masjid-jami-pangkalpinang-merupakan-masjid-tertua-di-bangka |
Proses Masuknya Islam ke pulau Bangka tidak terlepas dari unsur masuknya
kesultanan Johor, kerajaan Minangkabau, dan Banten. Kaum saudagar yang berlayar
dari dan ke selat Malaka singgah dan memenuhi stok air bersih di Pulau Bangka.
Daya tarik penguasa terus berlanjut pada masa Kesultanan Palembang, VOC dan
masa pemerintahan kolonial Belanda.
Islam masuk dan berkembang di Pulau Bangka terjadi dalam
tiga fase.
1. Pertama, fase de komst (datang) dipengaruhi oleh
motif ekonomi
2. kedua, fase receptie (penerimaan) didorong oleh
motif agama
3. ketiga fase uitbreiding (pengembangan) didorong
oleh motif politik.
Islamisasi oleh pedagang Islam terjadi melalui kontak paling
awal antara Islam dengan daerah-daerah pesisir pantai Sumatera seperti Peurlak
(Aceh) dan Samudera (Sumatera Utara). Kontak awal tersebut melalui
pernikahan pedagang muslim dengan penduduk setempat, sehingga terbentuklah
komunitas muslim.
Penyebaran Islam di Bangka Belitung (khususnya di Pulau
Bangka) baru teridentifikasi pada abad XVI yang dibuktikan dengan
kedatangan Sultan Johor dan Panglima Perang Tuan Sarah serta Raja Alam Harimau
Garang dari Minangkabau yang mengemban misi untuk menumpas bajak laut
(lanun/lanon) sekaligus menyebarkan Agama Islam yang berkedudukan di Bangka kota
dengan mengangkat Panglima Sarah sebagai Raja Muda di Pulau Bangka. Kemudian
dilanjutkan dengan priode ulama Banten yang berakhir pada sekitar separuh lebih
dari abad XVII atau sejak wafatnya Bupati Nusantara pada tahun 1671.
Selanjutnya, penyebaran dan dakwah Islam di Pulau Bangka kemudian
dilanjutkan oleh Kesultanan Palembang yang pada saat itu dipimpin oleh Sultan
Abdurrahman, menantu Bupati Nusantara. Sampai di periode ini (Kesultanan
Palembang) penyebaran Islam berlangsung lamban karena hampir dari seluruh
sultan Palembang lebih terfokus pada eksploitasi bijih timah ketimbang secara
intensif menyebarkan Islam di Pulau Bangka.
Babak baru penyebaran Islam di Pulau Bangka baru terjadi
atau diperkirakan berlangsung sekitar pertengahan abad XIX. Disebut sebagai
babak baru karena upaya penyebaran Islam secara intensif dilakukan ke hampir
seluruh Pulau Bangka bermula pada pertengahan abad XIX. Pada priode ini, ulama
Banjar (Kalimantan Selatan) memegang peranan penting, karena mereka inilah yang
konon disebut-sebut sebagai ulama paling berpengaruh ‘mewarnai’ Islam di Pulau
Bangka. Mengenai kapan tahun kedatangan pertama ulama-ulama Banjar ke Pulau
Bangka belum diperoleh data yang pasti.
Dalam makalah berjudul Islamisasi di Bangka ditulis
oleh Ketua STAIN SAS Bangka Belitung, Drs Zulkifli Harmi MA, dalam Seminar
Nasional Sejarah Masuknya Islam di Bangka Belitung, memaparkan salah seorang
ulama Banjar yang tercatat mendatangi sekaligus menyebarkan Islam di Pulau
Bangka adalah KH Muhammad Afif keturunan ketiga (cicit) Syaikh Muhammad Arsyad
Al Banjari ulama Banjar yang paling berpengaruh dan pengarang kitab fiqih Sabil
al Muhtadin yang tersohor itu. Kemungkinan besar, H Muhammad Afif yang tidak
lain adalah ayah dari Syaikh Abdurrahman Siddik ini datang ke Pulau Bangka
tepatnya di Muntok pada dekade setelah 1860-an.
Dakwah Islam di Pulau Bangka yang dilakukan oleh ulama
Banjar pada pertengahan abad XIX atau sekitar tahun 1860-an, berawal dari
peristiwa jatuhnya Kesultanan Banjar di tangan pemerintah Hindia Belanda
sekitar tahun 1859. Hegemoni kekuasaan kolonial pada masa itu tidak saja
meruntuhkan Kesultanan Banjar secara politik maupun ekonomi, namun turut pula
menciptakan kekacauan dan rasa tidak aman bagi rakyat Banjar. Khususnya para
ulama dan orang-orang kesultanan yang tidak mau tunduk dengan pemerintah
Belanda, terus dikejar dan dibunuh.
Berdasarkan catatan Zulkifli, runtuhnya Kesultanan Banjar
yang sebelumnya telah menggantikan kedudukan Kesultanan Palembang sebagai pusat
kebudayaan dan intelektual Islam di nusantara akibat pendudukan
pemerintah Hindia Belanda ini, membawa pengaruh yang besar terhadap
perkembangan Islam di Bangka. Rasa tidak aman rakyat Banjar dan ulama-ulamanya
akibat penindasan pemerintah Hindia Belanda ini, membuat sebagian mereka
memilih meninggalkan tanah kelahiran mereka (hijrah). Salah satu tempat yang
dipilih untuk hijrah dan bermukim adalah Pulau Bangka. Pada masa itu tercatat
nama H Muhammad Afif bersama istri mudanya Sofiyah binti H Muhammad Qasim dan
tiga orang putranya, memilih bermukim di salah satu tempat yang strategis di
Pulau Bangka yakni Kota Muntok.
Alasan mengapa H Muhammad Afif memilih melakukan penyebaran
atau dakwah Islam di Pulau Bangka, tidak mendapat penjelasan rinci dalam
Seminar Sejarah Masuknya Islam di Bangka Belitung. Namun boleh jadi
kedatangan H Muhammad Afif ini disebabkan karena wilayah Pulau Bangka pada masa
itu masih terbilang aman dari penindasan kolonial (Belanda). Tidak seperti di
Banjar dimana pada saat itu para ulama dan orang-orang yang terkait dengan
Kesultanan Banjar diuber-uber bahkan dibunuh oleh Belanda. Tidak menutup
kemungkinan pula kalau kedatangan H Muhammad Afif di Pulau Bangka adalah untuk
meneruskan dakwah Islam yang sebelumnya sudah dilakukan oleh sejumlah ulama
Banjar terdahulu. Kemungkinan seperti ini (melanjutkan dakwah ulama-ulama
terdahulu) bisa saja terjadi mengingat masih banyak ulama-ulama penyebar Islam
pada fase awal masuknya Islam di Pulau Bangka yang diyakini belum
tercantum dalam data dan garapan tentang sejarah Islam di Bangka Belitung.
Salah satunya adalah Atok Ning (Ningrat?) ulama Banten yang
menyebarkan Islam di Bangka yang wafat dan dimakamkan di Desa Air Duren
Kecamatan Mendobarat. Oleh sebagian orang, ulama yang satu ini disebut-sebut
sebagai ulama pertama yang melakukan dakwah Islam di Mendobarat sekaligus
sebagai penggagas dan pendiri masjid pertama untuk melaksanakan Sholat Jumat di
Mendobarat yang sekarang bernama Masjid Mardhiatul Jannah di Desa Air Duren.
Namun belum ditemukan data akurat apakah Atok Ning melakukan dakwah Islam di
Air Duren ini sebelum masuknya Kesultanan dan Ulama Banten di Pulau
Bangka ataukah sesudahnya. Kemungkinan seperti ini bisa pula terjadi pada
ulama-ulama Banjar yang menyebarkan Islam di Pulau Bangka.
Seperti ulama-ulama sebelumnya, selama menetap di Muntok H
Muhammad Afif gencar melakukan dakwah Islam. Di zaman itu, nama ulama ini pun
makin tersohor di wilayah Pulau Bangka. Bahkan, menurut Zulkifli, berkat kerja
keras KH Muhammad Afif inilah yang membuat proses islamisasi di Bangka
berlangsung cepat di masa itu.
Di penghujung abad XIX atau sekitar tahun 1898-1899, salah
seorang putra H Muhammad Afif yakni Syaikh Abdurrahman Siddik datang ke Muntok
dan menggantikan posisi ayahnya mengajarkan pendidikan Islam dan dakwah
di Muntok.
