
Hal lain yang perlu juga dipertimbangkan adalah air tidak hanya
sangat berfungsi dan bermakna dalam peradaban Islam tapi juga bernilai
secara sejajar dengan menganggapnya hal yang keramat dan suci dalam
agama dan budaya lain. Dalam perspektif ini kita menyaksikan koneksi
yang sangat kuat antara air dan kesucian hidup masyarakat. Misalnya,
ketika Kerajaan Turki Saljuki memasuki Anatolia pada tahun 1071,
Anatolia dikenal sebagai tempat yang menaungi banyak struktur dan
investasi peradaban air dalam bentuk air pancur, pemandian umum,
pelindung sungai dan danau dan lainnya, yang menyatukan pemahaman
tentang pentingnya air baik dalam Islam maupun dalam peradaban Roma
Barat dan Yunani. Kemudian, pada periode Turki Usmani, pemahaman ini
berlanjut dengan pendekatan yang sama, mensintesiskan kedua pengertian
Barat dan Islam yang dimaterialisasikan di setiap sudut kota dengan
sangat konkrit melalui contoh-contoh yang terlihat dalam bentuk
pemandian umum, air pancur, dan lain-lain.
Turki Usmani menjuluki Islam bagaikan sebuah ‘peradaban air’, selain
aspek dan karakteristik lainnya. Alasan mengapa Turki Usmani
mempertimbangkan air sebagai fenomean dominan tidak hanya berhubungan
dengan kebutuhan meterial dalam kehidupan sehari-hari umat Muslim tapi
juga sebagai sesuatu media yang unik yang dibutuhkan untuk menghadap
pencipta lima kali sehari.
Struktur arsitektur tidak hanya berfungsi sebagai penghubung air dari
satu sumber ke tempat lainnya, tapi juga secara signifikan
dipertimbangkan sebagai contoh unik meliputi nilai artistik dan estetik
dalam ukiran, kaligraphi dan rancangan. Air mancur dan pemandian umum
yang dibangun di halaman-halaman dan sudut jalan-jalan utama di
kota-kota kosmopolitan Turki. Bangunan-bangunan, khusunya bangunan air
mancur ini dibuat dengan status wakaf yang kemudian bernama sesuai
dengan nama pemberi wakaf. Hingga hari ini air mancur ini masih dapat
memenuhi kebutuhan pendatang. Beberapa contoh dari ratusan bangunan
yang ada dapat disaksikan di Istanbul adalah air mancur bernama ‘Ahmet
III’ yang terletak di kawasan Sultanahmet tepatnya digerbang masuk
Istana Topkapı dan di Üsküdar. Dapat juga diamati contoh-contoh lain
peradaban air di kawasan-kawasan perkampungan seperti pemancurdijalan
utama antara satu desa dengan desa lainnya, atau kawasan pegunungan.
Sebagai tambahan, air juga pernah berfungis sebagai penyembuh penyakit
di Edirne, yang pada suatu waktu menjadi ibu kota Turki Usmani. Setelah
keterangan singkat tentang peradaban air di Anatolia, kita juga bisa
berbagi narasi dari sejarah Aceh yang terhubung dengan Turki Usmani
dalam beberapa aspek.
Air dalam sejarah Aceh
Wilayah Aceh merefleksikan perspektif yang sama dimana pembangunan
kota berada di mulut sungai-sungai atau di tepi-tepi sungai di seluruh
Aceh. Sungai-sungai ini terhubung dengan kawasan pedalaman yang kaya
akan berbagai produk-produk pertanian dengan jalan-jalan yang lebih
besar mengarah ke Selat Melaka dan Samudra Hindia. Bahkan sekarang,
gambaran ini sangat unik untuk disaksikan di Banda Aceh, Daya (Lamno),
Lamuri, Trumon, dan Singkel. Sungai-sungai ini secara signifikan
berfungsi tidak hanya sebagai aliran air tapi juga digunakan untuk
kehidupan sehari-hari selayaknya sebuah masyarakat. Ada contoh-contoh
unik dalam sejarah Aceh yang memperlihatkan prioritas air sebagaimana
terekam dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Ada definisi-definis yang sangat penting yang berkaitan dengan pusat
Istana dan lingkungannya, yaitu pada masa Sultan Iskandar Muda dan
Sultan Iskandar Tsani sebagaimana tercatat dalam Bustan’us Salatin yang
mencerahkan era negeri Aceh. Nama-nama seperti “Krueng Daroy (Dar’ul
Isjki)”, “Dar’ud Dunya”, “Taman Ghairah”, “Gunongan”, “Mandi Safar”
adalan elemen konkrit yang merupakan konsep budaya dan peradaban air di
Banda Aceh selama masa itu. Khusunya Mandi Safar sempat disaksikan oleh
tidak hanya sultan dan kalangan kerajaan tapi juga pendatang asing
seperti Houtman dan Thomas Best pada akhir abad 16 dan permulaan abad
ke-17.
Misalnya, sebagaimana disebutkan ada kalimat ‘air penyembuh’ dalam
Bustan’us Salatin. Sebagai tambahan, menara pertama Gunongan dikelilingi
oleh air yang berfungsi tidak hanya sebagai area hiburan tapi juga
lebih pada mendalami cinta suci (Isyki Musyahadah) yang dapat dikatakan
seperti pengasingan diri. Menara ini dengan jelas mencerminkan hubungan
air degan kesucian dan ideologi sufi.
Jika tidak mampu menjangkau Bustan’us Salatin, semua poin-poin ini dapat dicermati dalam buku Dr. Kamal A Arif “Banda Aceh: Ragam Citra Kota: Interpretasi Sejarah, Memori Kolektif dan Arketipe Arsitekturnya”. Misalnya, pada halaman 18 “Dalam
pandangan Islam, air adalah perlambang kesucian (thaharah). Syarat sah
shalat adalah dengan terlebih dahulu berwudhu menggunakan air bersih.
Menurut catatan para pendatang asin ke negeri Aceh Darussalam di masa
kesultanan air Krueng Aceh sangat higienis dan berfunsi juga sebagai
obat.” Dalam halaman 91, lagi-lagi Pak Dr. Kamal menyebutkan bahwa “Iskandar
Muda mendirikan banyak bangunan dan taman-taman. Ia terkenal sangat
peduli pada masalah pelestarian alam dan linkungan. Sungai-sungai sangat
jernih dan higienis”.
Akan menjadi kesalahan besar jika berpikir bahwa contoh peradaban air
hanya terlihat di istana. Sebutan istana dalam manuskrip berkaitan erat
dengan pendekatan yang diberikan para sarjana terhadapnya. Tapi bukan
berarti masyarakat umum tidak memiliki fasilitas peradaban air. Tidak
bisa diragukan bahwa setiap unsur unsur relevan dalam kehidupan setiap
individu masyrakat sangat bergantungan degan penggunaan air.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar