Salah satu peninggalan
sejarah kehidupan makhluk paling mulia Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang masih dan akan terus disaksikan oleh dunia adalah Masjid yang
beliau bangun di kota madinah yang kita kenal dengan nama Masjid Nabawi. Masjid
Nabawi yang saat ini kita lihat berdiri begitu megah dahulunya hanyalah sebuah
bangunan sederhana. Bagaimana kisah selengkapnya dari perjalanan panjang
sejarah masjid ini, mari kita simak bersama. (~admin~)
Pembangunan Masjid
Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam membangun Masjid Nabawi pada bulan Raibul Awal di awal-awal
hijarahnya ke Madinah. Pada saat itu panjang masjid adalah 70 hasta dan
lebarnya 60 hasta atau panjangnya 35 m dan lebar 30 m. Kala itu Masjid Nabawi
sangat sederhana, kita akan sulit membayangkan keadaannya apabila melihat
bangunannya yang megah saat ini. Lantai masjid adalah tanah yang berbatu,
atapnya pelepah kurma, dan terdapat tiga pintu, sementara sekarang sangat besar
dan megah.
Area yang hendak
dibangun Masjid Nabawi saat itu terdapat bangunan yang dimiliki oleh Bani
Najjar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bani Najjar,
“Wahai Bani Najjar, berilah harga bangunan kalian ini?” Orang-orang Bani Najjar
menjawab, “Tidak, demi Allah. Kami tidak akan meminta harga untuk bangunan ini
kecuali hanya kepada Allah.” Bani Najjar dengan suka rela mewakafkan bangunan
dan tanah mereka untuk pembangunan Masjid Nabawi dan mereka berharap pahala
dari sisi Allah atas amalan mereka tersebut.
Anas bin Malik yang
meriwayatkan hadis ini menuturkan, “Saat itu di area pembangunan terdapat
kuburan orang-orang musyrik, puing-puing bangunan, dan pohon kurma. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memindahkan mayat di makam
tersebut, meratakan puing-puing, dan menebang pohon kurma.”
Pada tahun 7 H, jumlah
umat Islam semakin banyak, dan masjid menjadi penuh, Nabi pun mengambil
kebijakan memperluas Masjid Nabawi. Beliau tambahkan masing-masing 20 hasta
untuk panjang dan lebar masjid. Utsman bin Affan adalah orang yang menanggung
biaya pembebasan tanah untuk perluasan masjid saat itu. Peristiwa ini terjadi
sepulangnya beliau dari Perang Khaibar.
Masjid Nabawi adalah
masjid yang dibangun dengan landasan ketakwaan. Di antara keutamaan masjid ini
adalah dilipatgandakannya pahala shalat di dalamnya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا
أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini
lebih utama dari 1000 kali shalat di masjid selainnya, kecuali Masjid
al-Haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mimbar Nabi
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي
رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الْجَنَّةِ وَمِنْبَرِي عَلَى حَوْضِي
“Antara rumahku dan
mimbarku ada taman dari taman-taman surga, dan mimbarku di atas telagaku.” (HR.
al-Bukhari dan Muslim).
Awalnya Nabi berkhutbah
di atas potongan pohon kurma kemudian para sahabat membuatkan beliau mimbar,
sejak saat itu beliau selalu berkhutbah di atas mimbar. Dari Jabir radhiallahu
‘anhu bahwa dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah Jumat berdiri
di atas potongan pohon kurma, lalu ada seorang perempuan atau laki-laki Anshar
mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami membuatkanmu mimbar?’ Nabi menjawab, ‘Jika kalian mau (silahkan)’.
Maka para sahabat membuatkan beliau mimbar. Pada Jumat berikutnya, beliau pun
naik ke atas mimbarnya, terdengarlah suara tangisan (merengek) pohon kurma seperti
tangisan anak kecil, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekapnya.
Pohon it uterus ‘merengek’ layaknya anak kecil. Rasulullah mengatakan, ‘Ia
menagis karena kehilangan dzikir-dzikir yang dulunya disebut di atasnya’.” (HR.
Bukhari)
Di antara keagungan dan
keutamaan mimbar ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
seseorang bersumpah di dekatnya, barangsiapa bersumpah di dekat mimbar tersebut
dia telah berdusta dan berdosa.
لَا يَحْلِفُ عِنْدَ هَذَا
الْمِنْبَرِ عَبْدٌ وَلَا أَمَةٌ، عَلَى يَمِينٍ آثِمَةٍ، وَلَوْ عَلَى سِوَاكٍ رَطْبٍ،
إِلَّا وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ
“Janganlah seorang
budak laki-laki atau perempuan bersumpah di dekat mimbar tersebut. Bagi orang
yang bersumpah, maka dia berdosa…” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Hakim)
Raudhah
Raudhah adalah suatu
tempat di Masjid Nabawi yang terletak antara mimbar beliau dengan kamar (rumah)
beliau. Rasulullah menerangkan tentang keutamaan raudhah,
عن أبي هريرة رضي الله عنه
أن النبي قال: “مَا بَيْنَ بَيْتِي وَمِنْبَرِي رَوْضَةٌ مِنْ رِيَاضِ الجَنَّةِ، وَمِنْبَرِي
عَلَى حَوْضِي
Dari Abu Hurairah
radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara rumahku
dan mimbarku terdapat taman di antara taman-taman surga. Dan mimbarku di atas
telagaku.” (HR. Bukhari).
Jarak antara mimbar dan
rumah Nabi adalah 53 hasta atau sekitar 26,5 m.
Shufah
Masjid Nabawi
Setelah kiblat
berpindah (dari Masjid al-Aqsha mengarah ke Ka’baj di Masjid al-Haram).
Rasulullah mengajak para
sahabatnya membangun
atap masjid sebagai pelindung bagi para sahabat yang tinggal di Masjid Nabawi.
Mereka adalah orang-orang yang hijrah dari berbagai penjuru negeri menuju
Madinah untuk memeluk Islam akan tetapi mereka tidak memiliki kerabat di
Madinah untuk tinggal disana dan belum memiliki kemampuan finasial untuk
membangun rumah sendiri. Mereka ini dikenal dengan ash-habu shufah.
Rumah Nabi.
Mungkin kata rumah
terlalu berlebihan untuk menggambarkan kediaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, karenanya lebih tepat kalau kita sebut dengan istilah kamar. Kamar Nabi
yang berdekatan dengan Masjid Nabawi adalah kamar beliau bersama ibunda Aisyah
radhiallahu ‘anha. Nabi Muhammad dimakamkan di sini, karena beliau wafat di
kamar Aisyah, kemudian Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dimakamkan pula di tempat
yang sama pada tahun 13 H, lalu Umar bin Khattab pada tahun 24 H.
Keadaan Makam Nabi.
Makam Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menghadap kiblat kemudian di belakang beliau (dikatakan di
belakang karena menghadap kiblat) terdapat makam Abu Bakar ash-Shiddiq dan
posisi kepala Abu Bakar sejajar dengan bahu Nabi. Di belakang makam Abu Bakar
terdapat makam Umar bin Khattab dan posisi kepala Umar sejajar dengan bahu Abu
Bakar. Di zaman Nabi kamar beliau berdindingkan pelepah kurma yang dilapisi
dengan bulu. Kemudian di zaman pemerintahan Umar bin Khattab dinding kamar ini
diperbaiki dengan bangunan permanen.
Ketika Umar bin Abdul
Aziz menjadi gubernur Madinah ia kembali merenovasi kamar tersebut, lebih baik
dari sebelumnya. Setelah dinding tersebut roboh dan menyebabkan kaki Umar bin
Khattab terlihat (kemungkinan roboh karena faktor alam sehingga tanah makam
tergerus dan kaki Umar menjadi terlihat), Umar bin Abdul Aziz kembali
membenahinya dengan bangunan batu hitam. Setelah itu diperbaiki lagi pada tahun
881 H.
Subhanallahu, kejadian
ini menunjukkan kebenaran sabda Nabi bahwa jasad seorang yang mati syahid itu
tidak hancur. Umar bin Khattab syahid terbunuh ketika menunaikan shalat subuh.
Usaha Pencurian Jasad
Nabi.
Pertama, pencurian
jasad Nabi di makamnya pertama kali dilakukan oleh seorang pimpinan Dinasti
Ubaidiyah, al-hakim bi Amrillah (wafat 411 H). Ia memerintahkan seorang yang
bernama Abu al-Futuh Hasan bin Ja’far. Al-Hakim memerintahkan Hasan bin Ja’far
agar memindahkan jasad Nabi ke Mesir. Namun dalam perjalanan menuju Madinah
angin yang kencang membinasakan kelompok Abu al-Futuh Hasan bin Ja’far.
Kedua, gagal pada upaya
pertamanya, al-Hakim bi Amrillah belum bertaubat dari makar yang ia lakukan. Ia
memerintahkan sejumlah orang untuk melakukan percobaan kedua. Al-Hakim bi
Amrillah mengirim sekelompok orang penggali kubur menuju Madinah. Orang-orang
ini diperintahkan untuk menetap beberapa saat di daerah dekat Masjid Nabawi.
Beberapa saat mengamati keadaan, mereka mulai melaksanakan aksinya dengan cara
membuat terowongan bawah tanah. Setelah dekat dengan makam, orang-orang
menyadari adanya cahaya dari bawah tanah, mereka pun berteriak “Ada yang
menggali makam Nabi kita!!” Lalu orang-orang memerangi sekelompok penggali
kubur ini dan gagallah upaya kedua dari al-Hakim bi Amrillah. Kedua kisah ini
selengkapnya bisa dirujuk ke buku Wafa al-Wafa, 2: 653 oleh as-Samhudi.
Ketiga, upaya pencurian
jasad Nabi kali ini dilakukan atas perintah raja-raja Nasrani Maroko pada tahun
557 H. saat itu Nuruddin az-Zanki adalah penguasa kaum muslimin di bawah
Khalifah Abbasiyah. Dalam mimpinya Nuruddin az-Zanki bertemu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan beliau mengatakan “Selamatkan aku dari dua orang ini
-Nabi menunjuk dua orang yang terlihat jelas wajah keduanya dalam mimpi
tersebut-.” Nuruddin az-Zanki langsung berangkat menuju Madinah bersama dua
puluh orang rombongannya dan membawa harta yang banyak. Setibanya di Madinah,
orang-orang pun mendatanginya, setiap orang yang meminta kepadanya pasti akan
dipenuhi kebuthannya.
Setelah 16 hari,
hampir-hampir seluruh penduduk Madinah datang menemuinya, namun ia belum juga
melihat dua orang yang ditunjuk oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
mimpinya. Ia pun bertanya, “Adakah yang tersisa dari penduduk Madinah?”
Masyarakat menjawab, “Ada, dua orang kaya yang sering berderma, mereka berasal
dari Maroko.” Masyarakat menyebutkan tentang keshalehan keduanya, tentang
shalatnya, dan apabila keduanya dipinta pasti memberi. Ternyata dua orang
inilah yang dilihat az-Zanki dalam mimpinya dan keduanya sengaja tinggal sangat
dekat dengan kamar Nabi. Az-Zanki menanyakan perihal kedatangan mereka ke
Madinah. Keduanya menjawab mereka hendak menunaikan haji.
Az-Zanki menyelidiki
dan mendatangi tempat tinggal mereka, ternyata rumah tersebut kosong. Saat ia
mengelilingi tempat tinggal dua orang Maroko ini, ternyata ada sebuah tempat
–semisal ruangan kecil- yang ada lubangnya dan berujung di kamar Nabi. Keduanya
tertangkap ‘basah’ hendak mencuri jasad Nabi, keduanya pun dibunuh di ruang
bawah kamar Nabi tersebut. Selengkapnya lihat Wafa al-Wafa 2: 648.
Keempat, upaya
pencurian jasad Nabi oleh orang-orang Nasrani Syam. Orang-orang ini masuk ke
wilayah Hijaz, lalu membunuh para peziarah kemudian membakar tempat-tempat
ziarah. Setelah itu mereka mengatakan bahwa mereka ingin mengambil jasad Nabi
di makamnya. Ketika jarak mereka denga kota Madinah tinggal menyisakan
perjalanan satu hari, mereka bertemu dengan kaum muslimin yang mengejar mereka.
Mereka pun dibunuh dan sebagiannya ditangkap oleh kaum muslimin (Rihlatu Ibnu
Zubair, Hal: 31-32)
Amalan Bid’ah Terkait
dengan Ziarah ke Masjid Nabawi
Sering dijumpai
peziarah Masjid Nabawi mengusap-usap kamar Nabi ini, bahkan ada yang
menciuminya dalam rangka mengharap berkah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Ulama
telah sepakat, barangsiapa yang berziarah ke makam Nabi Muhammad atau ke makam
nabi selain beliau atau makam orang-orang shaleh, makam sahabat, makam ahlul
bait, atau selain mereka, tidak boleh mengusap-usap atau menciumnya, bahkan
tidak ada satu pun benda mati di dunia ini yang disyariatkan untuk dicium
kecuali hajar aswad.” (Majmu’ Fatawa, 27:29)
Tidak boleh juga untuk
thawaf mengelilingi kamar Nabi, thawaf adalah salah satu bentuk ibadah, dan
tidak diperkenankan beribadah kecuali hanya kepada Allah. Ada juga dijumpai
sebagian peziarah Masjid Nabawi yang bersujud mengarah ke makam Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, ini semua adalah ritual-ritual yang haram
dilakukan ketika berziarah ke Masjid Nabawi.
Perluasan Masjid Nabawi
- Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melebarkan Masjid Nabawi pada tahun ke-7 H, sepulangnya beliau dari Khaibar.
- Pada zaman Umar bin Khattab, tahun 17 H, Masjid Nabawi kembali diperluas. Umar juga menambahkan sebuah tempat yang agak meninggi di luar masjid yang dinamakan batiha. Tempat ini digunakan oleh orang-orang yang hendak mengumumumkan suatu berita, membacakan syair, atau hal-hal lainnya yang tidak terkait syiar agama. Sengaja Umar membuatkan tempat ini untuk menjaga kemuliaan masjid.
- Perluasan masjid di masa Utsman bin Affan tahun 29 H.
- Perluasan masjid oleh Khalifah Umayyah, Walid bin Abdul Malik pada tahun 88-91 H.
- Perluasan masjid oleh Khalifah Abbasiyah, al-Mahdi pada tahun 161-165 H.
- Perluasan oleh al-Asyraf Qayitbay pada tahun 888 H.
- Perluasan oleh Sultan Utsmani, Abdul Majid tahun 1265-1277 H.
- Perluasan oleh Raja Arab Saudi, Abdul Aziz alu Su’ud tahun 1372-1375 H.
- Perluasan oleh Khadimu al-Haramain asy-Syarifain, Fahd bin Abdul Aziz alu Su’ud tahun 1406-1414 H.
- Perluasan masjid yang saat ini sedang berlangsung oleh Khadimu al-Haramain asy-Syarifain, Abdullah bin Abdul Aziz.
Mudah-mudahan sejarah
singkat Masjid Nabawi ini semakin membangkitkan kecintaan kita kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, dan Masjid Nabawi itu sendiri.
Semoga Allah senantiasa menjaga masjid ini dari orang-orang yang hendak
melakukan keburukan, amin.
Ditulis oleh Nurfitri
Hadi
Artikel KisahMuslim.com
0 #type=(blogger):
Posting Komentar