Teuku Nyak Arif |
Di bentaran Krueng Lamnyong, 66 tahun lalu jasad itu dikebumikan. Tepatnya 4 Mei 1946, Teuku Nyak Arif meninggal dunia. Ia yang kemudian digelar pahlawan nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden RI Nomor 071/TK, tanggal 9 November 1974.
Teuku Nyak
Arif dikenal sebagai nasionalis tulen. Dalam pidatonya pada Maret 1945,
sebagaiWakil Ketua DPR seluruh Sumatera ia berujar. “Indonesia merdeka
harus jadi tujuan hidup bersama.”
Menelisik lebih jauh ke belakang. Ia juga turut mendirikan “Taman Siswa” dan “Muhammadiyah”. Ia dikenal sebagai tokoh yang peduli pada pendidikan. Ia pun kemudian digelar sebagai Bapak Pendidikan Aceh.
Untuk membiayai pendidikan putra-putri Aceh, Teuku Nyak Arif terlibat dalam Atjeh Studiefond, bahkan menjabat sebagai ketua lembaga yang mengirim pemuda Aceh ke berbagai perguruan tinggi itu.
Pria kelahiran Ulee Lhuen tahun 17 Juli 1899 ini juga aktif dalam bidang olah raga. Ia mendirikan dan pernah menjabat sebagai Ketua Atjeh Voetbal Bond. Perserikatan sepak bola Aceh yang kemudian menjadi Persatuan Sepakbola Kutaraja (Persiraja).
Mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, Syamaun Gaharu dalam buku “Mengenang Teuku Nyak Arif” menyebutkan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin rakyat. Teuku Nyak Banda, ayah Teuku Nyak Arif merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim di Aceh Besar.
Pada zaman perjuangan, Teuku Nyak Arif bersama Teuku Muhammad Ali Panglima Polem aktif dalam perang melawan Belanda. “Sejak muda, Teuku Nyak Arif terkenal sebagai nasionalis sejati, pembela rakyat di Aceh,” tulis Syamaun Gaharu.
Teuku Nyak Arif memulai pendidikannya pada Gouvernement Inlandsche School di Kutaraja dan setelah itu ke Kweek School (Sekolah Raja) di Bukit Tinggi. Tahun 1912 melanjutkan ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Serang, Jawa Barat.
Setelah menyelesaikan pendidikan di OSVIA, ia kembali ke Aceh dan mulai bekerja sebagai Ambtenar Voedsel Voorziening (semacam BULOG sekarang). Dalam kongres “Sjarekat Atjeh”, organisasi yang bergerak di bidang sosial, Teuku Nyak Arif terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar pada tahun 1919 menggantikan Teuku Chik Muhammad Thayeb Peurelak (ayah Dr Syarif Thayeb) mantan Mendikbud RI.
Dalam bidang politik, Teuku Nyak Arif menjadi anggota National Indische Partij (NIP) yang semula bernama Insulinde, dan ia pernah menjadi Ketua NIP Cabang Kutaraja. Pada tahun 1920 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagi XXVI Mukim menggantikan ayahnya yang sudah uzur.
Dari tahun 1927 sampai 1931, T Nyak Arif ditetapkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta. Disana ia bersama M Husni Thamrin, RP Suroso, M Suangkupon, mendirikan “Fraksi Nasional”. Karena kevokalannya mengkritik pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1931 kedudukan Teuku Nyak Arif sebagai anggota Volksraad tidak diperpanjang. Ia digantikan oleh Tuanku Mahmud.
Dicurigai Mata-mata Sekutu
Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Maarten Knottenbelt, membuat Residen Aceh yang pertama itu dicurigai sebagai mata-mata sekutu setelah Jepang menyerah. Dalam buku Mata Rantai yang Hilang (1996) M Nur El Ibrahimi menjelaskan Knottenbelt merupakan perwira Belanda pertama yang diterjunkan ke Sumatera setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945.
Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbelt terungkap dalam tulisannya di majalah Vrij Nederland, edisi 26 tahun VI, terbitan London 19 Januari 1946, dengan judul “Contact met Atjeh” Knottenbelt menyebutkan Residen Aceh, Teuku Nyak Arif sebagai salah seorang yang dihubunginya di Aceh.
Pertemuan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbell, juga disingung Dr Anthony Reids dalam buku The Blood of the People, serta Dr A J Piekar dalam buku Atjeh en de oorlog met Japan. Knottenbell terpaksa harus kembali ke Medan pada 10 November 1945, setelah rakyat Aceh mengetahu identitasnya sebagai perwira Belanda yang memboncengi sekutu.
Namun, isu bahwa Teuku Nyak Arief punya hubungan dengan Knottenbelt terus bergulir. Kecurigaan terhadap Teuku Nyak Arief waktu itu sangat besar. Apalagi Teuku Nyak Arief pernah menjadi anggota Volksraad, dewan rakyat buatan Belanda.
Sentimen anti feodal pun memuncak. Kaum Uleebalang dianggap sebagai jaroe uneuen (tangan kanan) Belanda. Hal yang kemudian membuat Teuku Nyak Arif diturunkan dari jabatannya sebagai residen Aceh. Ia diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bentukan Husein Al Mujahid.
Syamaun Gaharu yang kemudian menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda, dalam seminar di Medan, 22-25 Maret 1976 mengatakan hubungan Teuku Nyak Arif dengan Knottrnbelt itu ada. Namun sembilan tahun kemudian, Januari 1985, Syamaun Gaharu mencabut pernyataannya itu melalui surat kabar Waspada, setelah muncul beragam reaksi.
Untuk memastikan hal itu, M Nur El Ibrahimi menghubungi kawannya di Belanda. Ia kemudian mendapat balasan sepucuk surat tiga halaman kuarto yang diketik rapi satu spasi. Surat itu merupakan laporan yang dikirim Mayor Knottenbell dari Kutaraja pada 4 November 1946 ke majalah Vrij Nederland di London, yang dimuat pada edisi 26 tahun VI, 19 Januari 1946 dengan judul “Contact met Atjeh”
Dalam surat itu, terungkap bahwa pertemuan Knottenbelt dengan Teuku Nyak Arif tidak hanya terjadi sekali. Setelah pertemuan mereka pada15 Oktober 1945, Knottenbelt megutus Goh Moh Wan, warga keturuna Tionghoa yang mahir berbahasa Inggris, sebagai peghubungnya dengan Teuku Nyak Arief. “…Berhubungan dengan ini saya beberapa kali mendapat kunjungan dari seorang pemimpin pribumi, bernama Nyak Arief, yang oleh Soekarno diangkat menjadi Residen Aceh,” tulis Knottenbelt.
Dalam versi aslinya berbahasa Belanda Knottenbelt menulis. “…In verband hiermede werd ik enkele maal bezocht door een inlandse hoogwaardigheiddsbekleeder, genaamd Nyak Arif, die door Soekarno als ‘residen’ van Atjeh benoemd…”
Anthony Reid dalam buku The Blood of The People kemudian memperjelas hal itu. Menurutnya, angkatan laut Inggris menduduki Sabang tanpa perlawanan pada 7 September 1945. Satu pasukan kecil sekutu (force 136) dikirim dari Medan ke Kutaraja dibawah pimpinan Mayor M J Knottenbelt dan oleh tentara Jepang ditempatkan di sebuah vila berbendera Inggris.
Tugasnya, mengobservasi dan memberi laporan serta berusaha agar senjata yang berada di tangan Jepang tetap terkendali, tidak boleh diserahkan ke pihak lain. Dalam hal ini Knottenbelt bekerja sama dengan Teuku Nyak Arief.
Reid menulis. “…and even signed apetition to the Britis Commandand that the Dutchman’s presence was ‘at this moment…indispensable to the maintenance of law and order.” Terjemahannya, dan kemudian beliau (Teuku Nyak Arief-red) megirim sebuah petisi kepada komando Inggris, menyatakan bahwa kehadiran Knottenbelt pada saat-saat yang penting ini sangat dibutuhkan untuk tegaknya hukum dan terpeliharanya ketertiban serta keamanan.
Meski demikian, M Nur El Ibrahimi menilai hubungan Teuku Nyak Arief dengan Knottenbelt itu bermanfaat. Setidaknya untuk mengusahakan agar sebagian senjata milik Jepang bisa diperoleh oleh Pemerintah Aceh untuk mempersenjatai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sebagai cikal bakal Tentara Kemanan Rakyat (TKR) Republik Indonesia di Aceh.
Korban Revolusi Desember
Kecurigaan terhadap hubungan Teuku Nyak Arif dengan Maarten Knottenbelt berlanjut pada ketidakpercayaan terhadap kaum uleebalang (feodal). Mereka dianggap sebagai tangan kanan Belanda. Perang Cumbok yang dikenal sebagai revolusi Desember pun pecah.
Sejarawan Aceh, Muhammad Gade Ismail (alm) dalam buku Kasus Darul Islam Aceh (1994) mengatakan, pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di nusantara, Belanda merangkul uleebalang untuk mencegah ulama terjun dalam pemerintahan. Ulama hanya dapat memimpin rakyat dalam bidang agama dan sosial.
Hal inilah yang dijelaskan Muhammad Gade Ismail sebagai awal pergesekan antara kaum uleebalang dengan ulama yang setelah Belanda angkat kaki dari Aceh berubah menjadi perang cumbok. Sebuah revolusi berdarah di Aceh.
Menurut Ali Basyah Talsya, pergesekan itu bertambah ketika muncul desas-desus bahwa kelompok uleebalang mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu pada agresi Belanda ke dua.
Uleebalang ingin memperoleh kembali kekuasaan yang didominasi ulama. Sementara ulama dan rakyat saat itu sangat anti terhadap Belanda. Pada agresinya yang kedua Belanda gagal masuk Aceh.
Hal inilah yang kemudian membuat Husein Al Mujahid membentuk Tentara Kemanan Rakyat (TKR) di Idi, Aceh Timur. Dari sanalah kemudian operasi pembersihan kaum feodal dilakukan.
Di setiap daerah uleebalang ditangkap, mereka ditahan dan diasingkan. Baru dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia. Namun tak sedikit pula kaum uleebalang yang dibunuh dengan apa yang disebut sebagai “pengadilan revolusi”.
Teuku Nyak Arif yang menjabat sebagai Residen Aceh pun digulingkan dari jabatannya. Ia ditangkap oleh kelompok Husein Al Mujahid dan diasingkan ke Takengon Aceh Tengah bersama adiknya, Teuku Abdul Hamid.
Dalam pertemuan dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sempat menjenguknya di Takengon, Teuku Nyak Arif berpesan agar berhati-hati terhadap kaum komunis.
Setelah beberapa lama di pengasingannya, pada 4 Mei Teuku Nyak Arif meninggal dunia disaksikan isterinya, Hj Jauhari dan tiga anaknya, Ir Teuku Ubit Azhari, Prof H Teuku Syamsul Bahri SH (mantan Pembantu Rektor II Universitas Sumatera Utara periode 1986-1995), dan puteri bungsu Cut Arifah Nasri (isteri almarhum Teuku Umar Ali, mantan Sekjen Depdiknas dan Duta Besar RI di Brazil).
Menelisik lebih jauh ke belakang. Ia juga turut mendirikan “Taman Siswa” dan “Muhammadiyah”. Ia dikenal sebagai tokoh yang peduli pada pendidikan. Ia pun kemudian digelar sebagai Bapak Pendidikan Aceh.
Untuk membiayai pendidikan putra-putri Aceh, Teuku Nyak Arif terlibat dalam Atjeh Studiefond, bahkan menjabat sebagai ketua lembaga yang mengirim pemuda Aceh ke berbagai perguruan tinggi itu.
Pria kelahiran Ulee Lhuen tahun 17 Juli 1899 ini juga aktif dalam bidang olah raga. Ia mendirikan dan pernah menjabat sebagai Ketua Atjeh Voetbal Bond. Perserikatan sepak bola Aceh yang kemudian menjadi Persatuan Sepakbola Kutaraja (Persiraja).
Mantan Panglima Kodam Iskandar Muda, Syamaun Gaharu dalam buku “Mengenang Teuku Nyak Arif” menyebutkan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin rakyat. Teuku Nyak Banda, ayah Teuku Nyak Arif merupakan Panglima Sagoe XXVI Mukim di Aceh Besar.
Pada zaman perjuangan, Teuku Nyak Arif bersama Teuku Muhammad Ali Panglima Polem aktif dalam perang melawan Belanda. “Sejak muda, Teuku Nyak Arif terkenal sebagai nasionalis sejati, pembela rakyat di Aceh,” tulis Syamaun Gaharu.
Teuku Nyak Arif memulai pendidikannya pada Gouvernement Inlandsche School di Kutaraja dan setelah itu ke Kweek School (Sekolah Raja) di Bukit Tinggi. Tahun 1912 melanjutkan ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Serang, Jawa Barat.
Setelah menyelesaikan pendidikan di OSVIA, ia kembali ke Aceh dan mulai bekerja sebagai Ambtenar Voedsel Voorziening (semacam BULOG sekarang). Dalam kongres “Sjarekat Atjeh”, organisasi yang bergerak di bidang sosial, Teuku Nyak Arif terpilih menjadi Ketua Pengurus Besar pada tahun 1919 menggantikan Teuku Chik Muhammad Thayeb Peurelak (ayah Dr Syarif Thayeb) mantan Mendikbud RI.
Dalam bidang politik, Teuku Nyak Arif menjadi anggota National Indische Partij (NIP) yang semula bernama Insulinde, dan ia pernah menjadi Ketua NIP Cabang Kutaraja. Pada tahun 1920 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi Panglima Sagi XXVI Mukim menggantikan ayahnya yang sudah uzur.
Dari tahun 1927 sampai 1931, T Nyak Arif ditetapkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Jakarta. Disana ia bersama M Husni Thamrin, RP Suroso, M Suangkupon, mendirikan “Fraksi Nasional”. Karena kevokalannya mengkritik pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1931 kedudukan Teuku Nyak Arif sebagai anggota Volksraad tidak diperpanjang. Ia digantikan oleh Tuanku Mahmud.
Dicurigai Mata-mata Sekutu
Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Maarten Knottenbelt, membuat Residen Aceh yang pertama itu dicurigai sebagai mata-mata sekutu setelah Jepang menyerah. Dalam buku Mata Rantai yang Hilang (1996) M Nur El Ibrahimi menjelaskan Knottenbelt merupakan perwira Belanda pertama yang diterjunkan ke Sumatera setelah Jepang menyerah pada Agustus 1945.
Kedekatan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbelt terungkap dalam tulisannya di majalah Vrij Nederland, edisi 26 tahun VI, terbitan London 19 Januari 1946, dengan judul “Contact met Atjeh” Knottenbelt menyebutkan Residen Aceh, Teuku Nyak Arif sebagai salah seorang yang dihubunginya di Aceh.
Pertemuan Teuku Nyak Arif dengan Knottenbell, juga disingung Dr Anthony Reids dalam buku The Blood of the People, serta Dr A J Piekar dalam buku Atjeh en de oorlog met Japan. Knottenbell terpaksa harus kembali ke Medan pada 10 November 1945, setelah rakyat Aceh mengetahu identitasnya sebagai perwira Belanda yang memboncengi sekutu.
Namun, isu bahwa Teuku Nyak Arief punya hubungan dengan Knottenbelt terus bergulir. Kecurigaan terhadap Teuku Nyak Arief waktu itu sangat besar. Apalagi Teuku Nyak Arief pernah menjadi anggota Volksraad, dewan rakyat buatan Belanda.
Sentimen anti feodal pun memuncak. Kaum Uleebalang dianggap sebagai jaroe uneuen (tangan kanan) Belanda. Hal yang kemudian membuat Teuku Nyak Arif diturunkan dari jabatannya sebagai residen Aceh. Ia diasingkan ke Takengon, Aceh Tengah oleh Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bentukan Husein Al Mujahid.
Syamaun Gaharu yang kemudian menjadi Panglima Kodam Iskandar Muda, dalam seminar di Medan, 22-25 Maret 1976 mengatakan hubungan Teuku Nyak Arif dengan Knottrnbelt itu ada. Namun sembilan tahun kemudian, Januari 1985, Syamaun Gaharu mencabut pernyataannya itu melalui surat kabar Waspada, setelah muncul beragam reaksi.
Untuk memastikan hal itu, M Nur El Ibrahimi menghubungi kawannya di Belanda. Ia kemudian mendapat balasan sepucuk surat tiga halaman kuarto yang diketik rapi satu spasi. Surat itu merupakan laporan yang dikirim Mayor Knottenbell dari Kutaraja pada 4 November 1946 ke majalah Vrij Nederland di London, yang dimuat pada edisi 26 tahun VI, 19 Januari 1946 dengan judul “Contact met Atjeh”
Dalam surat itu, terungkap bahwa pertemuan Knottenbelt dengan Teuku Nyak Arif tidak hanya terjadi sekali. Setelah pertemuan mereka pada15 Oktober 1945, Knottenbelt megutus Goh Moh Wan, warga keturuna Tionghoa yang mahir berbahasa Inggris, sebagai peghubungnya dengan Teuku Nyak Arief. “…Berhubungan dengan ini saya beberapa kali mendapat kunjungan dari seorang pemimpin pribumi, bernama Nyak Arief, yang oleh Soekarno diangkat menjadi Residen Aceh,” tulis Knottenbelt.
Dalam versi aslinya berbahasa Belanda Knottenbelt menulis. “…In verband hiermede werd ik enkele maal bezocht door een inlandse hoogwaardigheiddsbekleeder, genaamd Nyak Arif, die door Soekarno als ‘residen’ van Atjeh benoemd…”
Anthony Reid dalam buku The Blood of The People kemudian memperjelas hal itu. Menurutnya, angkatan laut Inggris menduduki Sabang tanpa perlawanan pada 7 September 1945. Satu pasukan kecil sekutu (force 136) dikirim dari Medan ke Kutaraja dibawah pimpinan Mayor M J Knottenbelt dan oleh tentara Jepang ditempatkan di sebuah vila berbendera Inggris.
Tugasnya, mengobservasi dan memberi laporan serta berusaha agar senjata yang berada di tangan Jepang tetap terkendali, tidak boleh diserahkan ke pihak lain. Dalam hal ini Knottenbelt bekerja sama dengan Teuku Nyak Arief.
Reid menulis. “…and even signed apetition to the Britis Commandand that the Dutchman’s presence was ‘at this moment…indispensable to the maintenance of law and order.” Terjemahannya, dan kemudian beliau (Teuku Nyak Arief-red) megirim sebuah petisi kepada komando Inggris, menyatakan bahwa kehadiran Knottenbelt pada saat-saat yang penting ini sangat dibutuhkan untuk tegaknya hukum dan terpeliharanya ketertiban serta keamanan.
Meski demikian, M Nur El Ibrahimi menilai hubungan Teuku Nyak Arief dengan Knottenbelt itu bermanfaat. Setidaknya untuk mengusahakan agar sebagian senjata milik Jepang bisa diperoleh oleh Pemerintah Aceh untuk mempersenjatai Angkatan Pemuda Indonesia (API) sebagai cikal bakal Tentara Kemanan Rakyat (TKR) Republik Indonesia di Aceh.
Korban Revolusi Desember
Kecurigaan terhadap hubungan Teuku Nyak Arif dengan Maarten Knottenbelt berlanjut pada ketidakpercayaan terhadap kaum uleebalang (feodal). Mereka dianggap sebagai tangan kanan Belanda. Perang Cumbok yang dikenal sebagai revolusi Desember pun pecah.
Sejarawan Aceh, Muhammad Gade Ismail (alm) dalam buku Kasus Darul Islam Aceh (1994) mengatakan, pada masa pemerintahan kolonial berkuasa di nusantara, Belanda merangkul uleebalang untuk mencegah ulama terjun dalam pemerintahan. Ulama hanya dapat memimpin rakyat dalam bidang agama dan sosial.
Hal inilah yang dijelaskan Muhammad Gade Ismail sebagai awal pergesekan antara kaum uleebalang dengan ulama yang setelah Belanda angkat kaki dari Aceh berubah menjadi perang cumbok. Sebuah revolusi berdarah di Aceh.
Menurut Ali Basyah Talsya, pergesekan itu bertambah ketika muncul desas-desus bahwa kelompok uleebalang mempersiapkan kedatangan pasukan sekutu pada agresi Belanda ke dua.
Uleebalang ingin memperoleh kembali kekuasaan yang didominasi ulama. Sementara ulama dan rakyat saat itu sangat anti terhadap Belanda. Pada agresinya yang kedua Belanda gagal masuk Aceh.
Hal inilah yang kemudian membuat Husein Al Mujahid membentuk Tentara Kemanan Rakyat (TKR) di Idi, Aceh Timur. Dari sanalah kemudian operasi pembersihan kaum feodal dilakukan.
Di setiap daerah uleebalang ditangkap, mereka ditahan dan diasingkan. Baru dibebaskan setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia. Namun tak sedikit pula kaum uleebalang yang dibunuh dengan apa yang disebut sebagai “pengadilan revolusi”.
Teuku Nyak Arif yang menjabat sebagai Residen Aceh pun digulingkan dari jabatannya. Ia ditangkap oleh kelompok Husein Al Mujahid dan diasingkan ke Takengon Aceh Tengah bersama adiknya, Teuku Abdul Hamid.
Dalam pertemuan dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sempat menjenguknya di Takengon, Teuku Nyak Arif berpesan agar berhati-hati terhadap kaum komunis.
Setelah beberapa lama di pengasingannya, pada 4 Mei Teuku Nyak Arif meninggal dunia disaksikan isterinya, Hj Jauhari dan tiga anaknya, Ir Teuku Ubit Azhari, Prof H Teuku Syamsul Bahri SH (mantan Pembantu Rektor II Universitas Sumatera Utara periode 1986-1995), dan puteri bungsu Cut Arifah Nasri (isteri almarhum Teuku Umar Ali, mantan Sekjen Depdiknas dan Duta Besar RI di Brazil).
0 #type=(blogger):
Posting Komentar