Kedatangan
Bangsa Bangsa Eropa
Masa
Bangsa Portugis
Sebelum merdeka, negara Indonesia merasakan pahitnya penjajahan
oleh beberapa negara asing. Dimulai dari Portugis yang pertama kali tiba di
Malaka pada tahun 1509. Portugis berhasil menguasai Malaka pada 10 Agustus 1511
yang dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque. Setelah menguasai Malaka, portugis
mulai bergerak dari Madura sampai ke Ternate. Bangsa Indonesia melakukan
berbagai perlawanan terhadap Portugis. Salah satu perlawan yang terkenal adalah
perlawan Fatahillah yang berasal dari Demak di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta).
Fatahillah berhasil memukul mundur bangsa Portugis dan mengambil kembali Sunda
Kelapa. Setelah itu nama Sunda Kelapa diubah oleh Fatahillah menjadi Jayakarta.
Masa
Bangsa Spanyol
Keberhasilan Portugis mendorong bangsa Eropa yang lain untuk ikut
mencari untung. Kalau Portugis lebih memusatkan perhatian di Ternate, Spanyol
lebih tertarik bersekutu dengan Tidore. Terjadilah persaingan antara Portugis
dan Spanyol di kawasan Maluku. Spanyol kemudian membangun benteng di Tidore.
Pembangunan benteng ini semakin memperuncing persaingan persekutuan Portugis
dan Ternate dengan Spanyol dan Tidore. Akhirnya pada tahun 1527 terjadilah
pertempuran antara Ternate dengan bantuan Portugis melawan Tidore yang dibantu
oleh Spanyol. Benteng yang dibangun Spanyol di Tidore dapat direbut oleh
persekutuan Ternate dan Portugis.
Portugis dan Spanyol menyadari kerugian yang ditimbulkan akibat
persaingan itu. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada tahun 1534 keduanya
menyepakati diadakanlah Perjanjian Saragosa. Isi perjanjian itu antara lain;
Maluku menjadi daerah pengaruh dan kegiatan Portugis
Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan diri di Filipina
Perjanjian ini semakin mengokohkan kedudukan Portugis di Maluku.
Dalam melaksanakan monopoli perdagangan, Portugis juga memiliki ambisi untuk
menanamkan kekuasaan di Maluku. Itulah sebabnya, rakyat dan raja Ternate
kemudian menentang Portugis.
Masa Pemerintahan penjajah Belanda
Masa penjajahan Portugis berakhir pada tahun 1602 setelah Belanda
masuk ke Indonesia. Belanda masuk ke Indonesia melalui Banten di bawah pimpinan
Cornelius de Houtman. Belanda ingin menguasai pasar rempah-rempah di Indonesia
dengan mendirikan Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Banten pada tahun
1602. Karena pasar di Banten mendapat saingan dari pedagang tionghoa dan
inggris maka kantor VOC pindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, VOC
mendapat perlawanan dari Sultan Hasanuddin. Setelah berpindah-pindah tempat,
akhirnya VOC sampai d Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangani perjanjian
Giyanti yang isinya adalah Belanda mengakui mangkubumi sebagai Sultan
Hamengkubuwono 1. Perjanjian Giyanti juga memecah kerajaan Mataram menjadi
Kasunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Lalu, akhirnya VOC dibubarkan pada
tanggal 1 Januari 1800 setelah Belanda kalah dari Perancis.
Setelah VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti. Belanda
menunjuk Daendels sebagai gubernur jenderal hindia belanda. Pada masa Deandels,
masyarakat Indonesia dipaksa untuk membuat jalan raya dari Anyer sampai
Panarukan. Namun masa pemerintahan Daendels tidak berlangsung lama dan
digantikan oleh Johannes van den Bosch. Van den Bosch menerapkan sistem tanam
paksa (cultuur stelsel). Dalam sistem tanam paksa, setiap desa harus menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila.
Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang
sudah dipastikan (20%) dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial.
Masa
Pemerintahan penjajah Jepang
Setelah 350 tahun Belanda menguasai Indonesia, pemerintahan Belanda
di Indonesia digantikan oleh bangsa Jepang. Belanda menyerah tanpa syarat
kepada jepang melalui perjanjian Kalijati pada tanggal 8 maret 1942. Masa
pendudukan Jepang dimulai pada tahun 1942 dan berakhir pada 17 agustus 1945. Di
Indonesia, Jepang membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang dibuat Jepang
antara lain adalah PETA (Pembela Tanah Air), Heiho (pasukan Indonesia buatan
Jepang), PUTERA, Jawa Hokokai (pengganti Putera).
Pada awalnya, kedatangan pasukan Jepang disambut dengan hangat oleh
bangsa Indonesia. Namun dalam kenyataannya, Jepang tidak jauh berbeda dengan
Negara imperialis lainnya. Jepang termasuk negara imperialis baru, seperti
Jerman dan Italia. Sebagai Negara imperialis baru, Jepang membutuhkan
bahan-bahan mentah untuk memenuhi kebutuhan industrinya dan pasar bagi
barang-barang industrinya. Oleh karena itu, daerah jajahan menjadi sangat
penting artinya bagi kemajuan industri Jepang. Apalah arti kemajuan industry
apabila tidak didukung dengan bahan mentah (baku) yang cukup dengan harga yang
murah dan pasar barang hasil industri yang luas. Dengan demikian, jelas bahwa
tujuan kedatangan Balatentara Jepang ke Indonesia adalah untuk menanamkan
kekuasaannya, untuk menjajah Indonesia. Artinya, pengakuan sebagai ‘saudara
tua’ merupakan semboyan yang penuh kepalsuan. Hal itu dapat dibuktikan dari
beberapa kenyataan yang terjadi selama pendudukan Balatentara Jepang di
Indonesia. Bahkan, perlakuan pasukan Jepang lebih kejam sehingga bangsa
Indonesia mengalami kesengsaraan.
Perlawanan
rakyat terhadap penjajah
Perlawanan terhadap penjajahan Jepang banyak dilakukan di beberapa
daerah di Indonesia. Di daerah Cot Plieng Aceh perlawanan terhadap Jepang
dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil (seorang guru ngaji di daerah tersebut). Usaha
Jepang untuk membujuk sang ulama tidak berhasil, sehingga Jepang melakukan
serangan mendadak di pagi buta sewaktu rakyat sedang melaksanakan shalat Subuh.
Dengan persenjataan sederhana/seadanya rakyat berusaha menahan serangan dan
berhasil memukul mundur pasukan Jepang untuk kembali ke Lhokseumawe. Begitu
juga dengan serangan kedua, berhasil digagalkan oleh rakyat. Baru pada serangan
terakhir (ketiga) Jepang berhasil membakar masjid sementara pemimpin pemberontakan
(Teuku Abdul Jalil) berhasil meloloskan diri dari kepungan musuh, namun
akhirnya tertembak saat sedang shalat.
Perlawanan lain yang terkenal lainnya adalah perlawanan PETA di
daerah Blitar, Jawa Timur. Perlawanan ini dipimpin oleh Syodanco Supriyadi,
Syodanco Muradi, dan Dr. Ismail. Perlawanan ini disebabkan karena persoalan
pengumpulan padi, Romusha maupun Heiho yang dilakukan secara paksa dan di luar
batas perikemanusiaan. Sebagai putera rakyat para pejuang tidak tega melihat
penderitaan rakyat. Di samping itu sikap para pelatih militer Jepang yang
angkuh dan merendahkan prajurit-prajurit Indonesia. Perlawanan PETA di Blitar
merupakan perlawanan yang terbesar di Jawa. Tetapi dengan tipu muslihat Jepang
melalui Kolonel Katagiri (Komandan pasukan Jepang), pasukan PETA berhasil
ditipu dengan pura-pura diajak berunding. Empat perwira PETA dihukum mati dan
tiga lainnya disiksa sampai mati. Sedangkan Syodanco Supriyadi berhasil
meloloskan diri.
Persiapan
kemerdekaan
Pemerintahan Jepang di Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari
tentara sekutu di Perang Dunia II. Dua kota di Jepang yaitu Hiroshima dan
Nagasaki dijatuhi bom oleh tentara sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan
Jepang, dibentuklah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Radjiman
Widyodiningrat. Nama BPUPKI diganti menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) atau Dokuritsu Junbi Inkai untuk lebih menegaskan keinginan dan
tujuan bangsa Indonesia untuk merdeka.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat
sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu
Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang
kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun pada tanggal
10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang
telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan
sebagai hadiah Jepang.
Saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat,
Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena
menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang
setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan
dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan
kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin bahwa
Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat
menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika
para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir
tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang
dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan ‘hadiah’ dari Jepang.
Setelah mendengar Jepang menyerah pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda
mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan
terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Soekarno dan Hatta bersama
Soebardjo kemudian ke rumah Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara.
Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan
mereka di Dalat.
Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan
pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16
Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala
sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Sehari
kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh
Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat
PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta
tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadiperistiwa Rengasdengklok.
Peristiwa
Rengasdengklok
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana
berdiskusi dengan Ibrahim dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama
Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa
Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke
Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh
Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah
dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr.
Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto
untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil
meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing.
Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak
dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana
Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks
proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Naskah
asli proklamasi yang ditempatkan di Monumen Nasional (Gambar)
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan
teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 – 04.00 dini
hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln
Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs.
Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir.
Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan
Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu
adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi
harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah
hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan
disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah
dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo,
wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia
menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang
prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit
PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari
belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih),
yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar,
hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka
tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota
Barisan Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru karena mereka tidak
mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut
Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta
memberikan amanat singkat kepada mereka.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang
Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal
sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan
Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat
yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan
dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto
Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden
Republik Indonesia yang pertama.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar