Konflik
Indonesia dan Belanda
Bubarkan PKI dan ormas-ormasnya yang
bernaung dibawahnya
Atas
nama bangsa Indonesia Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan oleh Bung
Karno didampingi oleh Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Satu langkah
maju sudah ada pada genggaman bangsa Indonesia melalui Proklamasi kemerdekaan
tersebut. Sebagai negara yang baru memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia
mendapat simpati dari bangsa-bangsa di dunia. Hal ini tampak dari adanya
pengakuan negara lain terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945. Sebagai sebuah
negara merdeka, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkan Undang-Undang
Dasar (UUD 1945) dan pemilihan Presiden yaitu Bung Karno dan Bung Hatta sebagai
Wakil Presiden.
Semula
rakyat Indonesia menyambut dengan senang hati kedatangan Sekutu, karena mereka
mengumandangkan perdamaian. Akan tetapi, setelah diketahui bahwa Netherlands
Indies Civil Administration (NICA) di bawah pimpinan Van der Plass dan Van Mook
ikut di dalamnya,sikap rakyat Indonesia menjadi curiga dan bermusuhan. NICA adalah
organisasi yang didirkanorang-orang Belanda yang melarikan diri ke
Australiasetelah Belanda menyerah pada Jepang. Organisasi ini semula didirikan
dan berpusat di Australia.
Keadaan
bertambah buruk karena NICA mempersenjatai kembali KNIL setelah dilepas Oleh
Sekutu dari tawanan Jepang. Adanya keinginan Belanda berkuasa di Indonesia
menimbulkan pertentangan, bahkan diman-mana terjadi pertempuran melawan NICA
dan Sekutu. Tugas yang diemban oleh Sekutu yang dalam hal ini dilakukan oleh
Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) ternyata memiliki agenda yang
terselubung. Kedatangan pasukan Sekutu justru diboncengi oleh NICA yang tidak
lain adalah orang-orang Belanda yang ketika Jepang dating melarikan diri ke
Australia dan membentuk kekuatan di sana. Mereka memiliki keinginan untuk
menghidupkan kembali Hindia Belanda. Dengan demikian sikap Indonesia yang
semula menerima kedatangan Sekutu menjadi penuh kecurigaan dan kemudian
berkembang menjadi permusuhan.
Pertempuran
10 November 1945 di Surabaya
Peristiwa
di Surabaya itu merupakan rangkaian peristiwa yang dimulai sejak kedatangan
pasukan Sekutu dengan bendera AFNEI di Jawa Timur. Khusus untuk Surabaya,
Sekutu menempatkan Brigade 49, yaitu bagian dari divisi ke-23 Sekutu. Brigade
49 dipimpin Brigjen A.W.S. Mallaby yang mendarat 25 Oktober 1945. Pada mulanya
pemerintah Jawa Timur enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian dibuat
kesepakatan antara Gubernur Jawa Timur R.M.T.A.
Suryo
dengan Brigjen A.W.S. Mallaby. Kesepakatan itu adalah sebagai berikut.
1) Inggris berjanji tidak mengikutsertakan
angkatan perang Belanda
2) Menjalin kerja sama kedua pihak untuk
menciptakan kemanan dan ketentraman
3) Akan dibentuk kontrak biro
4) Inggris akan melucuti senjata Jepang
Dengan
kesepakatan itu, Inggris diperkenankan memasuki kota Surabaya. Ternyata pihak
Inggris ingkar janji. Itu terlihat dari penyerbuan penjara Kalisosok 26 Oktober
1945. Inggris menduduki pangkalan udara Tanjung Perak tanggal 27 Oktober 1945,
serta menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa
Timur menyerahkan senjatasenjata mereka. Kontrak senjata antar Sekutu dan
rakyat Surabaya sudah terjadi sejak 27 Oktober 1945. Karena terjadi kontak
senjata yang dikhawatirkan meluas, Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden
Moh. Hatta mengadakan perundingan. Kedua belah pihak merumuskan hasil
perundingan sebagai berikut.
1) Surat-surat selebaran/pamflet dianggap
tidak berlaku
2) Serikat mengakui keberadaan TKR dan
Polisi Indonesia
3) Seluruh kota Surabaya tidak lagi dijaga
oleh Serikat, sedangkan kampkamp tawanan dijaga bersama-sama Serikat dan TKR
4) Tanjung Perak dijaga bersama TKR,
Serikat, dan Polisi Indonesia
Walaupun
sudah terjadi perundingan, akan tetapi di berbagai tempat di kota Surabaya
tetap terjadi bentrok senjata antara Serikat dan rakyat Surabaya yang
bersenjata. Pertempuran seru terjadi di Gedung Bank Internatio di Jembatan
Merah. Gedung itu dikepung oleh para pemuda yang menuntut agar pasukan A.W.S.
Mallaby menyerah. Tuntutan para pemuda itu ditolak pasukan Serikat. Karena
begitu gencarnya pertempuran di sana, akibatnya terjadi kejadian fatal, yaitu
meninggalnya A.W.S. Mallany tertusuk bayonet dan bambu runcing.
Peristiwa
ini terjadi tanggal 30 Oktober 1945. Dengan meninggalnya A.W.S. Mallaby, pihak
Inggris memperingatkan rakyat Surabaya dan meminta pertanggungjawaban. Mereka
mengancam agar rakyat Surabaya menyerah dan akan dihancurkan apabila tidak
mengindahkan seruan itu. Ultimatum Inggris bermakna ancaman balas dendam atas
pembunuhan A.W.S. Mallaby disertai perintah melapor ke tempat-tempat yang
ditentukan. Disamping itu, pemuda bersenjata harus menyerahkan senjatanya.
Ultimatum Inggris itu secara resmi ditolak rakyat Surabaya melalui pernyataan
Gubernur Soerjo. Karena penolakan itu, pertempuran tidak terhindarkan lagi,
maka pecahlah pertempuran pada tanggal 10 November 1945.
Sekutu
mengerahkan pasukan infantri dengan senjata-senjata berat. Peristiwa heroik ini
berlangsung hampir tiga minggu. Dalam pertempuran tersebut, melalui siaran
radio, Bung Tomo membakar semangat arek-arek Suroboyo. Pertempuran yang memakan
korban banyak dari pihak bangsa Indonesia ini diperingati sebagai Hari Pahlawan
setiap tanggal 10 November. Peringatan itu merupakan komitmen bangsa Indonesia
yang berupa penghargaan terhadap kepahlawanan rakyat Surabaya sekaligus
mencerminkan tekad perjuangan seluruh bangsa Indonesia.
Pertempuran
Ambarawa
Pertempuran
ini berlangsung tanggal 20 November sampai dengan 15 Desember 1945 antara TKR
dan pasukan Inggris. Peristiwa itu berawal dari kedatangan tentara sekutu di
Semarang tanggal 20 Oktober 1945. Tujuan semula pasukan itu adalah mengurus
tawanan perang. Akan tetapi, ternyata mereka diboncengi oleh NICA yang kemudian
mempersenjatai para tawanan.
Di
Ambarawa tanggal 20 Oktober 1945 pecahlah pertempuran antara TKR yang dipimpin
Mayor Sumarto dengan tentara Serikat. Dalam pertempuran itu gugur Letkol
Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Kolonel Isdiman, komando
pasukan diambil alih oleh Letnan Kolonel Sudirman yang saat itu menjabat sebagi
panglima divisi Banyumas. Pasukan Serikat menggunakan para tawanan Jepang yang
telah dipersenjatai untuk ikut bertempur. Mereka juga mengerahkan tank dan
senjata berat lainnya.
Pada
tanggal 12 Desember 1945, pasukan Indonesia melancarkan serangan serentak.
Setelah bertempur selama empat hari, akhirnya pasukan Indonesia berhasil
mengusir tentara Serikat dari Ambarawa dan memukul mundur mereka sampai
Semarang.
Medan Area
Mr.
Teuku M. Hassan yang telah diangkat menjadi gubernur mulai membenahi daerahnya.
Tugas pertama yang dilakukan Gubernur Sumatera ini adalah menegakkan kedaulatan
dan membentuk Komite Nasional Indonesia untuk wilayah Sumatera. Oleh karena
itu, mulai dilakukan pembersihan terhadap tentara Jepang dengan melucuti
senjata dan menduduki gedung-gedung pemerintah. Pada tanggal 9 Oktober 1945, di
Medan mendarat pasukan Serikat yang diboncengi oleh NICA. Para Pemuda Indonesia
dan Barisan Pemuda segera membentuk TKR di Medan. Pertempuran pertama pecah
tanggal 13 Oktober 1945 ketika lencana merah putih diinjak-injak oleh tamu di
sebuah hotel. Para pemuda kemudian menyerbu hotel tersebut sehingga
mengakibatkan 96 korban luka-luka. Para korban ternyata sebagian orang-orang
NICA. Bentrokan antar Serikat dan rakyat menjalar ke seluruh kota Medan.
Peristiwa kepahlawanan ini kemudian dikenal sebagai pertempuran “Medan Area”.
Bandung
Lautan Api
Istilah
Bandung Lautan Api menunjukkan terbakarnya kota Bandung sebelah selatan akibat
politik bumi hangus yang diterapkan TKR. Peristiwa itu terjadi tanggal 23 Maret
1946 setelah ada ultimatum perintah pengosongan Bandung oleh Sekutu. Seperti di
kota-kota lainnya, di Bandung juga terjadi pelucutan senjata terhadap Jepang.
Di pihak lain, tentara Serikat menghendaki agar persenjataan yang telah
dikuasai rakyat Indonesia diserahkan kepada mereka. Para pejuang akhirnya
meninggalkan Bandung, tetapi terlebih dahulu membumihanguskan kota Bandung.
Peristiwa tragis ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Bandung Lautan Api.
Tragedi Nasional (Masa Orde Lama)
Tragedi
nasional adalah suatu rangkaian peristiwa yang menimpa bangsa Indonesia.
Tragedi ini tentu membawa akibat yang sangat merugikan dan menyengsarakan
rakyat Indonesia. Peristiwa-demi peristiwa terjadi pada bangsa Indonesia
sekaligus merupakan ancaman, tantangan dan hambatan. Peristiwa-peristiwa
tersebut sangat mengganggu upaya menata kembali bangsa Indonesia setelah
mencapai kemerdekaan.
Pemberontakan
PKI Madiun 1948
Peristiwa
Madiun tidak dapat dipisahkan dari pembentukn Fron Demokrasi Rakyat (FDR) pada
tanggal 28 Juni 1948. FDR adalah kumpulan beberapa partai seperti partai
Sosialis, Pesindo, partaiBuruh, PKI dan Sobsi. Peristiwa Madiun itu diawali
dari kota Solo yang dilakukan oleh para pengikut Muso dan Amir SyarifuddinPada
tahun 1948 Muso kembali dari Rusia. Sekembalinya itu Musobergabung dengan
Partai Komunis Indonesia. Ajaranyang diberikan pada para anggota PKI adalah
mengadu domba kesatuan nasional denganmenyebarkan teror. . Pada tanggal 18
September 1948 di Madiun tokoh-tokoh PKI memproklamirkan berdirinya Republik
Soviet Indonesia. Orang-orang yang dianggap musuh politiknya dibunuh oleh PKI.
Dengan
terjadinya peristiwa Madiun tersebut, pemerintah dengan segera mengambil
tindakan tegas. Pemberontakan Madiun itu dapat diatasi setelah pemerintah
mengangkat Gubernur Militer Kolonel Subroto yang wilayahnya meliputi Semarang,
Pati dan Madiun. Walaupun dalam menghancurkan kekuatan PKI dalam peristiwa
Madiun menelan banyak korban, namun tindakan itu demi mempertahankan
Kemerdekaan yang kita miliki. Ketika Belanda melakukan agresi terhadap Republik
Indonesia, PKI justru menikam dari belakang dengan melaukan pemberontakan yang
sekaligus dapat merepotkan pemerintah Republik.
Pemberontakan
RMS (Republik Maluku Selatan)
Salah
seorang yang juga menjadi dalang dalam pemberontakan Andi Aziz adalah Dr. Chr.
R.S. Soumokil datang ke Ambon. Ketika itu Soumokil menjabat sebagai Jaksa Agung
Negara Bagian Indonesia Timut (NIT). Dia mempengaruhi pada anggota KNIL agar
membentuk Republik Maluku Selatan (RMS). RMS kemudian diproklamasikan pada
tanggal 25 April 1950. Pemerintah berusaha mengakhiri teror yang dilakukan oleh
gerombolan RMS terhadap rakyat Maluku Tengah. Walaupun sudah dilakukan upaya
damai, namun RMS tetap melakukan terror terhadap rakyat.
Pemerintah
kemudian mengambil jalan dengan mengerahkan pasukan untuk meredam pemberontakan
tersebut. Pada 14 Juli 1950 pasukan dari APRIS mulai mendarat di Maluku. Pada
bulan Desember 1950 seluruh Maluku Tengah dapat dikuasai oleh APRIS. Para
pemberontak melarikan diri ke pulau Seram. Pada tanggal 2 Desember 1953
Somoukil dapat ditangkap dan dalam Mahkamah Militer Luar Biasa dia dijatuhi
hukuman dengan pidana mati.
Gerakan
30 September 1965 (G.30 S / PKI)
Sebagai
fakta sejarah setiap orang Indonesia tidak akan melupakannya, bahwa di negara
ini pernah terjadi peristiwa di tahun 1965 yang dikenal dengan nama Gerakan 30
September yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia (G30 S/PKI) . Pada dini
hari 1 Oktober 1965 mereka membunuh enam perwira tinggi dan seorang perwira
pertama Angkatan Darat. Kesemuanya dibawa ke Desa Lubang Buaya sebelah Selatan
pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma. Mereka itu adalah:
Menteri/Panglima Angkatan Darat
(Men/Pangad) Letnan Jenderal Ahmad yani
Deputy II Men/Pangad, Mayor Jenderal
R.Soeprapto
Deputy III Men/Pangad, Mayor Jenderal
Harjono Mas Tirtodarmo
Asisten I Men/Pangad, Mayor Jenderal
Siswodo Parman
Asisten IV Men/Pangad Brigadir Jenderal
Donald Izacus Panjaitan
Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal
Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo.
Letnan Satu Pierre Andrean Tendean
Peristiwa
G 30 S/PKI ternyata menjadi pemicu aksi protes terhadap kepemimpinan Soekarno,
bahkan dituduhkan bahwa Soekarno ada di balik peristiwa tersebut. Aksi-aksi
tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/PKI semakin
meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda, mahasiswa dan
pelajar KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Aksi mogok demonstrasi mulai
dilaksanakan pada tanggal 10 Januari 1966 di halaman Universitas Indonesia.
Di
samping itu juga mereka melakukan aksi corat-coret serta tempelantempelan pada
kendaraan-kendaraan bermotor yang antara lain berbunyi mengecam kepemimpinan
Soekarno dan PKI. Mereka bertekad akan terus mogok sampai tuntutan mereka
terpenuhi. Khususnya kendaraan-kendaraan ABRI diberi jalan dan disambut dengan
meriah “hidup ABRI”. Peranan Amerika nampaknya besar di balik peristiwa ini,
sebagai introspeksi diri bahwa semua ini terjadi karena kondisi politik di
dalam negeri tidak stabil. Dari aksi para mahasiswa tersebut menghasilkan
sebuah keputusan politik bersama yang dikenal dengan nama Tri Tura (Tiga
Tuntutan Rakyat) yang isinya:
Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur
G 30 S/PKI
Turunkan harga/perbaikan ekonomi
Untuk
menjawab tuntutan tersebut maka Kabinet Dwikora mengadakan sidangnya di Istana
Negara pada hari Jumat tanggal 11 Maret 1966 yang dipimpin oleh Soekarno.
Sidang dimulai pukul 09.00, semua menteri nampak semua hadir, kecuali Menteri
Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto karena sakit flu.
Presiden
Sukarno mendapat laporan bahwa di luar istana terdapat pasukan liar dengan
kekuatan satu kompi mengepung istana. Ia langsung berhenti memimpin sidang,
kemudian berangkat ke Istana Bogor. Sidang kemudian dilanjutkan oleh Dr.
Leimena untuk kemudian ditutup sehingga dapat dikatakan sidang ini gagal.
Melihat kejadian ini maka Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amir Mahmud dan
Brigjen M.Yusuf segera melaporkan situasi yang terjadi di Istana kepada Letjen
Soeharto. Ketiga perwira itu juga meminta ijin kepada Menteri/Pangad untuk
menemui Presiden Soekarno di Bogor guna melaporkan situasi sebenarnya di
Jakarta.
Sore
hari ketiga perwira itu menghadap Presiden yang didampingi oleh Dr. Soebandrio,
Dr. Chairul Saleh dan Dr. Leimena, sementara itu ke Bogor disusul oleh ajudan
Presiden Brigadir Jenderal M.Sabur. Ketiga perwira ini mencoba menyakinkan
presiden bahwa satu-satunya orang yang dapat menguasai siatuasi dewasa ini
ialah Letjen Soeharto. Maka diajukan saran agar Presiden memberikan wewenang
kepada Letjen Soeharto mengambil langkah-langkah pengamanan dan penertiban
keadaan.
Dan
setelah mengadakan pembicaraan dan pembahasan yang cukup mendalam akhirnya
Presiden Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966 memberikan surat perintah kepada
Letnan Jenderal Soeharto, surat mini dikenal dengan nama Supersemar. Secara
umum Supersemar mempunyai arti penting, di antaranya:
Keluarnya
Supersemar merupakan tonggak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
karena dalam periodisasi sejarah Indonesia mulai dikenal Orde Baru.
Dengan
Supersemar menyebabkan Letnan Jenderal Soeharto mengambil tindakan yang
dianggap perlu untuk menjamin keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya
pemerintahan dan revolusi Indonesia serta menjamin keselamatan pribadi dan
kewibawaan Presiden demi keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia.
Berlandaskan
Supersemar Letnan Jenderal
Soeharto
harus mengambil langkah-langkah yang penting dan memberi arah baru kepada
perjalanan hidup bangsa dan negara.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar