Kesultanan Aceh tahun 1636, Seorang Sultan Perkasa – Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam – yang menguasai Sumatera dan Semenanjung Malaka sedang berdiam diri dalam istana. Sultan merenung di Balairung yang juga tidak jauh dari Balai Cermin yang agung. Sumatera dan Malaka sudah dalam genggamannya. Namun, ia pun melihat Portugis, Inggris, dan beberapa Negara Eropa lain sedang mengincar penguasaan Selat Malaka.
Beliau telah memerintah Aceh dan daerah taklukannya hampir 30 tahun.
Ia seorang pribadi yang kuat dalam arti yang sebenarnya secara fisik dan
mental.
Seorang bangsawan yang cerdas serta tegas. Negarawan yang adil sekaligus politisi dan diplomat yang ulung. Ia adalah Sultan terbesar Aceh yang mampu membawa Aceh Darussalam mencapai kejayaan dan menjadi kerajaan yang disegani.
Seorang bangsawan yang cerdas serta tegas. Negarawan yang adil sekaligus politisi dan diplomat yang ulung. Ia adalah Sultan terbesar Aceh yang mampu membawa Aceh Darussalam mencapai kejayaan dan menjadi kerajaan yang disegani.
Dalam kurun hampir 30 tahun masa pemerintahannya, Sultan Iskandar Muda telah berhasil menyempurnakan Qanunul Asyi Ahlussunah Wal Jamaah
yang terdiri dari 500 ayat Al-Quranul Karim, 500 Hadis Rasulullah,
Ijma’ Sahabat rasulullah, Qiyas Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah. Kemudian
dilengkapi pula dengan Qanun Putroe Phang suatu aturan yang mampu memberikan perlindungan kepada Kaum Wanita.
Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda inilah dikenal sebuah Kata Filosofis Rakyat Aceh : Adat bak Poteu meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, reusam bak Laksamana.
Kata Filosofis ini menjadi pedoman hidup bagi kerajaan dan
masyarakatnya untuk mengatur tata kehidupan dalam menegakan kebenaran
dan keadilan demi kesejahteraan masyarakat.
Ditengah perenungannya didalam Istana, Sultan mulai memikirkan
kederisasi kepemimpinannya. Ia membutuhkan seorang penerus kerajaan yang
kuat yang mampu merpertahankan kekuasaannya dan menjaga Kerajaaan Aceh
dan daerah taklukannya agar tidak tunduk pada kekuasaan asing, terutama
Portugis dan Inggris yang saat itu terus melakukan provokasi di Selat
Malaka.
Terlintaslah pandangannya pada wajah Sang Putra Mahkota – Meurah
Pupok – yang digelari Sultan Muda atau Poteu Cut. Anak kesayangannya ini
berwajah gagah mewarisi ketampanan wajah sang ayah. Putra Mahkota atau
Poteu Cut ini memang masih belia, minim pengalaman. Saat ini sedang
menanjak dewasa. Sultan merencanakan untuk memberikan beberapa tanggung
jawab kepada Putra Mahkota agar ia belajar dan berpengalaman. Termasuk
diantaranya tugas tempur untuk memimpin Armada Laut terbesar Kerajaan
yaitu Armada Cakra Donya. Diharapkan dengan berbagai pengalaman
penugasan termasuk dengan menjadi Panglima Perang pada saatnya nanti ia
mampu menggantikan dirinya untuk menjadi Sultan.
Menurut sebuah riwayat Sultan Iskandar Muda memiliki dua anak, yang
pertama adalah Meurah Pupok yang berasal dari istrinya seorang Putri
Gayo. Yang kedua adalah wanita yang bernama Safiatuddin yang berasal
dari istrinya Putri Pedir/Pidie. Meurah Pupok dikenal sebagai seorang
Pangeran yang terampil menunggang kuda. Meurah Pupok menjadi harapan
Sultan Iskandar Muda untuk menggantikannya.
Di tengah lamunannya Sultan terpengarah karena tiba-tiba seorang
Perwira Muda Kerajaan yang sangat dikenalnya dan merupakan
kepercayaannya tiba-tiba menorobos masuk dan langsung berlutut menyembah
dirinya. Dengan terbata-terbata Sang Perwira menangis tersedu-sedu
sambil menyebutkan bahwa Putra Mahkota Poteu Cut Meurah Pupok telah
melakukan tindakan asusila dengan menodai istrinya. Perwira tersebut
langsung membunuh istrinya setelah mengetahui peristiwa tersebut. Namun,
untuk Putra Mahkota ia serahkan sepenuhnya pada kebijaksanaan Sultan.
Ia menuntut keadilan kepada Sultan. Selepas ia mengadukan hal tersebut
kepada Sultan, Perwira tersebut langsung mencabut rencongnya dan menikam
ke hulu hatinya sendiri tanpa sempat dicegah oleh Sultan dan
pengawalnya. Robohlah perwira tersebut dan langsung tewas saat itu juga.
Syahdan Perwira Muda ini adalah Pelatih Angkatan Perang Aceh. Ia
mengetahui peristiwa tersebut setelah melakukan pelatihan terhadap para
prajurit di kawasan Blang Peurade Aceh. Ia sangat kecewa dengan
peristiwa yang melibatkan istrinya tersebut. Kekecewaan tersebut ia
tumpahkan dengan membunuh istrinya sendiri kemudian ia sendiri bunuh
diri di hadapan Sultan.
Tercenunglah Sultan dengan wajah bergetar menahan amarah. Ia baru
saja menaruh harapan terhadap Putra Mahkota, namun peristiwa yang baru
terjadi bagaikan petir yang menyambar dirinya. Seorang Perwira kerajaan
kepercayaan dirinya menyampaikan pengaduan yang membuat dunia ini
seolah-olah runtuh. Putra Mahkota kesayangannya telah melakukan tindakan
yang tidak patut.
Segera Sultan berteriak garang disaksikan orang-orang penting
Kerajaan dan para pengawalnya, “Aku adalah Sultan Penguasa Aceh,
Sumatera dan Malaka. Aku telah memerintah Aceh dan taklukannya dengan
menegakan hukum yang seadil-adilnya. Aku pun akan menegakan hukum
terhadap keluargaku sendiri. Aku pun akan menerapkan hukum kepada Putra
Mahkota yang seberat-beratnya. Dengan tanganku sendiri akan kupenggal
leher putraku karena telah melanggar hukum dan adat negeri ini.”
Semua pembesar kerajaan tercenung. Sultan segera memerintahkan
penangkapan Putra Mahkota Meurah Pupok yang bergelar Poteu Cut atau
Sultan Muda. Pengadilan segera dilakukan dan Sultan Iskandar Muda telah
memutuskan bahwa ia sendirilah yang akan memancung putra kesayangannya
itu. Mendung menggelayut di atas Kerajaan Aceh, prahara telah menghantam
negeri perkasa ini.
Beberapa pembesar kerajaan yang peduli terhadap kelangsungan kerajaan
bersepakat untuk menghadap Sultan Iskandar Muda agar membatalkan
hukuman pancung tersebut. Mereka mengajukan berbagai usul seperti
pengampunan atau cukup dengan mengasingkan Putra Mahkota ke negeri lain.
Termasuk mencari kambing hitam, mencari seorang pemuda lain untuk
menjadi pesakitan menggantikan Putra Mahkota. Semua usul tersebut
ditolak oleh Sultan dan dengan berang Sultan berkata, “Akulah yang
menegakan hukum di negeri ini dan kepada siapapun yang bersalah tidak
terkecuali terhadap keluargaku sendiri harus dihukum. Kerajaan ini kuat
karena hukum yang ditegakan dan adanya keadilan.”
Sultan kemudian menyebut dalam bahasa Aceh, “Gadoh aneuk meupat jrat, gadoh hukom ngon adat pat tamita? Hilang anak masih ada kuburan yang bisa kita lihat, tetapi jika hukum dan adat yang hilang hendak kemana kita mencarinya?”
Semua pembesar kerajaan terdiam tak kuasa membantah titah Raja
Perkasa yang adil ini. Mereka mulai membayangkan bagaimana masa depan
negeri ini. Bahkan Menteri Kehakiman pun yang bergelar Sri Raja Panglima
Wazir berusaha membujuk tetapi Sultan tetap tidak bergeming. Sultan
berketetapan hati tetap melaksanakan putusannya. Sultan sendiri dengan
tegas mengatakan apabila tidak ada seorang pun yang mau melakukan
hukuman ini maka ia sendiri yang akan melakukannya. Pada hari yang
ditentukan dilaksanakanlah hukuman pancung tersebut yang langsung
dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda terhadap Putra Mahkota
kesayangannya.
Di bawah linangan air mata masyarakat yang mencintai Sultan dan Putra
Mahkotanya disaksikan pembesar kerajaan yang berwajah sendu dan
tertunduk tidak mampu menatap kejadian tersebut, Sultan Iskandar Muda
dengan tegar melaksanakan hukuman pancung terhadap Putra Mahkota
kesayangannya itu. Langit kerajaan Aceh menjadi mendung kelabu.
Rakyat kebanyakan maupun pembesar kerajaan banyak yang tidak percaya
dengan apa yang dilakukan oleh Putra Mahkota. Mereka semua menaruh
harapan besar terhadap Putra Mahkota sebagai pewaris kerajaan dan
turunan langsung Sultan Iskandar Muda. Tetapi hukum telah ditegakan dan
Sultan langsung yang melaksanakan keputusan tersebut.
Atas keputusan Sultan Iskandar Muda pula jenazah Meurah Pupok tidak
dibolehkan untuk dimakamkan dikompleks pemakaman kerajaan. Pemakaman
kerajaan disebut dengan Kandang Mas yang berada dilingkungan Keraton
Darul Donya. Jenajah hanya dimakamkan disuatu kompleks di luar area
Keraton yaitu didekat lapangan pacuan kuda Medan Khayali.
Waktu terus berjalan, Sultan mulai memikirkan siapa penggantinya.
Kemudian berkembanglah sebuah informasi bahwa Putra Mahkota Meurah Pupok
yang bergelar Sultan Muda Poteu Cut, memang sengaja disingkirkan oleh
sebuah konspirasi. Oleh sekelompok orang tertentu yang tidak
menginginkannya menjadi Raja atau Sultan, mencoba mencari berbagai cara
untuk mencegahnya menjadi Sultan. Kelompok ini tidak berani berhadapan
secara langsung dengan Sultan atau melakukan tindakan gegabah. Mereka
berusaha menjebak Putra Mahkota dengan berbagai cara. Dicarilah akal
bulus untuk menggoda Sultan Muda yang sedang menanjak dewasa ini.
Sebagai pria muda ia dianggap akan mudah tergoda dengan wanita.
Akhirnya ditemukan seorang wanita jelita yang kebetulan pula istri
seorang Perwira Kerajaan dan kepercayaan Sultan Iskandar Muda. Karena
istri seorang perwira kepercayaan Sultan, wanita ini dengan mudah masuk
kedalam lingkungan Istana. Sehingga ia dengan mudah bergaul di istana
dan mendekati Pangeran Muda yang tampan yang juga adalah seorang Putera
Mahkota. Akhirnya akibat godaan sedemikian rupa Sultan Muda terjebak
kedalam skenario yang dibuat oleh konspirasi jahat yang bertujuan ingin
menjebak dan menyingkirkannya. Akhirnya sebagaimana diketahui bersama
konspirasi jahat itu berhasil menyingkirkan Putra Mahkota Sultan Muda
yang bernama asli Meurah Pupok.
Informasi ini sampai ketelinga Sultan Iskandar Muda, namun semuanya
telah terjadi. Ia mulai membayangkan Putra kesayangannya tersebut yang
juga Putra Mahkota yang kelak diharapkan melanjutkan kepemimpinannya.
Terbayang olehnya akan wajah seorang pemuda tampan namun minim
pengalaman. Di tengah usianya yang menanjak dewasa sangat mungkin ia
mudah tergoda. Sultan mulai menyesali kealpaannya dalam mengawasi Putra
Mahkota kesayangannya itu. Ia dirundung kesedihan mendalam. Kesedihan
yang terus menerus ini membuat Sultan jatuh sakit. Sakitnya berlangsung
terus dan semakin parah. Dalam beberapa waktu kemudian Sultan Iskandar
Muda yang perkasa ini akhirnya mangkat tepatnya pada tanggal 27 Desember
1636.
Pengganti Sultan adalah menantunya yaitu Sultan Iskandar Tsani.
Setelah Sultan Iskandar Tsani mangkat ditunjuklah istrinya yang juga
anak Sultan Iskandar Muda dan adik Meurah Pupok yaitu Ratu Tajul Alam
Syafiatuddin menjadi Ratu Penguasa Kesultanan Aceh. Dalam masa
kepemimpinan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin ia mencoba memulihkan kembali
nama baik abangnya Meurah Pupok, karena sesungguhnya abangnya tersebut
tidak sepenuhnya salah. Abangnya dijebak oleh suatu konspirasi yang
jahat. Ratu kemudian membangun makam untuk abangnya Meurah Pupok yaitu
suatu bangunan yang indah yang menjadi kenang-kenangan bagi peristiwa
masa lalu untuk dijadikan pelajaran agar para penguasa dan keluarganya
harus lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertindak. Bangunan makam
ini disebut dengan Kandang Poteu Cut. Kandang ini terletak pada lokasi
strategis yaitu di sisi barat Kandang Perak dan Taman Sari pada tepi
jalan masuk ke Medan Khayali. Namun, makam Meurah Pupok yang disebut
Peucut ini sempat dihancurkan Belanda. Peucut berasal dari Pocut yang
berarti putra kesayangan.
Demi menegakan hukum Sultan Iskandar Muda rela menghukum mati anaknya
sendiri yang nota bene merupakan putra kesayangannya sekaligus penerus
kekuasaannya. Meskipun kemudian diketahui kesalahan anaknya tersebut
akibat suatu konspirasi yang memang sengaja menjebaknya. Sejarah telah
memberikan pelajaran yang luar biasa buat kita, hukum memang harus
ditegakan, namun kekuasaan itu pun syarat dengan intrik dan penuh tipu
daya.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar