Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan pasangan capres dan
cawapres, Sabtu tanggal 31 mei 2014 lalu. Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko
Widodo-Jusuf Kalla menjadi pasangan capres-cawapres yang resmi
berkompetisi meraih kursi RI-1 pada 9 Juli mendatang.
KPU telah menetapkan pasangan Prabowo-Hatta mendapat nomor urut satu, sedangkan Jokowi-JK bernomor urut dua. Tak ada yang istimewa dari penomoran yang dilakukan melalui pengundian ini. Mau nomor urut satu atau dua, sama-sama baiknya.
Yang lebih penting dari sekadar nomor urut adalah bagaimana program kerja yang diusung kedua pasangan kandidat. Seperti apa program yang ditawarkan jika salah satu dari keduanya kelak menjadi presiden dan wakil presiden.
Bagaimana program kerja mereka dalam menekan angka gini rasio agar jurang pendapatan antara si kaya dan si miskin makin sempit? Apa yang mereka usung agar Indonesia tak bergantung pada impor bahan bakar minyak (BBM) dalam memenuhi konsumsi dalam negeri? Apakah mereka bakal memperbanyak pembangunan kilang minyak untuk mengantisipasi pasokan dan mengurangi secara bertahap impor BBM?
Seberapa efektif program yang mereka tawarkan agar ekonomi tumbuh konsisten di atas enam persen, bahkan kalau bisa lebih tinggi dari itu? Tak hanya pertumbuhan yang dikejar, tapi juga bagaimana agar kue ekonomi merata di seluruh wilayah tak hanya berpusat di Jawa.
Juga yang penting untuk dicermati bagaimana menumbuhkan peluang kerja bagi angkatan kerja baru yang diprediksi terus bertambah dari tahun ke tahun. Pengelolaan sumber daya manusia harus dipikirkan agar mampu bersaing dengan para profesional asing menghadapi era globalisasi Asia Tenggara, yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai 2015 nanti.
Pemerintah mendatang juga perlu menjaga kondusivitas iklim investasi, baik oleh pihak swasta nasional maupun swasta asing. Globalisasi memang tak bisa dibendung, tapi justru harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warga bangsa.
Pemerintahan baru mendatang mesti mengawal agar kemampuan anak bangsa bisa berkompetisi dengan tenaga-tenaga profesional asing. Caranya bisa dimulai dengan hal sederhana: memberikan perhatian penuh pada dunia pendidikan.
Anak-anak bangsa mesti mendapatkan pendidikan terbaik, tentu bukan hanya mereka yang punya uang tapi secara kemampuan tak mumpuni yang mendapatkan akses pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Yang perlu dipikirkan justru adalah bagaimana mereka yang tinggal di wilayah pelosok tapi memiliki kemampuan otak, nalar, dan amal yang bagus memperoleh akses meraih pendidikan yang sama setinggi-tingginya.
Di saat yang sama, momentum pemilu legislatif yang berjalan damai harus tetap dipertahankan. Memang tetap harus diakui ada kekurangan di sana-sini, termasuk berbagai pelanggaran yang terjadi. Namun, semua itu harus menjadi peringatan bagi para penyelenggara pemilu, baik itu KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk memperbaikinya saat Pemilu Presiden 2014 nanti digelar.
KPU dan Bawaslu jangan sampai jatuh dalam lubang kesalahan untuk kali kedua. Kestabilan politik, birokrasi yang responsif, kondisi sosial masyarakat yang penuh semangat gotong royong dan rasa persatuan tak bisa dimungkiri menjadi komponen utama bagaimana suatu bangsa bisa membangun.
Gonjang-ganjing politik di Thailand suduh cukup menjadi bukti bagi kita di Tanah Air agar kekisruhan politik serupa tidak terjadi di Indonesia. Akibat kisruh politik, investor bisa melihat kondisi suatu negara tidak aman. Mereka pun enggan turut meramaikan pembangunan di negara tersebut. Padahal, untuk Indonesia, peran pemerintah saja dalam mendorong pembangunan tidak akan bisa maksimal. Swasta tetap diharapkan bisa menjadi pendorong ekonomi agar tumbuh optimal.
Kampanye Pilpres 2014 yang akan dimulai pada 4 Juni selama sebulan mendatang harus menjadi titik awal bagi semua pihak untuk berkomitmen menjaga keamanan, ketertiban, dan kebersamaan, meski pilihan politik bisa saja berbeda. Menjaga satu orang tetap menjadi sahabat setia lebih berharga daripada mencari sepuluh musuh. Maka dari itu, jangan sampai kontestasi politik yang sudah pasti digelar setiap lima tahun ini melemahkan momentum kita sebagai bangsa untuk bangkit menjadi bangsa yang sejahtera.
KPU telah menetapkan pasangan Prabowo-Hatta mendapat nomor urut satu, sedangkan Jokowi-JK bernomor urut dua. Tak ada yang istimewa dari penomoran yang dilakukan melalui pengundian ini. Mau nomor urut satu atau dua, sama-sama baiknya.
Yang lebih penting dari sekadar nomor urut adalah bagaimana program kerja yang diusung kedua pasangan kandidat. Seperti apa program yang ditawarkan jika salah satu dari keduanya kelak menjadi presiden dan wakil presiden.
Bagaimana program kerja mereka dalam menekan angka gini rasio agar jurang pendapatan antara si kaya dan si miskin makin sempit? Apa yang mereka usung agar Indonesia tak bergantung pada impor bahan bakar minyak (BBM) dalam memenuhi konsumsi dalam negeri? Apakah mereka bakal memperbanyak pembangunan kilang minyak untuk mengantisipasi pasokan dan mengurangi secara bertahap impor BBM?
Seberapa efektif program yang mereka tawarkan agar ekonomi tumbuh konsisten di atas enam persen, bahkan kalau bisa lebih tinggi dari itu? Tak hanya pertumbuhan yang dikejar, tapi juga bagaimana agar kue ekonomi merata di seluruh wilayah tak hanya berpusat di Jawa.
Juga yang penting untuk dicermati bagaimana menumbuhkan peluang kerja bagi angkatan kerja baru yang diprediksi terus bertambah dari tahun ke tahun. Pengelolaan sumber daya manusia harus dipikirkan agar mampu bersaing dengan para profesional asing menghadapi era globalisasi Asia Tenggara, yakni Masyarakat Ekonomi ASEAN mulai 2015 nanti.
Pemerintah mendatang juga perlu menjaga kondusivitas iklim investasi, baik oleh pihak swasta nasional maupun swasta asing. Globalisasi memang tak bisa dibendung, tapi justru harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan warga bangsa.
Pemerintahan baru mendatang mesti mengawal agar kemampuan anak bangsa bisa berkompetisi dengan tenaga-tenaga profesional asing. Caranya bisa dimulai dengan hal sederhana: memberikan perhatian penuh pada dunia pendidikan.
Anak-anak bangsa mesti mendapatkan pendidikan terbaik, tentu bukan hanya mereka yang punya uang tapi secara kemampuan tak mumpuni yang mendapatkan akses pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Yang perlu dipikirkan justru adalah bagaimana mereka yang tinggal di wilayah pelosok tapi memiliki kemampuan otak, nalar, dan amal yang bagus memperoleh akses meraih pendidikan yang sama setinggi-tingginya.
Di saat yang sama, momentum pemilu legislatif yang berjalan damai harus tetap dipertahankan. Memang tetap harus diakui ada kekurangan di sana-sini, termasuk berbagai pelanggaran yang terjadi. Namun, semua itu harus menjadi peringatan bagi para penyelenggara pemilu, baik itu KPU maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), untuk memperbaikinya saat Pemilu Presiden 2014 nanti digelar.
KPU dan Bawaslu jangan sampai jatuh dalam lubang kesalahan untuk kali kedua. Kestabilan politik, birokrasi yang responsif, kondisi sosial masyarakat yang penuh semangat gotong royong dan rasa persatuan tak bisa dimungkiri menjadi komponen utama bagaimana suatu bangsa bisa membangun.
Gonjang-ganjing politik di Thailand suduh cukup menjadi bukti bagi kita di Tanah Air agar kekisruhan politik serupa tidak terjadi di Indonesia. Akibat kisruh politik, investor bisa melihat kondisi suatu negara tidak aman. Mereka pun enggan turut meramaikan pembangunan di negara tersebut. Padahal, untuk Indonesia, peran pemerintah saja dalam mendorong pembangunan tidak akan bisa maksimal. Swasta tetap diharapkan bisa menjadi pendorong ekonomi agar tumbuh optimal.
Kampanye Pilpres 2014 yang akan dimulai pada 4 Juni selama sebulan mendatang harus menjadi titik awal bagi semua pihak untuk berkomitmen menjaga keamanan, ketertiban, dan kebersamaan, meski pilihan politik bisa saja berbeda. Menjaga satu orang tetap menjadi sahabat setia lebih berharga daripada mencari sepuluh musuh. Maka dari itu, jangan sampai kontestasi politik yang sudah pasti digelar setiap lima tahun ini melemahkan momentum kita sebagai bangsa untuk bangkit menjadi bangsa yang sejahtera.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar