Postingan saya kali ini membahas tentang perekononomian indonesia awalnya saya gak mau bahas apa karna pagi ini saya lagi nonton bola piala dunia Germany vs Ghana besama teman-teman saya di salah satu caffe di banda aceh. lumayan seru banget nontonya sekora 2-2
hingga akhir pertandingan. Okey kita lanjut aja ketopik yang inign kita bahas tadi yaitu perekonomian indonesia karna kalu kita bahas bolatrus itu gak akan habisnya tapi kalau emang pengen lanjut trus datang kesaya kita duduk disuatu tampat dan kita bahas sama jagoan kita. heheheheheh
Sebenarnya Indonesia itu memiliki ekonomi berbasis-pasar di mana pemerintah memainkan peranan penting. Pemerintah memiliki lebih dari 164 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras, dan listrik. Setelah krisis finansial Asia yang dimulai pada pertengahan 1997, pemerintah menjaga banyak porsi dari aset sektor swasta melalui pengambilalihan pinjaman bank tak berjalan dan asset perusahaan melalui proses penstrukturan hutang.
Latar Belakang.
Masa Pasca Kemerdekaan (1954-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
- Inflasi yang sangat tinggi
Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di
masyarakat sebesar 4 miliar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa
saja, diperkirakan sebesar 1,6 miliar. Jumlah itu kemudian bertambah
ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di
Indonesia dan menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3
miliar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling
menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada
zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak
menyimpan mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI,
yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI
(Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan
teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan
tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal 6 Maret 1946,
Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang diduduki Sekutu.
Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti uang Jepang yang nilainya
sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memproses
tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar
persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian
politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan Oktober 1946 Pemerintah RI, juga melakukan hal yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu Oeang Republik Indonesia
(ORI) sebagai pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi
dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank
Negara Indonesia pada tanggal 1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh Margono Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing.
- Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu
keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan
blokade ini adalah:
- Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
- Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya;
- Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
- Kas negara kosong.
- Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
- Tanah pertanian rusak
- Tenaga kerja dijadikan romusha
- Tanah pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
- Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
- Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
- Konferensi ekonomi Februari 1946 dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan administrasi perkebunan-perkebunan.
- Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
- Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
- Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
- Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
- Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
- Penanaman kembali tanah kosong
- Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15 tahun.
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959
belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup
berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai
berikut.
Kebijakan Genting Syafruddin.
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya
memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya
tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp.
2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan
kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah
mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman
sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Ali-Baba.
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:
- Untuk memajukan pengusaha pribumi.
- Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
- Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
- Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina.
Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan
untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga
bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan
dengan baik sebab:
- Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
- Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
- Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek).
Pada masa Kabinet Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
- Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
- Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari 1956
Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda
secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi
dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden
Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah
banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha
pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT).
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program
yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang
menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya
pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek,
tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang
Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda
diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan
antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958.
Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
- Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.
Musyawarah Nasional Pembangunan.
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan
daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan
Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah
untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana
pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja
rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik
karena:
- Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
- Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
- Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
Hal ini membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/
Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia. Memuncaknya ketegangan
politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai
konfrontasi bersenjata.
Masa Orde Baru
Selama lebih dari 30 tahun pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto, ekonomi Indonesia tumbuh dari GDP per kapita $70 menjadi lebih dari $1.000 pada 1996. Melalui kebijakan moneter dan keuangan yang ketat, inflasi ditahan sekitar 5%-10%, rupiah
stabil dan dapat diterka, dan pemerintah menerapkan sistem anggaran
berimbang. Banyak dari anggaran pembangunan dibiayai melalui bantuan asing.
Pada pertengahan 1980-an
pemerintah mulai menghilangkan hambatan kepada aktivitas ekonomi.
Langkah ini ditujukan utamanya pada sektor eksternal dan finansial dan
dirancang untuk meningkatkan lapangan kerja dan pertumbuhan di bidang
ekspor non-minyak. GDP nyata tahunan tumbuh rata-rata mendekati 7% dari 1987-1997, dan banyak analisis mengakui Indonesia sebagai ekonomi industri dan pasar utama yang berkembang.
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dari 1987-1997 menutupi
beberapa kelemahan struktural dalam ekonomi Indonesia. Sistem legal
sangat lemah, dan tidak ada cara efektif untuk menjalankan kontrak,
mengumpulkan hutang, atau menuntut atas kebangkrutan.
Aktivitas bank sangat sederhana, dengan peminjaman
berdasarkan-"collateral" menyebabkan perluasan dan pelanggaran
peraturan, termasuk batas peminjaman. Hambatan non-tarif, penyewaan oleh
perusahaan milik negara, subsidi domestik, hambatan ke perdagangan
domestik, dan hambatan ekspor seluruhnya menciptakan gangguan ekonomi.
Krisis finansial Asia Tenggara yang melanda Indonesia pada akhir 1997
dengan cepat berubah menjadi sebuah krisis ekonomi dan politik. Respon
pertama Indonesia terhadap masalah ini adalah menaikkan tingkat suku
bunga domestik untuk mengendalikan naiknya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, dan memperketat kebijakan fiskalnya. Pada Oktober 1997, Indonesia dan International Monetary Fund
(IMF) mencapai kesepakatan tentang program reformasi ekonomi yang
diarahkan pada penstabilan ekonomi makro dan penghapusan beberapa
kebijakan ekonomi yang dinilai merusak, antara lain Program Permobilan
Nasional dan monopoli, yang melibatkan anggota keluarga Presiden
Soeharto. Rupiah masih belum stabil dalam jangka waktu yang cukup lama,
hingga pada akhirnya Presiden Suharto terpaksa mengundurkan diri pada
Mei 1998.
Pasca Suharto
Di bulan Agustus 1998, Indonesia dan IMF menyetujui program pinjaman dana di bawah Presiden B.J Habibie. Presiden Gus Dur yang terpilih sebagai presiden pada Oktober 1999 kemudian memperpanjang program tersebut.
Pada 2010 Ekonomi Indonesia sangat stabil dan tumbuh pesat. PDB bisa dipastikan melebihin Rp 6300 Trilyun meningkat lebih dari 100 kali lipat dibanding PDB tahun 1980. Setelah
India dan China, Indonesia adalah negara dengan ekonomi yang tumbuh
paling cepat di antara 20 negara anggota Industri ekonomi terbesar
didunia G20.
Ini adalah tabel PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia dari tahun ke tahun oleh IMF dalam juta rupiah.
Tahun | PDB | % Pertumbuhan/tahun (bunga majemuk) |
---|---|---|
1980 | 60,143.191 | |
1985 | 112,969.792 | 13.5 |
1990 | 233,013.290 | 15.5 |
1995 | 502,249.558 | 16.6 |
2000 | 1,389,769.700 | 22.6 |
2005 | 2,678,664.096 | 14.0 |
2010 | 6,422,918.230 | 19.1 |
Catatan: Data di atas disajikan dalam rupiah, oleh karena itu
pertumbuhan yang tampaknya pesat itu sangat dipengaruhi oleh pelemahan
rupiah terhadap mata uang yang lebih stabil, misalnya US Dollar.
Pertumbuhan sesungguhnya, misalnya daya beli masyarakat akan jauh lebih
kecil, bahkan mungkin negatif.
Kajian Pengeluaran Publik.
Sejak krisis keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an, yang memiliki
andil atas jatuhnya rezim Suharto pada bulan Mei 1998, keuangan publik
Indonesia telah mengalami transformasi besar. Krisis keuangan tersebut
menyebabkan kontraksi ekonomi yang sangat besar dan penurunan yang
sejalan dalam pengeluaran publik. Tidak mengherankan utang dan subsidi
meningkat secara drastis, sementara belanja pembangunan dikurangi secara
tajam.
Saat ini, satu dekade kemudian, Indonesia telah keluar dari krisis
dan berada dalam situasi dimana sekali lagi negara ini mempunyai sumber
daya keuangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Perubahan
ini terjadi karena kebijakan makroekonomi yang berhati-hati, dan yang
paling penting defisit anggaran yang sangat rendah. Juga cara pemerintah
membelanjakan dana telah mengalami transformasi melalui "perubahan
besar" desentralisasi tahun 2001 yang menyebabkan lebih dari sepertiga
dari keseluruhan anggaran belanja pemerintah beralih ke pemerintah
daerah pada tahun 2006. Hal lain yang sama pentingnya, pada tahun 2005,
harga minyak internasional yang terus meningkat menyebabkan subsidi
minyak domestik Indonesia tidak bisa dikontrol, mengancam stabilitas
makroekonomi yang telah susah payah dicapai. Walaupun terdapat risiko
politik bahwa kenaikan harga minyak yang tinggi akan mendorong tingkat
inflasi menjadi lebih besar, pemerintah mengambil keputusan yang berani
untuk memotong subsidi minyak.
Keputusan tersebut memberikan US$10 miliar tambahan untuk pengeluaran bagi program pembangunan. Sementara itu, pada tahun 2006 tambahan US$5 miliar telah tersedia berkat kombinasi dari peningkatan pendapatan yang
didorong oleh pertumbuhan ekonomi yang stabil secara keseluruhan dan
penurunan pembayaran utang, sisa dari krisis ekonomi. Ini berarti pada
tahun 2006 pemerintah mempunyai US$15 miliar ekstra untuk dibelanjakan pada program pembangunan. Negara ini belum
mengalami 'ruang fiskal' yang demikian besar sejak peningkatan
pendapatan yang dialami ketika terjadi lonjakan minyak pada pertengahan
tahun 1970an. Akan tetapi, perbedaan yang utama adalah peningkatan
pendapatan yang besar dari minyak tahun 1970-an semata-mata hanya
merupakan keberuntungan keuangan yang tak terduga. Sebaliknya, ruang
fiskal saat ini tercapai sebagai hasil langsung dari keputusan kebijakan
pemerintah yang hati hati dan tepat.
Walaupun demikian, sementara Indonesia telah mendapatkan kemajuan
yang luar biasa dalam menyediakan sumber keuangan dalam memenuhi
kebutuhan pembangunan, dan situasi ini dipersiapkan untuk terus
berlanjut dalam beberapa tahun mendatang, subsidi tetap merupakan beban
besar pada anggaran pemerintah. Walaupun terdapat pengurangan subsidi
pada tahun 2005, total subsidi masih sekitar US$ 10 miliar dari belanja pemerintah tahun 2006 atau sebesar 15 persen dari anggaran total.
Berkat keputusan pemerintahan Habibie (Mei 1998 - Agustus 2001) untuk
mendesentralisasikan wewenang pada pemerintah daerah pada tahun 2001,
bagian besar dari belanja pemerintah yang meningkat disalurkan melalui
pemerintah daerah. Hasilnya pemerintah propinsi dan kabupaten di
Indonesia sekarang membelanjakan 37 persen dari total dana publik, yang mencerminkan tingkat desentralisasi fiskal yang bahkan lebih tinggi daripada rata-rata OECD.
Dengan tingkat desentralisasi di Indonesia saat ini dan ruang fiskal
yang kini tersedia, pemerintah Indonesia mempunyai kesempatan unik untuk
memperbaiki pelayanan publiknya yang terabaikan. Jika dikelola dengan
hati-hati, hal tersebut memungkinkan daerah-daerah tertinggal di bagian
timur Indonesia untuk mengejar daerah-daerah lain di Indonesia yang
lebih maju dalam hal indikator sosial. Hal ini juga memungkinkan
masyarakat Indonesia untuk fokus ke generasi berikutnya dalam melakukan
perubahan, seperti meningkatkan kualitas layanan publik dan penyediaan
infrastruktur seperti yang ditargetkan. Karena itu, alokasi dana publik
yang tepat dan pengelolaan yang hati-hati dari dana tersebut pada saat
mereka dialokasikan telah menjadi isu utama untuk belanja publik di
Indonesia kedepannya.
Sebagai contoh, sementara anggaran pendidikan telah mencapai 17.2 persen dari total belanja publik- mendapatkan alokasi tertinggi dibandingkan sektor lain dan mengambil sekitar 3.9 persen dari PDB pada tahun 2006, dibandingkan dengan hanya 2.0 persen dari PDB pada tahun 2001 - sebaliknya total belanja kesehatan publik masih dibawah 1.0 persen dari PDB.
Sementara itu, investasi infrastruktur publik masih belum sepenuhnya
pulih dari titik terendah pasca krisis dan masih pada tingkat 3.4 persen
dari PDB .
Satu bidang lain yang menjadi perhatian saat ini adalah tingkat
pengeluaran untuk administrasi yang luar biasa tinggi. Mencapai sebesar
15 persen pada tahun 2006 menunjukkan suatu penghamburan yang signifikan atas sumber daya publik.
Sumber Referensi
http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_Indonesia
0 #type=(blogger):
Posting Komentar