Kerajaan Aceh menempatkan kapal-kapal perangnya di pelabuhan-pelabuhan yarg berada di bawah kekuasaan atau di bawah pengaruhnya, misalnya Daya dan Pedir. Di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya melebihi ukuran kapal-kapal yang dimiliki bangsa Eropa. (Braddel, 1851 : 19).

Peristiwa Cornelis de Houtman

Sejarah mencatat bahwa dalam pelayarannya yang pertama 4 buah kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de houtman pada tanggal 22 Juni 1596 berlabuh di pelabuhan Banten. (Solichin Salam, 1987 : 2). Setelah kembali ke negeri Belanda, dalam pelayarannya yang kedua armada dagang Belanda yang dipersenjatai seperti kapal perang menghadapi kontak senjata dengan Kerajaan Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut masing-masing dipimpin oleh dua orang bersaudara yang bernama Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Pada awalnya kedua kapal Belanda tersebut mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda. 

Namun dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan yang dilakukan oleh seorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan sedang berbaik dengan Kerajaan Aceh sehingga dijadikan sebagai penterjemah Sultan. Akibat hasutan tersebut, Sultan menjadi tidak senang dengan kehadiran Belanda dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih berada di kapal. Kebetulan yang menjadi pemimpin penyerangan adalah Laksamana Keumala Hayati. Dalam penyerangan tersebut, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh dan Frederick de Houtman ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. (Van Zeggelen, 1935 :157; Davis dalam Yacobs, 1984 : 180; Tiele, 1881 : 146-152). 

Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan tertua di Nusantara. Peristiwa penyerangan kapal Belanda yang dilakukan oleh Laksamana Keumalahayati tersebut dilukiskan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul "Oude Glorie", hal. 157, yang dalam bahasa lndonesianya kira-kira sebagai berikut : DI kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya Frederick Houtman, oleh Keumalahayati sendiri dan penukis rahasia diserang, kemudian sebagai tawanan dibawa ke darat. Davis dan Tomkins, keduanya terluka, tinggal di kapal bersama mereka yang mati dan terluka. Dan pada tengah hari kabel pengikat kapal diputuskan dan merekapun berlayarlah.

Laksamana Keumalahayati Sebagai Seorang Diplomat

Keumalahayati bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Armada
Angkatan Laut Kerajaan Aceh, tetapi la juga pemah menjadi Komandan pasukan Wanita Pengawal Istana. lebih dari itu ia juga seorang diplomat dan juru runding yang handal. Hal ini telah dibuktikan dengan berbagai pengalaman dalam praktek menghadapi counter part-nya dari Belanda maupun lnggris. Sebagai seorang militer, Keumalahayati tegas dan disiplin tinggi, tetapi dalam menghadapi perundingan, la bersikap luwes tanpa mengorbankan prinsip. 

Sebagai seorang militer dan panglima armada, la dapat bersikap tegas tanpa mengenal kompromi menghadapi lawan. Namun sebagai seorang diplomat Keumalahayati dapat bersikap ramah dan luwes dengan lawan berundingnya. Sosok diplomat wanita Aceh ini tampak berwibawa. Tidak berapa lama sesudah peristiwa Cornelis de Houtman, pada tanggal 21 Nopember 1600 datang lagi, bangsa Belanda ke Kerajaan Aceh dengan dua buah kapal yang dipimpin oleh Paulus van Caerden (Wap, 1862 :13; Valentijn, 1862 : 82). Rupa-rupanya, sebelum memasuki Pelabuhan Aceh, mereka telah melakukan tindakan yang ceroboh, yaitu menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dulu memindahkan segala muatan lada dari kapal itu ke dalam kapal-kapal mereka dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pantai Aceh. 

Setelah peristiwa perampokan yang dilakukan oleh kapal Belanda terhadap kapal Aceh, datang lagi rombongan kapal Belanda yang dipimpin Laksamana Yacob van Neck. Mereka tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh van Caerden. Sewaktu mendarat di ibukota Kerajaan Aceh pada tanggal 31 Juni l601, mereka memperkenalkan diri kepada Sultan Aceh bahwa mereka adalah pedagang bangsa Belanda dan datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah rnengetahui rombongan yang datang tersebut adalah orang Belanda, Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya menahan mereka dan memperlakukan mereka secara tidak baik. Oleh Keumalahayati diinfomiasikan bahwa dua buah kapal Belanda yang datang sebelumnya telah menenggelamkan kapal milik Aceh dan membawa sejumlah lada tanpa bayaran. Oleh karena itu, sebagai ganti rugi. Sultan telah memerintahkan untuk menawan setiap kapal Belanda yang berlabuh di perairan Aceh. (Yacobs, 1894 ; 189-198). 

Menjelang 23 Agustus 1601 pedagang-pedagang bangsa Belanda lainnya, di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan 4 buah kapal masing-masing Zeelandia, Middelborg, langhre Bracke dan Sonne tiba di Pelabuhan Aceh. Kapal tersebut memang sengaja datang ke Aceh atas perintah Pangeran Maurits dari negeri Belanda untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aceh. Keduanya mendapat perintah untuk menyampaikan beberapa hadiah dan sepucuk surat agar dipersembahkan kepada Sultan Aceh. 

Sebelum surat tersebut disampaikan kepada Sultan Aceh terjadilah perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan Laksamana Laurens Becker dan Komisaris Gerard de Roy dari kerajaan Belanda. Perundingan tersebut membuahkan hasil berupa : terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Aceh. Selanjutnya sebagai imbalan dari dibebaskannya Federijck de Houtman dari tahanan. Belanda harus membayar kerugian kapal-kapal Aceh yang dibajak oleh Van Caerden. Berkat kepandaian Keumalahayati berdiplomasi, akhirnya Belanda bersedia rnembayar kerugian sebesar 50.000 golden. (Teuku Abdul Jalil 1980 : 2-4). 

Setelah bertemu dengan Sultan Aceh, utusan Pangeran Maurits tersebut mengakui betapa baik sambutan pihak Aceh kepada para pedagang Belanda ketika mereka pertama kali tiba di pelabuhan. Karena adanya hasutan dari pihak luarlah Sultan dan aparatnya bertindak tidak baik terhadap para tamunya tersebut. Dalam surat tersebut, Pangeran Maurits meminta kepada Sultan Aceh untuk tidak rnempercayai hasutan-hasutan dari pihak luar. Ia memohon pula agar pihak Aceh bersedia membebaskan kembali orang-orang Belada yang ditawan. 

Laurens Bicker, sebagai salah seorang pemimpin rombongan menyampaikan rasa penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh van Caerden dan kawan-kawannya dahulu. Sekembalinya ke negeri Belanda, ia berjanji akan menuntut kompeni dagang van Caerden atas tindakannya yang main rampas. Bickers temyata tidak berbasa-basi dan janjinya kepada Kerajaan Aceh ia tepati. Hal itu terbukti dengan adanya hukuman denda yang dijatuhkan oleh Mahkamah Amsterdam atas van Caerden, berupa keharusan membayar denda sebesar 50.000 gulden kepada pihak Aceh dan uang sejumlah tersebut benar-benar dibayarkan kepada Aceh (de Jonge, 1862 : 234). Pihak Belanda yang dipimpin oleh Bickers ternyata berhasil meyakinkan pihak Aceh melalui Keumalahayati. Oleh karena itu Sultan Aceh kemudian bersedia menerima kehadiran mereka di istana Kerajaan. Mereka diizinkan berdagang di Aceh. Keumalahayati diperintahkan membebaskan semua tawanan Belanda termasuk Frederick de Houtman. 

Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Keumalahayati menjadi Laksamana adalah pengiriman tiga orang utusan Aceh menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga utusan tersebut bernama Abdoel Hamid, Sri Muhammad, salah seorang perwira armada laut di bawah Keumalahayati, dan Mir Hasan seorang bangsawan Kerajaan Aceh (Wap, 1862 : 17). Ketiganya merupakan duta Aceh pertama dari Kerajaan di Asia yang pernah dikirim ke Eropa (Negeri Belanda). 

Belanda yang pada saat itu sedang menghadapi Perang Kemerdekaan melawan
penjajahan Spanyol yang dalam sejarah Belanda dikenal dengan Perang 80 Tahun, ketika menerima utusan dari Aceh disambut dengan upacara kenegaraan. Dalam upacara tersebut, hadir pula tamu-tamu terhormat dari beberapa negara Eropa yang menyaksikan pengakuan de jure dari Kerajaan Aceh. (Wap, 1862 : 17). Dengan demikian Republik Belanda yang baru lahir di bawah pimpinan Pangeran Maurits, pendiri Dinasti Oranye itu telah terangkat derajatnya di kalangan negara-negara Eropa. 

Salah seorang utusan dari Aceh yang bernama Abdoel Hamid, mengingat usianya yang sudah usur (71 tahun), akhirnya meninggal di kota Middelburg dan dimakamkan di kota tersebut atas biaya Penguasa Kompeni Hindia Timur (VOC). (Wep, 1862: 18-19). Dua utusan lainnya kembali ke Aceh dengan selamat. Sekarang giliran lnggris bermaksud untuk menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Aceh. Untuk itu Ratu Elizabeth I (1558-1603) mengirim utusan ke Kerajaan Aceh. Sebagai realisasinya pada tanggal 6 Juni 1602 James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris bersama rombongannya tiba di Pelabuhan Aceh. la membawa sepucuk surat dari ratunya Elizabeth I untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh At Mukammil. (Jacobs, 1894 : 202). 

Setibanya di Aceh, sebelum bertemu dengan Sultan, Lancaster terlebih dahulu mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumala Hayati. Pembicaraan itu dilakukan dengan bahasa Arab. Lancaster dapat mengerti bahasa itu karena ia membawa serta seorang Yahudi dari Inggris sebagai penerjemah dari bahasa Arab ke bahasa lnggris. (Jacobs, 1894 : 202). Dalam perundingan tersebut, utusan lnggris menyampaikan pentingnya menjalin verja sama ekonomi dan perdagangan antara Inggris dengan Kerajaan Aceh. Selain itu Lancaster meminta kepada Keumalahayati agar tetap memusuhi Portugis dan berbaik hati pada orang-orang Inggris. Ia meminta agar Aceh membantu utusan-utusan Inggris di Aceh. Setelah perundingan selesai, Laksamana Keumalahayati meminta pada Lancaster agar semua keinginan tersebut dimintakan atas nama Ratu Inggris dan dibuat secara tertulis untuk disampaikan kepada Sultan Aceh. Setelah surat permohonan itu selesai dibuat, James Laueaster diperkenankan menghadap Sultan. Dengan didampingi Laksamana Keumalahayati, Sultan akhirnya bersedia berunding dengan Lancaster sebagai wakil dari Ratu lnggris. 

Tampaknya Portugis tidak suka melihat kedatangan orang-orang Belanda dan lnggris di Aceh. Oleh karena itu mereka kemudian mendirikan benteng di Pulau yang terletak di Pantai Aceh. Hal itu kemudian ditentang oleh pihak Aceh dan merupakan batu ujian bagi Laksamana Keumalahayati.

Menyelesaikan Intrik Kerajaan

Pada tahun 1603 Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Mukammil menempatkan anak laki-lakinya yang tertua sebagai pendampingnya di atas tahta Kerajaan Aceh. Oleh karena berambisi ingin menjadi Sultan penuh, putranya itu menyingkirkan si Ayah dari kedudukan sebagai Sultan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan dengan menggunakan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607). 

Tahun-tahun pertama pemerintahan Sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-bencana yang menimpa Kerajaan Aceh, seperti adanya musim kemarau yang sangat panjang, pertikaian berdarah dengan saudaranya dan juga adanya ancaman dari pihak Portugis. Sultan nampaknya tidak mampu mengatasi kesulitan tersebut. Apalagi pemerintahannya sendiri berjalan dengan tidak memuaskan hati rakyat. Hal ini disebabkan karena caranya mencapai kedudukan sebagai Sultan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri.Rasa tidak puas juga disampaikan oleh Darmawangsa Tun Pangkat, seorang kemenakannya sendiri yang kemudian ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan. Ketika orang-orang Portugis menyerang Aceh pada bulan Juni 1606. Darmawangsa masih berada di penjara. Penyerangan Portugis ke Aceh dipimpin oleh Alfonso de Castro. Sebagai orang Aceh, Darmawangsa tidak rela jika negerinya diserang musuh. Oleh karena itu ia meminta pada Sultan untuk membebaskan dirinya dari tahanan, agar ia dapat ikut bertempur melawan Portugis. Dengan diperkuat oleh permintaan Laksamana Keumalahayati, permohonan kemenakannya itu dikabulkan Sultan. 

Setelah bebas dari tahanan. Darmawangsa bersama Keumalahayati menghadapi serangan Portugis. Pertempuran sengit di perairan Aceh pun terjadi. Berkat kecakapan dan kegigihan Laksamana Keumalahayati dan Darmawangsa, akhirnya pasukan Portugis berhasil dihancurkan. Sultan sendiri karena tidak cakap dan tidak disukai oleh rakyatnya tidak bertahan lama di singgasana. Dengan bantuan Laksamana Keumalahayati, akhirnya Darmawangsa Tun Pangkat berhasil menurunkan Sultan All Riayat Syah dari tahta kerajaan. Darmawangsa adalah tokoh yang cakap yang akhirnya menggantikan kedudukan Ali Riayat Syah sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda, yang memerintah Kerajaan Aceh mulai tahun 1607-1636 M. (Lombard, 1986 : 128-129). 

Pada masa kekuasaannyalah kerajaan Aceh mencapai zaman keemasannya. Selanjutnya mengenai kematian Laksamana Keumalahayati belum dapat diketahui karena memang belum ada data atau petunjuk yang menerangkan kematiannya. Walaupun kelahiran dan kematiannya masih menjadi misteri, namun sepak terjang dan kepahlawanannya pantas dicatat dalam lembaran sejarah Aceh dengan tinta emas. 

sumber referensi
http://acehpedia.org/Laksamana_Keumalahayati#3._Penghargaan

Muliadi Natada

About Muliadi Natada

Terimakasi sudah menyempatkan untuk membaca postingan ini.

Subscribe to this Blog via Email :