Kedatangan ulama yang membawa ajaran tarekat Samaniah dengan
salah satu karya yang terkenal yakni Amal Ma’rifat ini, belakangan,
sangat memberi pengaruh besar terhadap pertumbuhan Islam di Bangka Belitung
pada priode itu bahkan hingga sekarang.
Perkembangan Islam di pulau Bangka akhir abad 19 dan awal 20
ditandai dengan munculnya ulama kharismatik, Syaikh Abdurrahman Siddik yang
disebut-sebut sebagai tokoh peletak fundamental pengembangan ajaran Islam.
Hasil penelusuran dari beberapa literatur dan keterangan
yang disampaikan secara lisan, kedatangan Syaikh Abdurrahman Siddik ke Pulau
Bangka setidaknya mengemban dua misi. Pertama untuk bersilaturrahmi kepada
ayahnya H Muhammad Afif dan menyebarkan dakwah serta pendidikan Islam
sebagai salah satu jihad dan kekuatan melawan kolonialisme pada masa itu.
Dakwah yang dilakukan Syaikh Abdurrahman Siddik tidak saja
terpusat di Muntok. Selanjutnya meluas hingga Kundi, Kotawaringin,
Pudingbesar, Mendobarat (yang berpusat di Kemuja), Sungaiselan, Belinyu dan
sejumlah tempat lainnya.
Selain merujuk pada kitab-kitab yang dipelajari dari
guru-gurunya, Syaikh Abdurrahman Siddik juga aktif menulis kitab sebagai bahan
ajar. Setidaknya, selama berada di Bangka, menurut Zulkifli, Syaikh Abdurrahman
Siddik telah menulis sembilan kitab masing-masing Jadwal Sifat Dua Puluh dan
Tadzkirah li Nafs wa li Amsal yang ditulis di Belinyu, Pelajaran Kanak-kanak
ditulis di Kemuja, Syarah Sittin Masalah dan Jurumiyah di Sungaiselan, Asrar
al-Shalah min Iddah Kutub al-Mu’tamaddah, Syair Ibrah dan Khabar Qiyamah
di Muntok serta Fath al-Alim fi Tartib al-Ta’lim di Kundi. Kebanyak kitab-kitab
tersebut dicetak di Mathba’ah Ahmadiyah Singapura.
Berdasarkan sejumlah keterangan lisan, untuk lebih
memperdalam ilmu agama yang telah ia ajarkan, Syaikh Abdurrahman Siddik menganjurkan
murid-muridnya (khususnya di Kemuja) untuk menuntut ilmu (naon) di Mekkah.
Mereka inilah (murid-murid Syaikh Abdurrahman Siddik yang naon di Mekkah) yang
nantinya akan melanjutkan dakwah dan ajaran Syaikh Abdurrahman Siddik di Desa
Kemuja yang dikemas dan dikelola dalam bentuk madrasah (warga setepat
menyebutnya dengan sebutan Sekolah Arab) hingga menjadi pesantren yakni
Pesantren Al Islam Kemuja.
Sekitar tahun 1912 M, Syaikh Abdurrahman Siddik meninggalkan
Pulau Bangka dan melanjutkan dakwah Islam ke beberapa tempat di Sumatera hingga
wafatnya di Riau tepatnya di Kampung Hidayat, Sapat, Indragiri tahun 1939.
Sedangkan dakwah Islam yang diajarkan beliau selama di Bangka terus
dikembangkan oleh para murid dan keturunannya sehingga dikenal luas seantereo
Bangka Belitung.
Hingga menjelang pertengahan abad XX atau sekitar dekade
1940-an, dakwah dengan sistem pengajian di rumah-rumah penduduk oleh ulama
Banjar, masih berlangsung di Pulau Bangka. Salah satu ulama dimaksud
yakni KH Mansyur Al Banjari yang menetap di Desa Petaling Kecamatan Mendobarat.
Sumber referensi :
http://aladamyarrantawie.blogspot.com/2012/12/islam-di-bangka-petaling-belitung.html
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/ramadan/ramadan_detail/2013/07/10/54479/Lewat-Dagang-dan-Penumpasan-Lanun-Islamisasi-di-Bangka
http://kota-islam.blogspot.com/2014/01/sejarah-masuk-islam-di-bangka-belitung.html
0 #type=(blogger):
Posting Komentar