Di samping kesatuannya, dunia Islam
menunjukkan keaneka-ragamnya melalui ciri-ciri yang dihasilkan oleh
sesuatu masyarakat pada satu zaman tertentu. Di antara ciri-ciri ini
terdapat hasil kesenian berkaitan dengan kematian, yaitu batu nisan. Di
antara batu nisan Islam yang berawal di Asia Tenggara terdapat satu
golongan yang disebut “batu Aceh”, karena diduga hasil
suatu tradisi yang berasal dari bagian Utara Sumatra. Golongan ini
dapat dibedakan dari batu nisan lain berdasarkan atas bahan, bentuk,
dan hiasan. Sampai sekarang, “batu Aceh” paling tua yang tahunnya dapat
dipastikan adalah batu nisan Sultan Malik al-Salih, sultan yang
pertama memerintah kerajaan Samudra-Pasai di timur laut Sumatra,
berangka tahun 1297 M (Ramadhan 696 H).
Tradisi
kesenian “batu Aceh” sebenarnya tersebar dari wilayah Pattani (selatan
Thailand), ke Malaysia, Indonesia, dan Brunei. Di Indonesia, jumlah
“batu Aceh” mungkin lebih dari lima ribu buah. Di Semenanjung Melayu
sendiri, sekitar 400 makam orang Islam yang ditandai dengan “batu Aceh”
dapat ditemukan hingga sekarang. Diselatan Thailand dan di Brunei,
jumlahnya beberapa puluhan buah.
Dengan demikian, seni “batu Aceh”
merupakan suatu tradisi kesenian Islam yang amat berarti bagi seluruh
kawasan Nusantara. Lagipula, di antara batu nisan Islam tertua yang
berada di sebelah barat kawasan tersebut (Semenanjung Melayu, Sumatra),
jumlah “batu Aceh” jauh lebih besar dari batu nisan yang berasal dari
tradisi kesenian Islam lain. Jika ditambah dengan tingkat kemahiran
yang tinggi, keanekaragaman bentuk dan kekayaan hiasan, serta langkanya
peninggalan Islam di kawasan ini, maka “batu Aceh” merupakan monumen
luar biasa untuk sejarah Islam pada umumnya dan sejarah kesenian Islam
di Nusantara pada khususnya.
Deskripsi ini bertujuan untuk
menunjukkan bahwa korpus “batu Aceh” yang begitu besar ini perlu diberi
perhatian yang mendalam. Pertama-tama, deskripsi yang terperinci dan
sistematik akan membantu untuk membuat suatu tipologi yang lengkap
berdasarkan bentuk umum, dan mencatat varian-varian hiasan untuk setiap
jenis, serta menemukan unsur-unsur dekoratif yang sama bagi berbagai
jenis. Selain itu, deskripsi ini akan memudahkan perbandingan di antara
semua batu nisan sejenis. Pada tahap yang berikut, dari perbandingan
itu, batu nisan yang jumlah ciri-ciri identik cukup besar dapat
dikelompokkan untuk membantu interpretasi kronologi dan sejarah.
Mengenai “batu Aceh”, tahap ini penting sekali karena tidak banyak
“batu Aceh” yang epitafnya mengandungi data-data yang berarti dari segi
sejarah. Maka, dari perbandingan tersebut, dapat diusulkan hipotesis
mengenai kronologi jenis-jenis dan identifikasi makam.
Penelitian mendalam seperti ini sudah
dimulai di Semenanjung Melayu, terutama di negeri Johor, Perak dan
Kedah di Malaysia, dan di Provinsi Pattani di selatan Thailand. Di sini
akan kita lihat beberapa hasil yang didapati dari penelitian terbaru
di negeri Johor.
A. Konteks Sejarah
Dalam sejarah dunia Melayu, nama Johor
biasanya dikaitkan dengan kesultanan yang muncul pada awal abad ke-16
di ujung selatan Semenanjung Melayu. Kesultanan itu adalah pengganti
Melaka sebagai penguasa setempat yang besar di wilayah Selat Melaka,
dan akan mencapai puncaknya pada paruh kedua abad ke-17, dengan
memanfaatkan kemerosotan kesultanan Aceh dan perebutan Melaka oleh
orang Belanda pada tahun 1641.
Tidak banyak yang diketahui tentang
sejarah daerah tersebut sebelum abad ke-16. Namun demikian, terdapat
bukti bahwa ada kampung di sepanjang Sungai Johor pada abad ke-15, dan
dua makam dengan nisan berbentuk “batu Aceh” dipastikan dari abad
ke-15. Yang pertama adalah makam “nenanda kepada Almarhum Mansur”, yang
epitafnya bertanggal Senen bulan Sha‘ban tahun 857 H (Agustus
September 1453) di Sayong Pinang (Ludvik Kalus dalam Perret dkk., 1999:
127), dan yang kedua makam Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka di
Kampung Raja (Pagoh). Epitafnya tidak mencantumkan tanggal
kemangkatannya, tetapi dari sumber lain dapat diketahui bahwa dia
mangkat pada tahun 1488.
Kesultanan Johor muncul pada masa
keadaan darurat dan langsung terancam sejak awal pendiriannya. Sesudah
perebutan Melaka oleh orang Portugis pada tahun 1511, Sultan Melaka
yang terakhir, Mahmud Syah I, berpindah-pindah dari Johor (Muar, Pekan
Tua, Pagoh), ke Pahang, dan ke Pulau Bintan, dari mana dia akan diusir
oleh orang Portugis pada tahun 1526. Penggantinya menetap di tepi
Sungai Johor mulai sekitar tahun 1530. Ini titik permulaan suatu seri
perpindahan yang akan terjadi sepanjang sejarah kesultanan. Tidak
kurang dari 22 perpindahan terjadi antara tahun 1535 dan 1718, di
sepanjang Sungai Johor dan di Kepulauan Riau. Sebagian dari perpindahan
itu terjadi akibat serangan Portugis atau Aceh. Sebelas sultan silih
berganti antara tahun 1511 dan tahun 1718. Sesudah tahun 1718, ibu kota
kesultanan Johor-Riau terletak di Kepulauan Riau. Hanya pada tahun
1886, Johor kembali sebagai ibu kota kesultanan itu, ketika Maharaja
Abu Bakar mulai menetap di Johor Bahru.
Berkembangnya Kesultanan Johor terutama
berdasarkan kemampuannya untuk menarik kapal-kapal dagang, yang
kadang-kadang dilakukan dengan cara kekerasan. Ibu kotanya merupakan
tempat pertukaran aneka jenis barang dengan kemudahan seperti gudang,
yang kemungkinan besar terletak di bawah tanah untuk mencegah
kebakaran, pegawai yang mahir dalam penyelenggaraan perdagangan, pajak
yang cukup murah, ukuran berat dan panjang yang stabil, kemudahan untuk
memperbaiki kapal-kapal, serta ketidak adaan pembajakan laut di
sekitarnya. Yang datang berdagang di Johor adalah orang Cina, orang
India (khususnya orang Gujrati), orang Siam, pedagang dari
tempat-tempat lain di Semenanjung Melayu, orang Aceh dan pedagang dari
seluruh pantai Sumatra, orang Jawa, pedagang dari Borneo, Maluku,
Tenassirim, orang Belanda, Inggris, Portugis, serta orang Denmark.
Kapal-kapal dari Johor sendiri pergi berdagang sampai ke Teluk Siam,
Benggala dan Koromandel.
Sewaktu orang Belanda merebut Melaka
pada tahun 1641, Johor berkuasa atas seluruh pantai barat Semenanjung
Melayu di sebelah selatan Selangor (kecuali daerah Melaka), Siak,
Kampar dan Bengkalis di Sumatra, Kepulauan Riau-Lingga dan Singapura.
Secara bertahap, sebagian besar dari pantai timur Sumatra, di sebelah
selatan Aceh, berada di bawah kekuasaan Johor pada akhir abad ke-17,
ditambah Terengganu, Pahang, pantai timur Johor, Pulau Siantan dan
Tambelan, serta beberapa pulau di dekat pantai barat Borneo.
B. Penelitian Awal Tentang “Batu Aceh” di Negeri Johor
Penelitian pertama diterbitkan pada
tahun 1932 dalam buku Richard Olaf Winstedt, A History of Johor
(1365-1895 A.D.). Jelas bahwa Winstedt mengutamakan penelitian tentang
batu nisan yang memiliki tulisan yang menarik dan tidak berusaha untuk
memberikan satu gambaran terperinci bagi setiap batu nisan yang
ditemuinya. Edisi asal bukunya menguraikan suatu penelitian epigrafi
oleh Engku ‘Abdul-Hamid bin Engku ‘Abdu‘l-Majid mengenai empat batu
nisan dari Kampung Raja (Pagoh) serta beberapa batu nisan dari Sayong
Pinang. Winstedt sadar bahwa batu nisan ini berkaitan dengan Aceh
tetapi gambaran yang diberikannya amat ringkas, contohnya
“Malayo-Achinese type”, “inferiors specimens of the elaborately foliate
type”, “European-lantern (or ‘pine-apple‘) type”, “usual XVIIth
century type” atau “Chinese-lantern type”. Ini mungkin dapat dimengerti
karena penelitian mengenai “batu Aceh” masih kurang di Hindia-Belanda
pada waktu itu sehingga tipologi yang terperinci belum dapat
dihasilkan. Mungkin juga foto-foto yang diambil serta replika dari
semen yang dibuat untuk Museum Raffles di Singapura telah dianggap
mencukupi sebagai referensi langsung bagi peneliti setempat. Namun,
buku Winstedt amat penting karena mengandung daftar lokasi situs yang
paling lengkap.
Kita harus menunggu lebih dari setengah
abad sebelum suatu penelitian penting mengenai “batu Aceh” di negeri
Johor dapat dihasilkan, yaitu pada tahun 1985 oleh Othman bin Mohd.
Yatim dan diterbitkan tiga tahun kemudian oleh Muzium Negara Malaysia.
Penelitian ini amat penting karena didasari atas survei antara tahun
1974 dan 1983 di seluruh Semenanjung Melayu dan dapat menghasilkan satu
tipologi batu nisan berbentuk “batu Aceh” yang terperinci, serta
membuat hipotesis tentang kronologi jenis-jenis dan simbolisme. Maka 14
jenis batu nisan dibedakan atas 188 kuburan dari seluruh Semenanjung
Melayu, termasuk 83 kuburan dari negeri Johor sendiri. Pada waktu yang
sama, satu penelitian epigrafi dan tipologi kuburan Islam di Indonesia,
yang telah dihasilkan oleh Professor Hasan Muarif Ambary (1984),
berisi satu esei tipologi “batu Aceh” berdasarkan kuburan-kuburan yang
terdapat di Indonesia dan di Malaysia, termasuk beberapa buah kuburan
dari Johor. Di samping itu beberapa penelitian ringkas mengenai
tulisan-tulisan yang terdapat pada batu nisan berbentuk “batu Aceh” di
Johor telah dihasilkan oleh Louis-Charles Damais (1968), Abdul Halim
Nasir (1985) sendiri atau bersama Othman bin Mohd. Yatim (1990).
Informasi tentang situs tertentu ada pula dalam beberapa buah buku,
majalah ilmiah, serta koran dan majalah umum dari Malaysia.
C. Penelitian Terbaru
Survei terbaru mengenai “batu Aceh” di
Johor, telah dilaksanakan oleh École française d‘Extréme-Orient (EFEO)
bersama Yayasan Warisan Johor di antara tahun 1996 dan awal tahun 1999.
Pilihan negeri Johor memang tidak dilakukan secara kebetulan karena
sebenarnya, dalam keadaan pengetahuan sewaktu survei itu dimulai,
negeri Johor merupakan kawasan yang paling kaya akan “batu Aceh” di
Malaysia. Kerja lapangan telah membawa penambahan situs makam lama
dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh” dari 15 tempat menjadi 36,
bertambah lebih dari 50% jika dibandingkan dengan penelitian yang
terdahulu. Jumlah keseluruhan makam yang diteliti di sini diperkirakan
211 buah. Kami mendapati bahwa dari kira-kira dua per tiga dari makam
yang telah didaftar, sekurang-kurangnya satu batu nisan masih utuh atau
hampir utuh.
Kawasan terpenting yang mengandung
paling banyak makam dengan “batu Aceh” adalah lembah Sungai Johor dan
anak sungainya, dengan 195 buah makam yang telah ditemukan, diikuti
Sungai Simpang Kiri dan anak sungainya di daerah Batu Pahat dengan 10
buah makam, akhirnya Sungai Muar dan anak sungainya di daerah Muar
dengan 6 buah makam. Bahwa semua situs terletak berdekatan dengan
sungai yang besar atau anak sungainya tidak mengherankan, karena sampai
awal abad ke-20, sungai-sungai merupakan jalan utama di semenanjung
dan orang biasanya tinggal di tepi sungai.
D. Tipologi
Metode yang dilakukan untuk penelitian
tipologi didasari oleh metode Othman bin Mohd. Yatim, yaitu dengan
membagi setiap batu nisan ke dalam enam bagian: dasar, badan bagian
bawah, badan bagian atas, bahu-bahu, kepala dan puncak. Deskripsi ini
merupakan deskiripsi paling terperinci sampai sekarang untuk “batu
Aceh”. Dari penelitian ini, 252 ciri hiasan dapat di identifikasikan:
57 ciri pada bagian dasar, 22 ciri pada badan bagian bawah, 61 pada
badan bagian atas, 30 pada bagian bahu-bahu, 51 pada bagian kepala, dan
31 pada bagian puncak. Jumlah ciri ini membuktikan keaneka-ragaman dan
kekayaan hiasan “batu Aceh”. Daftar ini dilakukan selengkap mungkin,
karena dalam keadaan pengetahuan sekarang, belum diketahui ciri-ciri
apa yang relevan untuk membantu dalam usaha memberi tanggal dan
identifikasi makam. Ciri-ciri ini tidak hanya merupakan varian hiasan
untuk sebuah jenis, tetapi dapat juga ditemui pada beberapa jenis.
Dalam penelitian ini, misalnya didapati bahwa 112 ciri ditemui pada
sekurang-kurangnya dua jenis dan dua ciri ditemui pada delapan jenis.
Persamaan ini mengukuhkan lagi hipotesis bahwa semua batu nisan ini
merupakan basil dari satu tradisi kesenian yang khas.
Dari bentuk umum batu nisan, dapat
dibedakan 16 jenis: 9 yang berbentuk papan (A, B, C, D, E, F, N, O, Q)
dan 7 yang berbentuk tiang (G, H, J, K, L, M, P). 13 jenis di antaranya
telah di definisikan dan ditemukan di Aceh oleh Othman bin Mohd.
Yatim. Menurut kami, terdapat tiga lagi jenis yang perlu dibedakan,
yaitu jenis yang kami namakan O, P dan Q. Jenis O terdapat
sekurang-kurangnya di kepulauan Riau. Jenis P terdapat di Aceh sedangkan
kami telah melihat batu nisan yang menyerupai jenis Q di daerah
Pattani, selatan Thailand. Di Johor, jenis yang utama dari segi jumlah
kuburan adalah jenis C (89 buah) (42%), yang terdapat di 26 situs,
diikuti jenis K (36 buah) (17%), A (9 %), H (7 %) dan O (7 %). Hasil
penelitian ini memperkuatkan lagi posisi jenis C sebagai jenis “batu
Aceh” yang paling banyak di Semenanjung Melayu. Dengan dua kekecualian,
di semua situs dengan sekurang-kurangnya dua kuburan terdapat lebih
dari satu jenis batu nisan.
Korpus data yang dihasilkan untuk
memberikan setiap batu nisan ini membantu untuk membuat perbandingan di
antara batu nisan dan demikian mengelompokkannya berdasarkan jumlah
ciri-ciri yang sama. Kemudian pengelompokan ini membantu untuk
mengusulkan hipotesis tentang zamannya sebuah batu nisan, ataupun
identifikasi makam jika terdapat persamaan yang sangat khusus.
E. Epigrafi
Dari 211 buah makam yang telah diteliti,
terdapat sebuah makam saja yang tanggalnya serta identitasnya termuat
di dalam epitaf, yaitu nenek dari Sayyid al-marhum Mansur yang mangkat
pada bulan Agustus atau September 1453 di Sayong Pinang. Epitaf yang
memuat nama saja ada pada makam Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka
Ibni Sultan Mansur Syah Melaka yang berada di Pagoh. Dari sumber lain,
diketahui bahwa kemangkatannya terjadi pada tahun 1488 dan baginda
kemudian disebut “Marhum Berdarah Puteh”. Terdapat dua makam lagi yang
epitafnya memuat sebuah nama, termasuk makam Sulaiman Syah ibni Sultan
Mansur Syah Melaka ibni Sultan Muzafar Syah Melaka. Dia adalah kakak
atau adik dari Sultan Alauddin Riayat Syah I Melaka.
Batu nisan lain tidak memuat unsur apa
pun yang dapat langsung mengidentifikasi makamnya. Sebenarnya data
mengenai tulisan yang ada pada “batu Aceh” dari Johor dapat dibagikan
ke dalam dua kumpulan yang jauh berbeda. Kumpulan pertama terdiri dari
makam yang batu nisannya memuat teks-teks dan epitaf-epitaf yang dapat
dibaca, walaupun epitaf-epitaf ini kadangkala hanya berisikan ayat
Al-qur’an atau teks-teks keagamaan lain. Kumpulan kedua terdiri dari
makam yang pada batu nisannya terdapat tulisan berhuruf yang agak
“digayakan” sehingga kadang-kadang sama sekali tidak dapat dibaca.
Makanya, walaupun terdapat beberapa tulisan di mana kalimat syahadat
cukup jelas kelihatan dan biasanya diulangi beberapa kali pada kedua
batu nisan sebuah makam, terdapat pula contoh di mana teks yang sama
diukir menurut suatu gaya yang amat menyusahkan pembacaannya. Pada
tahap terakhir gaya ini berbentuk seri-seri garis vertikal.
F. Perbandingan Untuk Identifikasi
Kekurangan informasi yang diperoleh
langsung dari batu nisan sendiri memaksa kami menggunakan sumber-sumber
lain serta membuat perbandingan dengan batu nisan lain untuk mencoba
mengidentifikasi makamnya. Di bawah ini diberikan beberapa contoh hasil
penelitian yang menggunakan sekaligus perbandingan di antara batu
nisan, sumber tertulis, dan sumber lisan.
F.1. Bukit Seluyut
Di Bukit Seluyut terdapat sekelompok
makam yang terdiri dari tiga makam yang mungkin dapat dikaitkan dengan
beberapa peristiwa yang diceritakan dalam Sejarah Melayu.
Menurut teks ini, Sultan Muzzafar Syah
II telah mangkat di Seluyut dan dikebumikan di Bukit Seluyut. Karena
itulah baginda disebut “Marhum di Seluyud”. Tidak ada tanggal
terperinci tentang kemangkatan baginda, dan dari sumber lain dapat
disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum bulan Agustus 1569.
Menurut Sejarah Melayu, anak saudaranya, Sultan Abdul Jalil I, mangkat
pada usia Sembilan tahun, tidak lama sesudah menaiki takhta. Baginda
juga dikebumikan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam Sultan
Muzzafar Syah II. Seperti Sultan Muzzafar Syah II, tidak ada tanggal
terperinci tentang kemangkatan Sultan Abdul Jalil I dan dari sumber
yang sama dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini terjadi sebelum bulan
Agustus 1569. Menurut Sejarah Melayu juga, Raja Fatimah, puteri Sultan
Alauddin Riayat Syah II, dan adik Sultan Muzzafar Syah II, juga
dikuburkan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam abangnya.
Peristiwa ini terjadi sebelum kemangkatan Sultan Abdul Jalil Syah II
pada tahun 1597.
Dengan
keadaan ini, di mana tiga orang dimakamkan berdekatan satu sama lain,
kami berpendapat bahwa makam mereka adalah kumpulan tiga makam tersebut
di atas, sekiranya batu nisan – batu nisan betul-betul terletak pada
tempat asalnya. Kecuali ukuran yang sedikit berbeda, boleh dikatakan
bahwa batu nisan dari dua makam di antaranya adalah sama. Persamaan ini
cukup sesuai untuk makam dua kakak-beradik, yaitu Sultan Muzzafar Syah
II dan Raja Fatimah. Selain itu, batu nisan yang ketiga kecil, oleh
karena itu dapat diduga bahwa ini menandakan makam seorang anak,
mungkin Sultan Abdul Jalil I.
Jika dibandingkan dengan batu nisan di
luar Johor, batu nisan dari makam-makam yang diduga makam Sultan
Muzzafar Syah II dan Raja Fatimah nampaknya mempunyai banyak persamaan
dengan Makam Tok Subang di Kampung Kandang dekat Sayong, Kuala Kangsar,
negeri Perak di Malaysia. Tok Subang diduga gundik Sultan Mansur Syah I
Perak (1549-1577) yang telah dibunuh dengan perintah baginda karena
satu fitnah. Tanggal ini amat sesuai dengan pendapat kami mengenai
zaman Sultan Muzzafar Syah II dan Raja Fatimah.
F.2. Makam Tengku Dara Putih
Sewaktu kunjungan ke Sungai Johor pada
tahun 1826, sekelompok pengunjung dari Singapura sempat mendarat di
dekat Bukit Sungai Tukul (Panchor) di mana terdapat sebuah makam yang
digambarkan seperti berikut:
“[...] At the N.E. end of the fort we found a tomb formed by piling up large flat stones and filling up the centre with earth; there were two stones standing erect about a foot apart; they were of the same form, 3 feet high, very handsomely carved, and in good state of preservation. They are of hard sand-stone and said by our guide (Inchi Salle) to be the workmanship of a Chinese and to be the tomb of Raja Tungko Putih; but he could not tell us when he lived or anything of his history” (Viator dalam Moor, 1837: 265).
Makam ini masih ada dan namanya sering
disebut dalam beberapa variasi. Menurut Winstedt, pada awal tahun
1930-an, makam ini disebut Makam Raja Puteh. Kini ia disebut Makam
Puteri Putih, Makam Tengku Dara Putih, atau juga Makam Tengku Putih.
Terdapat satu kepercayaan setempat yang menceritakan bahwa tokohnya
mangkat setelah tertusuk jarum emas pada jarinya.
Semua nama ini tidak memberikan langsung
identitas orang yang dikebumikan. Namun, di samping dugaan bahwa dia
seorang perempuan, dari gelaran “Tengku” yang digunakan
sekurang-kurangnya mulai awal abad ke-19, dapat diduga juga bahwa dia
anggota keluarga raja. Kami berpendapat bahwa Panchor pernah sekali
menjadi ibu kota kesultanan Johor, mulai tahun 1702 hingga bulan Juni
1709, sewaktu pemerintahan Sultan Abdul Jalil IV. Masuk akal bahwa
identitas Tengku Putih perlu dicari terlebih dahulu dalam keluarga raja
pada waktu itu. Untuk itu terdapat satu sumber asing yang amat
menarik, yaitu laporan seorang Inggris, Vaughan, yang berada di “New
Johore” pada tahun 1703. Walaupun nama tempat Panchor tidak disebutnya,
adanya istana di “New Johore” cukup meyakinkan untuk mempertahankan
bahwa tempat ini adalah Panchor.
Vaughan menceritakan bahwa adik atau kakak perempuan Sultan Abdul Jalil IV, yang juga istri Syahbandar, mangkat sewaktu hendak melahirkan pada tanggal 4 September 1703. Kemungkinan besar orang ini adalah orang yang disebut Tengku Putih di dalam tradisi setempat. Hipotesis ini diperkuatkan lagi berdasarkan satu silsilah yang sekarang dipegang oleh seorang keturunan Sultan Abdul Jalil IV. Dokumen ini menyebut bahwa Raja/Tengku Dara Puteh adalah anak Sultan Abdul Jalil Syah III dan mangkat di Panchor, seterusnya disebut “Marhumah Mangkat di Bukit Panchor”.
Vaughan menceritakan bahwa adik atau kakak perempuan Sultan Abdul Jalil IV, yang juga istri Syahbandar, mangkat sewaktu hendak melahirkan pada tanggal 4 September 1703. Kemungkinan besar orang ini adalah orang yang disebut Tengku Putih di dalam tradisi setempat. Hipotesis ini diperkuatkan lagi berdasarkan satu silsilah yang sekarang dipegang oleh seorang keturunan Sultan Abdul Jalil IV. Dokumen ini menyebut bahwa Raja/Tengku Dara Puteh adalah anak Sultan Abdul Jalil Syah III dan mangkat di Panchor, seterusnya disebut “Marhumah Mangkat di Bukit Panchor”.
Batu nisan makam ini, yang berjenis N,
mempunyai banyak persamaan dengan batu nisan dari dua makam yang berada
dekat Kota Tinggi. Yang satu terletak dalam Kompleks Makam Bendahara
Tun Habib Abdul Majid di Kampung Makam, yang lain terletak di seberang
Sungai Johor di Kampung Tembeyoh, dan dipercayai sebagai makam seorang
perempuan yang hidup sewaktu Sultan Mahmud Syah II bersemayam di Kota
Tinggi (1688-1699). Berdasarkan dugaan bahwa Kompleks Makam Bendahara
Tun Habib Abdul Majid dibuka sewaktu Sultan Mahmud Syah II pindah ke
Kota Tinggi pada bulan Juli 1688, maka zaman ketiga makam ini dapat
diletakkan antara tahun 1688 dan tanggal Panchor ditinggalkan sebagai
ibu kota, yaitu Juni 1709.
Di Malaysia, kebanyakan “batu Aceh”
jenis N ditemukan di Makam Diraja Kampung Langgar, Kedah (9 buah
makam). Kompleks makam ini telah dibuka pada tahun 1701 atas perintah
Sultan Abdullah Al-Muazzam Shah. Tanggal ini amat sesuai tentang zaman
ketiga makam jenis N yang disebut di atas. Namun kenyataan tidak begitu
jelas dari segi itu, karena makam-makam keluarga raja sebelum tahun
1701 pernah dipindahkan ke Kampung Langgar, mungkin termasuk batu nisan
jenis N juga. Di luar Malaysia, “batu Aceh” jenis N ditemukan juga di
Aceh (dipercayai dari abad ke-17), di Pulau Bintan (abad ke-17) dan di
Banten pada makam Sultan Ageng Tirtayasa yang mangkat pada tahun 1692.
F.3. Makam Bendahara Tun Mas Anom
Terdapat tiga versi berlainan tentang
sebuah makam yang juga terletak di Panchor: apakah itu makam Sultan
Abdul Jalil I, makam Sultan Abdul Jalil III, atau makam seorang
bendahara?
Kami telah menunjukkan di atas bahwa, menurut Sejarah Melayu, Sultan Abdul Jalil I dikebumikan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam Sultan Muzzafar Syah II.
Kami telah menunjukkan di atas bahwa, menurut Sejarah Melayu, Sultan Abdul Jalil I dikebumikan di Bukit Seluyut, bersebelahan dengan makam Sultan Muzzafar Syah II.
Selain itu, menurut Sejarah Melayu lagi,
Sultan Ala Jalla Abdul Jalil Riayat Syah II (Raja Omar) mangkat di
Makam Tauhid (Abdul Samad bin Ahmad), Sultan Abdul Jalil Syah III
mangkat di Pahang seperti juga Sultan Abdul Jalil Syah IV. Melihat
semua uraian ini, kami berpendapat bahwa makam tersebut bukan makam
seorang sultan Johor yang bernama Sultan Abdul Jalil.
Versi yang mengatakan bahwa makam
tersebut adalah makam seorang bendahara kelihatan jauh lebih kuat.
Sebuah sumber setempat, peringatan Sejarah Negeri Johor, memang
menceritakan bahwa Bendahara Tun Mas Anom meninggal dunia sewaktu ibu
kota kesultanan Johor terletak di Panchor. Bendahara ini adalah adik
Sultan Abdul Jalil IV, dan satu sumber Belanda memberi tanggal
terperinci kematiannya: 29 Mac 1708. Hipotesis bahwa makam tersebut
adalah makam Bendahara Tun Mas Anom diperkuatkan lagi jika dilihat dari
segi jenis batu nisan. Selain makam ini, kami telah menemukan dua buah
makam lain dengan “batu Aceh” jenis P di negeri Johor, yaitu di
Kompleks Makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid. Salah satunya diduga
makam Bendahara Tun Habib Abdul Majid sendiri, yang tidak lain dari
ayahnya Bendahara Tun Mas Anom.
G. “Batu Aceh” dan Adat Kematian
Walaupun kemungkinan besar banyak makam
dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh” sudah hilang, dari jumlah yang
masih kelihatan sekarang, dapat diperkirakan bahwa “batu Aceh”
digunakan untuk orang Islam tertentu saja di Semenanjung Melayu mulai
abad ke-15. Sebenarnya informasi yang tertera dalam epitaf pada
beberapa “batu Aceh” menunjukkan bahwa ia digunakan sebagai tanda makam
sultan, kaum kerabatnya serta orang-orang besar kerajaan.
Adat kematian orang biasa tidak disebut
dalam sumber-sumber lokal. Terdapat informasi ringkas dalam beberapa
sumber Cina seperti Hai yü (1537), di mana tentang Melaka disebut bahwa
orang miskin membakar mayat, demikian juga orang kaya tetapi
sebelumnya jenazahnya diletakkan di dalam sebuah peti bersama kapur
Barus. Satu lagi sumber Cina, dari akhir abad ke-16 atau awal ke-17,
juga mencatat bahwa semua mayat dibakar. John Davis, seorang pelaut
yang berada di Aceh pada tahun 1599 mencatatkan bahwa orang biasa
dikebumikan.
Hai-lu, sebuah sumber Cina dari akhir
abad ke-18, menyebut bahwa di Songkhla (selatan negeri Thailand
sekarang) orang Melayu dikebumikan di bawah pohon kelapa dan tidak ada
pengorbanan yang dibuat untuknya. Dalam sumber ini juga dicatat bahwa
di pantai timur, termasuk Johor, adatnya hampir sama.
Hai-lu tidak menyebut lagi bahwa mayat
dibakar. Maka dapat disimpulkan bahwa pemakaman orang kebanyakan sudah
menjadi biasa pada abad ke-18 dan mungkin juga pada abad ke-17 dan
kuburannya ditandai dengan batu sungai, batu biasa, atau batang kayu.
Baik sumber setempat, maupun sumber asing, memberi bukti bahwa sultan,
kaum kerabatnya serta orang-orang besar kerajaan dimakamkan mulai abad
ke-15 di Semenanjung Melayu.
Seringkali dalam kesusastraan
tradisional Melayu, sewaktu kemangkatan seorang raja atau kematian
orang besar, tidak terdapat satu gambaran terperinci mengenai adat
pemakamannya dan hanya disebut seperti contoh berikut: “Makam Sultan
Mahmud Syah pun ditanamkan oranglah seperti adat raja-raja mangkat”.
Namun terdapat beberapa sumber setempat yang memberikan keterangan yang
lebih terperinci.
Di antaranya terdapat sebuah teks
berjudul Adat Raja-Raja Melayu yang memiliki satu bab sangat menarik
mengenai adat yang diikuti sewaktu kemangkatan seorang raja. Teks ini
telah dihasilkan di Melaka pada tahun 1779 atas pesan De Bruyn, seorang
Belanda yang bertugas sebagai Gubernur Melaka pada waktu itu.
Narasumber adalah orang setempat bernama Tuan Lebai Abdulmuhit dan
isinya berkenaan dengan adat Raja pada zaman kesultanan Melaka. Biarpun
informasi ini diperoleh hampir 300 tahun sesudah kejatuhan kesultanan
Melaka, isinya cukup meyakinkan, apalagi karena adat yang di ikuti di
Melaka seterusnya di ikuti di kesultanan lain di Semenanjung. Terdapat
perincian-perincian amat menarik tentang batu nisan sendiri,
terutamanya tentang pembuatan batu nisan oleh tukang-tukang setempat
yang pandai. Dari gambaran yang diberikan, jelas bahwa batu nisan
berbentuk “batu Aceh” digunakan sebagai batu nisan makam Sultan Melaka.
Terdapat satu contoh di Johor sendiri, yaitu makam Sultan Alauddin
Riayat Shah (1477-1488) di Kampung Raja, Pagoh, Muar. Satu informasi
lain yang menarik adalah bahwa tulisan-tulisan berbagai warna di cat di
atas batu nisannya. Dari hasil survei, jelas bahwa hiasan seperti ini
sudah lama hilang dan cat yang ada sekarang pada beberapa batu nisan
kelihatan baru.
Teks Bustan al-Salatin juga memberikan
beberapa perincian menarik tentang adat pemakaman raja dan tercatat di
dalamnya bahwa sewaktu memerintah di Aceh, Sultan Iskandar Thani
memutuskan mengirim batu nisan ke Pahang untuk makam-makam kerabat
baginda. Selain itu, terdapat juga beberapa informasi mengenai batu
nisan sesudah kemangkatan Sultan Iskandar Thani di Aceh pada tahun
1641, termasuk perhiasan berbentuk lapisan emas dan batu permata.
Bustan al-Salatin siap tertulis oleh Nuruddin al-Raniri pada tahun 1640
(1050 H.) yaitu 139 tahun sebelum teks Adat Raja-raja Melayu, terdapat
tiga fakta rang menarik di sini.
Pertama, terbukti bahwa ada batu nisan
yang dikirim dari Aceh ke Semenanjung Melayu, sekurang-kurangnya pada
awal abad ke-17. Fakta ini membawa beberapa persoalan: apakah semua
batu nisan yang disebut “batu Aceh” memang berasal dari utara Sumatra?
Sekiranya benar, apakah batunya diukir di utara Sumatra atau di tempat
pemakaman? Seandainya diukir di luar Sumatra, sejak kapan dan dari mana
asal tukangnya? Teks Adat Raja-raja Melayu menunjukkan bahwa
terdapatnya tukang “batu Aceh” di Semenanjung Melayu merupakan suatu
fakta yang disampaikan secara turun-temurun. Selain itu, pada “batu
Aceh” dari Johor terdapat batu nisan di mana pembuatan ukiran nampaknya
belum selesai, atau juga terdapat makam di mana sebuah batu nisan
diukir sedangkan yang lain tidak. Dari situ, kami berpendapat bahwa
sekurang-kurangnya sebagian dari “batu Aceh” diukir di Semenanjung.
Fakta yang kedua membawa implikasi
mengenai kronologi jenis “batu Aceh” karena keputusan Sultan Iskandar
Thani menunjukkan bahwa batu nisan yang menandai suatu kubur mungkin
bukan batu nisan asal. Penggantian batu nisan asal bisa membawa
kekeliruan sekiranya terdapat satu jangka waktu yang cukup panjang
(misalnya satu abad) di antara pengebumian dan kejadian meletak batu
nisan baru. Teks Adat Raja-Raja Melayu menunjukkan bahwa sebatang nisan
sementara ditanam sewaktu upacara pengebumian dan batu nisan tetap
ditanam kira-kira sebulan kemudian. Namun, mungkin terdapat keadaan di
mana batu nisan tetap berbentuk satu jenis yang dihasilkan jauh sesudah
pengebumiannya, sedangkan epitaf, jika ada, pada batu nisan baru ini,
menyebutkan bahwa orang tersebut meninggal jauh sebelumnya. Mungkin
juga bisa terjadi bahwa satu batu nisan tetap kemudian diganti dengan
batu nisan lain, disebabkan alasan tertentu, seperti batu nisan lama
rusak atau batu nisan baru dianggap lebih cantik. Oleh karena itu,
zaman sejenis “batu Aceh” tidak dapat dipastikan tanpa meneliti
sebanyak mungkin batu nisan dari jenis tersebut di berbagai kawasan.
Fakta menarik yang ketiga dalam teks
Bustan al-Salatin adalah berkenaan dengan hiasan-hiasan yang terdapat
pada batu nisan dalam bentuk emas dan permata. Jelas bahwa sekiranya
dahulu terdapat “batu Aceh” dengan hiasan sebegini di Johor, maka
hiasan ini sudah lama hilang dan batu nisan yang kelihatan sekarang
sudah tidak lengkap lagi.
Apa yang mendasari munculnya “batu Aceh”
adalah suatu pertanyaan yang belum terjawab. Biarpun “batu Aceh” belum
diteliti secara mendalam dari segi simbolisme, jelas bahwa ia
merupakan campuran unsur-unsur pra-Islam dan unsur-unsur Islam. Maka
tidak terlalu aneh jika ditemukan monumen-monumen yang serupa dari segi
bentuk dan hiasan di kawasan lain di Asia Tenggara.
H. Kosa Ban Saladaeng Nua
Sebenarnya, peradaban Buddha di Asia
Tenggara telah menciptakan monumen berkaitan dengan kematian yang dapat
dibandingkan dengan “batu Aceh”, yaitu tempat menyimpan abu mayat yang
disebut kosa dalam bahasa Thai. Tradisi kesenian ini lebih kuno
daripada tradisi “batu Aceh”. Sebuah contoh sangat mirip dengan “batu
Aceh” masih kelihatan di Saladaeng Nua, sebuah kampung lama di tepi
Sungai Chao Phraya, sekitar 50 km dari Bangkok. Penduduk kampung adalah
orang Mon yang berpindah dari Birma ke tempat ini pada awal abad
ke-19. Monumen ini terletak di dalam sebuah bangunan kecil dekat sebuah
wat. Abu mayat tidak tersimpan dalam monumen sendiri, tetapi di
bawahnya, dalam wadah dari logam atau dalam kotak dari keramik. Monumen
berbentuk serupa juga digunakan sebagai tempat abu mayat Raja Siam
dahulu. Walaupun begitu, dari perbandingan ini tidak dapat langsung
disimpulkan bahwa ada pengaruh dari tradisi tempat abu mayat penganut
agama Buddha atas jenis “Batu Aceh” yang dimaksud, yaitu jenis J.
I. Kesimpulan
Hasil berbagai survei yang telah
dilakukan di Negeri Johor, Malaysia, dari tahun 1996 hingga tahun 1999,
telah membawa penambahan sebanyak 15 tempat atas jumlah situs makam
lama dengan batu nisan berbentuk “batu Aceh”, menjadikan jumlahnya 36
sekarang. Temuan batu nisan juga bertambah, melebihi 50% jika
dibandingkan dengan penelitian yang sebelumnya pada tahun 1980-an,
sehingga jumlahnya menjadi 211 buah. Dari hasil penelitian yang telah
diperoleh hingga sekarang, disimpulkan bahwa Negeri Johor merupakan
daerah Semenanjung Melayu yang paling kaya akan “batu Aceh”. Selain
itu, keadaan setiap makam juga telah dicatat secara terperinci dan
didapatkan bahwa sekitar dua pertiga darinya masih mempunyai
sekurang-kurangnya satu batu nisan dalam keadaan sempurna.
Dari segi tipologi, penelitian ini telah
dapat memperkenalkan ciri-ciri yang terperinci bagi setiap batu nisan
berbentuk “batu Aceh” dan menghasilkan satu cadangan tipologi yang
membedakan 16 jenis, berdasarkan perbandingan antara batu nisan. Data
ciri-ciri yang dihasilkan untuk memberikan setiap batu nisan ini
membantu untuk membuat perbandingan di antara batu nisan dan demikian
mengelompokkannya berdasarkan jumlah ciri-ciri yang sama. Oleh karena
kebanyakan epitaf tidak memuat langsung informasi tentang zaman dan
identifikasi makam, pengelompokan ini membantu untuk mengusulkan
hipotesis tentang zamannya sebuah batu nisan, ataupun identifikasi
makam jika terdapat persamaan yang sangat khusus. Maka, tiga percobaan
kronologi dan identifikasi telah dilakukan mengenai makam-makam dari
Bukit Seluyut dan Panchor berdasarkan hasil survei yang terbaru ini dan
perbandingan antara batu nisan yang telah ditemui di negeri Johor
sendiri dan antara batu nisan – batu nisan ini dan batu nisan yang
berada di luar negeri Johor.
Penelitian terbaru ini merupakan langkah
awal sebuah penelitan lebih luas tentang “batu Aceh” yang akan
meliputi seluruh Dunia Melayu dari selatan Thailand sampai ke
Indonesia. Diharapkan penelitian ini akan membantu untuk mengerti
kemunculan dan simbolisme “batu Aceh” yang tentunya perlu ditinjau
dalam konteks kebudayaan Asia Tenggara, melihat bahwa terdapat monumen
mirip dengan “batu Aceh” yang digunakan oleh penganut agama Buddha.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar