Hubungan antara Muslim di dunia Melayu-Nusantara dan Timur Tengah
telah terjalin sejak masa-masa awal Islam. Muslim dari Arab, Persia dan
India berlayar untuk menyebarkan Islam di wilayah Melayu-Nusantara,
selain juga untuk tujuan perdagangan. Di masa berikutnya, sejumlah besar
para guru sufi yang datang ke Melayu-Nusantara telah banyak berperan
dalam proses penyebaran Islam sejak akhir abad ke-12. Secara umum,
setidaknya sejak abad ke-17, hubungan yang terbangun antara
Melayu-Nusantara dan Timur Tengah adalah di bidang keagamaan dan
keilmuan. Azyumardi Azra menganggap keliru pendapat yang mengatakan
bahwa hubungan antara dua wilayah dalam dunia Islam ini lebih bersifat
politis ketimbang hubungan keagamaan (1994: 16-17).
Meski Azra berpendapat bahwa hubungan Melayu-Nusantara dan Haramayn
lebih bersifat keagamaan ketimbang politik, namun ia mengungkapkan bahwa
hubungan kedua penguasa negeri Islam tersebut, Sultan Aceh dan Syarif
Makkah, memiliki implikasi politik yang penting bagi Aceh. Azra yang
merujuk pada riwayat Pires tentang kerajaan Aru bersamaan dengan
serangan Aceh (947/1540), juga mengutip sepucuk surat Sultan Johor
kepada Sultan Aceh, menyatakan bahwa Kerajaan Aceh mendapat kehormatan
besar dengan menerima “stempel emas Baitul Haram, Makkah” (1994: 55).
Pires (Azra, 1994: 55) berdasarkan sumbernya menyatakan bahwa Sultan
Aceh pada masa itu, ‘Ala Al-Din, sebagai “seorang darwisy sufi yang baik
dan beriman, yang dihormati sebagai Datos Maulanas (Datok
Maulana?-red) tua, yang demi keagungan lebih besar dari Nabi (Muhammad),
mengikuti jalan pengunduran diri dari kehidupan yang melelahkan dan
penuh nestapa”. Aceh juga secara rutin menerima ulama terkemuka dari
Hijaz, Mesir dan Gujarat.
Menurut Azra, kemakmuran kerajaan-kerajaan Muslim Nusantara yang
diraih dari hasil perdagangan internasional, telah membuka kesempatan
bagi masyarakat Muslim Melayu-Nusantara untuk melakukan perjalanan ke
pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah. Hal ini juga
didukung oleh upaya Dinasti Usmani dalam mengamankan jalur perjalanan
haji. Komunitas Melayu-Nusantara yang muncul di dua kota suci Makkah dan
Madinah atau Haramayn, oleh sumber-sumber Arab disebut dengan istilah Ashab al-Jawiyin (saudara kita orang Jawi).
Selain untuk menunaikan ibadah haji, perjalanan muslim Melayu-Nusantara ke tanah suci juga untuk tujuan ‘rihlah ‘ilmiyah’,
perjalanan untuk mempelajari ilmu agama dari para ulama-ulama terkemuka
di Makkah dan Madinah. Muslim Melayu-Nusantara yang tinggal di Haramayn
selama bertahun-tahun telah melakukan interaksi sosial-keagamaan dengan
Muslim lain yang datang dari berbagai wilayah dalam dunia Islam.
Hubungan diantara mereka terbangun dalam ikatan kelimuan antara
guru-murid maupun dalam hubungan pertemanan/kolega (Fathurrahman 2012:
46-48).
Istilah Jawi atau orang Jawi oleh sumber-sumber Arab dimaksudkan
untuk merujuk kepada semua umat Muslim yang datang dari seluruh wilayah
Melayu-Nusantara (Asia Tenggara). Syekh Ibrahim al-Kurani (w. 1690),
seorang ulama yang berafiliasi dengan Thariqat Syattariyah,
murid dari Syakh Ahmad al-Qusyasyi al-Madani (w. 1661)—dua tokoh ini
merupakan guru dari Abdurrauf ibn Ali al-Fanshuri/Syiah Kuala
(1615-1693) yang banyak mempengaruhi pemikirannya—juga merupakan ulama
yang ada di Haramyn pada masa kurun abad ke-17, menggunakan istilah jama’at al-Jawi untuk merujuk kepada komunitas Melayu-Nusantara di Haramayn.
Azra menyebutkan (1994: 88-89) pada masa itu Syekh Ahmad al-Qusyasyi
yang merupakan guru kepada Syekh Ibrahim al-Kurani dan Syekh Abdurrauf
al-Fanshuri adalah murid dari Syekh Sibghat Allah (w. di Madinah
1015/1606) dalam Thariqah Syathariyah. Meski dikenal sebagai pengamal
Thariqah Sythariyah, namun Syekh Ahmad al-Qusyasyi juga memegang ijazah
selusinan thariqat. Yang paling berpengaruh diantara murid-muridnya
selain Syekh Ibrahim al-Kurani adalah Syekh Abdullah bin Syekh
al-‘Aydrus (guru dari Sayyid Umar Ba Syaiban yang merupakan guru dari
Syekh Nuruddin al-Raniry), Hasan bin Ali al-‘Ajami, Sayyid al-‘Alamah
al-Wli Barakaat al-Tunisi, Sayyid Abdul Khaliq al-Hindi al-Lahuri,
Sayyid Abdurrahman (al-Mahjub) al-Maghribi al-Idrisi, Sayyid Abdullah
Bafaqih, Sayyid Ali al-Syaibani al-Zabidi dan sejumlah ulama terpandang
Yaman lainnya dari keluarga ‘Alawi dan Ja’man (beberapa tokoh utama
keluarga ini juga merupakan guru-guru Syekh Abdurrauf al-Fanshuri dan
Syekh Yusuf al-Makassari).
Sejak abad ke-17, setidaknya hubungan dan interaksi Ulama Haramayn dan Ashab al-Jawi turut memberikan kontribusi bagi tradisi besar keilmuan Islam yang berpusat di Haramayn. Jama’at al-Jawiyin
pun telah menjadi penghubung bagi tersebarnya berbagai doktrin, konsep,
ajaran dan pemikiran intelektual-keagamaan yang berasal dari Haramayn
di dunia Melayu-Nusantara. Beberapa tokoh awal yang terkemuka dimana
karya-karyanya memberi pengaruh besar hingga kini diantaranya adalah
Hamzah Fanshuri, Shamsuddin al-Sumatra’i, Nuruddin al-Raniri (w. 1658),
Abdurrauf al-Fanshuri dan Yusuf al-Makassari (1629-1699) (Fathurrahman,
2012: 50).
Oman Fathurrahman (2012) menyebutkan bahwa, kontak intelektual antara jama’at al-Jawiyin
dengan para Ulama di Haramayn tetap berlanjut hingga mereka kembali ke
kampung halaman di Nusantara. Mereka turut menyatakan atau melaporkan
perkembangan kehidupan keagamaan di Tanah Jawi, termasuk meminta
penjelasan atau dalam jika diperlukan, mereka turut meminta fatwa .
Hipotesis A.H.Johns (Fathurrahman, 2012), Abdurrauf ibn Ali al-Fansuri (Syiah Kuala) adalah salah seorang dari jama’at al-Jawiyin, murid Ibrahim al-Kurani yang melaporkan situasi keagamaan di wilayah yang disebut dengan bilad al-Jawah. Abdurrauf juga meminta kepada al-Kurani untuk menulis penjelasan tentang kitab al-Tuhfah al-Mursalah
yang menjadi sumber kesalahpahaman di dunia Melayu. Hipotesis ini
menjadi dasar bagi Oman Faturrahman yang menyatakan bahwa mereka yang
dimaksud al-Kurani adalah masyarakat Muslim di Aceh yang pada masa itu
menjadi tempat terjadinya perdebatan intelektual mengenai dokrtin wahdatul wujud.
Berdasarkan laporan tersebut pula, akhirnya Ibrahim al-Kurani mengarang karya monumental berupa kitab Ithaf al-Dhaki bi sharh al-Tuhfah al-mursalah ila al-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallama, sebagai respon permintaan salah seorang Jama’ah al-Jawiyin untuk memberikan penjelasan dalam meredakan perdebatan di Aceh dan sebagai bentuk klarifikasi kesalahpahaman atas ajaran wahdadul wujud.
Fathurrahman (2012: 15) menilai bahwa Syekh Ibrahim al-Kurani banyak
mempengaruhi Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri. Dalam berbagai karya
yang dihasilkan oleh Abdurrauf al-Fansuri seperti Tanbih al-Mashi, Kifayat al-Muhtajin, Daqaiq al-huruf, ia dengan sungguh-sungguh melanjutkan tradisi pemikiran al-Kurani yang cenderung mengafirmasi ajaran wahdat al-wujud dengan tetap mempertahankan teologi Ash’ariyah dan berpegang teguh kepada syariat
Syiah Kuala sendiri adalah yang paling terkenal diantara murid-murid
Syekh Ahmad al-Qushashi dan Syekh Ibrahim al-Kurani. Syiah Kuala dalam
karyanya Umdat-ul Muhtajin menceritakan bahwa selama
pengembaraannya di jalur perjalanan haji dari Aden ke Makkah, ia telah
belajar di enam tempat di Yaman. Diantara kota-kota yang dikunjunginya
untuk belajar adalah Zabid, Mukha, Tayy, Bayt al-Faqih dan Mawza. Ia
kemudian sempat belajar di Dukha di Semenanjung Qatar, kemudian belajar
di Makkah dan terakhir di Madinah.
Syiah Kuala mengatakan dalam kitab tersebut bahwa ia belajar ilmu qira’ah al-Qur’an dari Syekh Abdullah al-Adani di Zabid yang ia sebut sebagai qari
terbaik di Yaman. Perjalanannya ke Makkah untuk belajar kepada Syekh
Ahmad al-Qushashi disebabkan oleh salah satu gurunya di Bayt al-Faqih
dan Mawza, Syekh Ibrahim bin Abdullah Ja’man yang mengenalkan ia kepada
Syekh Ahmad al-Qushashi (Azra, 2015).
Dalam masanya menuntut ilmu di Jazirah Arab selama 19 tahun, ia
belajar tidak kurang dari 15 orang guru, 27 ulama terkenal, dan 15 tokoh
sufi kenamaan.
Syekh Abdurrauf al-Fanshuri kemudian kembali ke Aceh dan menjadi
seorang ulama yang terkemuka. sejumlah murid yang mendatanginya untuk
belajar ilmu agama. Syekh Burhanuddin Ulakan dari Sumatra Barat dan
Shaikh Abdul Muhyi Pamijahan dari Jawa Barat merupakan diantara para
ulama-ulama Nusantara yang menyebarkan ilmunya dan melanjutkan tradisi
keilmuan Syiah Kuala yang berasal dari Haramayn, di wilayah mereka
masing-masing di Nusantara.
Oleh: Jabal Ali Husin Sab*
Sumber :*Staff di Pusat Dokmumentasi dan Informasi Aceh.
Referensi
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Penerbit Mizan, Bandung, 1994.
Azyumardi Azra, The Significance of Southeast Asia (The Jawah World)
for Global Islamic Studies: Historical and Comparative Perspective,
Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 8 (March 2015), pp 69-87.
Oman Fathurrahman, Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara,Pemerbit Mizan, Jakarta, 2012.
Oman Fathurrahman, Jamaat al-Jawiyyin di Haramayn, http://oman.uinjkt.ac.id/2007/09/jamaat-al-jawiyyin-di-haramayn-dan.html.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar