
Tradisi pemotongan hewan pada hari meugang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu di Aceh. Di setiap penjuru daerah Aceh terlihat pemandangan penyembelihan hewan secara massal, termasuk di kantor-kantor pemerintah dan swasta. Seakan sudah menjadi kewajiban bagi orang tua untuk mempersiapkan uang agar dapat membeli daging untuk keluarga pada hari meugang. Biasanya mereka yang mencari nafkah diperantauan akan pulang kampung (mudik) untuk berkumpul bersama keluarga pada hari meugang.
Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat mendatangi pasar. Tapi, dua hari menjelang Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, dulu warga ramai-ramai datang ke pasar, sehingga ada istilah makmu that gang nyan (makmur sekali pasar itu). Maka, jadilah makmeugang. Tapi, seiring perkembangan bahasa kata itu menjadi meugang.
Meugang dianggap punya nilai religius karena dilakukan pada waktu-waktu yang dianggap suci bagi umat Islam. Bagi masyarakat Aceh, Ramadhan dianggap bulan untuk menyucikan diri. Masyarakat Aceh memegang teguh kepercayaan bahwa nafkah yang telah dicari 11 bulan dinikmati selama Ramadhan sambil beribadah.
Menurut kisah, pada awalnya meugang itu dilakukan pada masa Kerajaan Aceh. Waktu itu, Sultan memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagi-bagikan gratis kepada rakyat sebagai bentuk rasa syukur kemakmuran dan terima kasih kepada rakyatnya.
“Setelah Aceh dikalahkan Belanda, kerajaan bangkrut. Lalu, rakyat berpartisipasi sendiri dengan memotong sapi atau kerbau guna memeriahkan meugang. Tradisi itu tetap berakar di tengah masyarakat Aceh sampai sekarang.
Menurut sejarah, meugang sudah sangat berakar dengan orang Aceh. Tradisi ini malah bisa membantu perjuangan pahlawan Aceh untuk bergerilya, yaitu daging yang diawetkan. Dengan daging awetan, pejuang Aceh dapat menjaga persediaan makanan yang tetap berkalori sehingga dapat bertahan selama perang gerilya.
Filosofi lain bisa dipetik dari tradisi meugang itu, katanya, jika dikaitkan dengan Islam yaitu bentuk syukur kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki “karena orang Aceh sangat kental dengan nilai-nilai keislaman”.
Selain itu, tambahnya, pada hari meugang banyak dermawan membagi-bagikan daging untuk fakir miskin sehingga terbangun interaksi sosial dan kebersamaan. Dengan begitu, semua warga meski berasal dari keluarga tak mampu bisa menikmati masakan daging pada hari istimewa tersebut.
Sudah jadi tradisi, setiap kepala rumah tangga membeli minimal dua atau tiga kilogram daging untuk disantap bersama seisi rumah. Pantang bagi satu keluarga kalau tidak memasak daging pada hari meugang, sementara dari rumah tetangga tercium aroma masakan kari daging, sehingga anak-anak dilarang keluar rumah untuk bermain pada hari meugang.
“Malah, bagi seorang pria yang baru menikah seperti diwajibkan untuk membeli daging minimal tiga kilogram untuk dibawa pulang ke rumah mertuanya. Kalau hal itu tak dilakukan, maka aib bagi mempelai pria dan keluarga tersebut, karena mereka akan malu kepada orang seisi kampung.
“Kalau di pedesaan yang masih kuat adatnya, mempelai pria itu bisa jadi tidak diterima lagi sebagai menantu kalau tak membawa pulang daging. Ada anggapan menarik dalam tradisi ini dimana apabila seorang manantu tidak membawa pulang daging meugang kerumah mertua maka menantu tersebut dianggap lemah dan sang pemuda malang tersebut akan merasa sangat malu. Namun hal ini hanya berlaku apabila sang menantu masih menetap di rumah mertua, akan lain halnya apabila sudah memiliki rumah sendiri, membawa pulang daging meugang bukanlah suatu kewajiban yang akan memalukan bila tidak dilaksanakan.Tradisi turun temurun ini tidak ada yang tahu pasti kapan mulai dilaksanakan namun tujuan dari tradisi ini pada dasarnya disebabkan oleh anggapan daging adalah makanan yang mahal dan tidak menjadi lauk keseharian. Dengan anggapan tersebut maka meugang dilaksanakan 3 kali setahun dengan tujuan semiskin apapun masyarakatnya maka setiap 3 kali setahun maka masyarakat akan menikmati daging tidak peduli mereka memiliki uang atau tidak.
Celakanya harga daging pada saat meugang akan lebih mahal daripada harga pada hari-hari biasa, hal ini tentunya bertolak belakang dengan keinginan sebagian masyarakat miskin yang ingin merasakan daging meugang, namun apabila ada masyarakat yang memang secara ekonomi tidak sanggup membeli daging maka mereka tidak perlu khawatir tidak akan makan daging, karena pasti tetangga atau saudaranya akan mengirimkan daging untuknya walaupun kadang kala bukan daging mentah tapi yang sudah dimasak.
Disini rasa sosial dalam masyarakat Aceh dipertunjukkan, walau kita sudah sangat sibuk sehingga tidak lagi mengenal dengan tetangga sekurang-kurang dalam setahun ada 3 kali waktu yang mengingatkan kita untuk saling berbagi dan peka terhadap lingkungan. Semoga tradisi ini terus berlangsung dan nilai-nilai sosial yang telah ditanamkan oleh orang tua kita tidak luput dimakan perubahan jaman yang sangat kejam ini.
Warga Aceh memiliki tradisi unik menyambut bulan suci Ramadhan. Meugang hari—yang dirayakan dengan cara memasak dan menyantap daging bersama keluarga—diperingati sehari menjelang masuknya bulan suci.
Sejarah Meugang
Meugang merupakan
singkatan dari sebutan makmeugang. Walau sumber ilmiah yang meneliti
tentang meugang secara mendalam masih sulit ditemukan, tapi seperti yang
dikisahkan oleh Amir Hamzah (2009), bahwa pada masa Sultan Iskandar Muda ada
gang – gang atau lorong pasar yang dipenuhi oleh daging – daging berjejeran
yang didatangi oleh banyak orang. Sebab itulah muncul sebutan makmu that
gang nyan (makmur sekali gang itu), yang kemudian menjadi istilah makmeugang.
Seiring perjalanan waktu, istilah makmeugang disingkat menjadi meugang
dalam kehidupan masyarakat Aceh. Perayaan meugang itu sendiri
merupakan wujud rasa syukur Sultan dan juga untuk menyambut datangnya bulan
suci Ramadhan dengan melakukan pemotongan lembu atau kerbau secara besar –
besaran untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat. Namun, setelah takluknya
kesultanan Aceh oleh invasi Belanda, pelaksanaan meugang tidak lagi
terikat dengan aturan kesultanan Aceh melainkan rakyat Aceh langsung yang
melaksanakannya secara suka rela.
Untuk saat ini secara umum meugang dilakukan
untuk menyambut bulan Ramadhan dan hari raya, tepatnya dilakukan dua hari
sebelum awal puasa, dua hari menjelang Idul Fitri dan Idul Adha. Tradisi meugang
seakan tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Hingga kini pun
tradisi meugang masih tetap lestari. Semoga tetap terus terjaga.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar