DESENTRALISASI KEBIJAKAN EKONOMI
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam praktek kehidupan bernegara, sentralisasi dan desentralisasi adalah sebuah kontinuum. Tidak ada sebuah negara yang secara penuh hanya menggunakan azas sentralisasi saja dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sebaliknya juga tidak mungkin penyelenggaraan pemerintahan hanya didasarkan pada azas desentralisasi saja. Beberapa kewenangan klasik memang lazimnya hanya dilakukan secara sentralisasi seperti kewenangan luar negeri, kewenangan pertahanan dan kewenangan peradilan. Meskipun dalam prakteknya juga terdapat azas dekonsentrasi ang merupakan
penghalusan dari azas sentralisasi. Titik temu keseimbangan antara sentralisasi dan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, dan aspek pembagian (perimbangan) sumberdaya keuangan. Sesuai dengan semangat reformasi yang terjadi pada tahun 1998, format penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia juga mengalami perubahan dari pendulum sentralisasi ke pendulum desentralisasi.
Hal ini dapat dianalisis misalnya dari format pembagian kewenangan yang berpola residu dan peletakkan lokus otonomi daerah pada tingkat kabupaten/kota. Hal ini dianut secara tajam di dalam UU 22 tahun 1999, dan mengalami pergeseran kembali di dalam UU 32 tahun 2004. Berbagai kewenangan yang semula dimiliki oleh pemerintah pusat dan propinsi diserahkan kepada daerah kabupaten/kota. Sesuai dengan tujuannnya, maka penguatan otonomi daerah di tingkat kabupaten/kota dimaksudkan untuk meningkatkan demokrasi partisipatif (participatory democracy) dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dengan kewenangan yang dimiliki, kabupaten/kota dapat menentukan sendiri prioritas pembangunan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berbagai Peraturan Daerah yang semula harus disetujui oleh pemerintah pusat terlebih dahulu, dapat ditetapkan oleh Kepala Daerah secara mandiri. Hal yang sama juga terjadi di berbagai perizinan investasi, hal mana daerah dapat menetapkan dan memberikan izin tanpa persetujuan dari pemerintah pusat. Dengan otonomi daerah diharapkan prosedur investasi akan semakin mudah sehingga potensi daerah dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri
berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara
kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka munculnya
otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya
adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan
sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali
dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi
sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa desentralisasi berhubungan
dengan otonomi daerah. Sebab, otonomi daerah merupakan kewenangan suatu
daerah untuk menyusun, mengatur, dan mengurus daerahnya sendiri tanpa
ada campur tangan serta bantuan dari pemerintah pusat. Jadi dengan
adanya desentralisasi, maka akan berdampak positif pada pembangunan
daerah-daerah yang tertinggal dalam suatu negara. Agar daerah tersebut
dapat mandiri dan secara otomatis dapat memajukan pembangunan nasional.
Machfud Siddik (2002) menulis, desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi, akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.
Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas:
Machfud Siddik (2002) menulis, desentralisasi merupakan sebuah instrumen untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan publik yang lebih demokratis. Dengan desentralisasi, akan diwujudkan dalam pelimpahan kewenangan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah untuk melakukan pembelanjaan, kewenangan untuk memungut pajak (taxing power), terbentuknya Dewan yang dipilih oleh rakyat, Kepala Daerah yang dipilih oleh DPRD, dan adanya bantuan dalam bentuk transfer dari Pemerintah Pusat.
Secara umum, konsep desentralisasi terdiri atas:
§ Desentralisasi Politik (Political Decentralization);
§ Desentralisasi Administratif (Administrative Decentralization);
§ Desentralisasi Fiskal (Fiscal Decentralization); dan
§ Desentralisasi Ekonomi (Economic or Market Decentralization
Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Kerangka pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsiprovinsi yang lebih lanjut dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimilikinya. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah menuju pengelolaan keuangan negara yang efisien, sebagian urusan pemerintahan. Penyerahan urusan pemerintahan tersebut sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat telah diserahkan kepada daerah yang diikuti dengan pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya keuangan melalui kebijakan
Kebijakan Desentralisasi Fiskal
Kerangka pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal dimulai dari Undang-Undang Dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsiprovinsi yang lebih lanjut dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban untuk mengatur dan melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimilikinya. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah menuju pengelolaan keuangan negara yang efisien, sebagian urusan pemerintahan. Penyerahan urusan pemerintahan tersebut sebelumnya menjadi kewenangan pemerintah pusat telah diserahkan kepada daerah yang diikuti dengan pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengelola sumber daya keuangan melalui kebijakan
Desentralisasi fiskal. Kebijakan desentralisasi fiskal selain diarahkan pada sisi pendapatan daerah, juga diarahkan pada sisi pengeluaran daerah.
Dari sisi pendapatan daerah, sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kepada daerah telah diberikan kewenangan yang lebih luas untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan prinsip-prinsip pungutan daerah yang baik. Daerah juga diberikan kewenangan untuk melakukan kebijakan pengenaan pajak dan retribusi, pengelolaan pajak pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah, dan penambahan jenis pajak baru guna memperluas basis pajak di daerah. Implementasi pengalihan pajak pusat menjadi pajak daerah merupakan salah satu proses penting dalam pengelolaan pajak daerah. Sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2009, Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang sebelumnya dikelola sebagai pajak pusat, telah dialihkan kepada daerah sejak Januari 2011. Sementara pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dilaksanakan paling lambat tahun 2014.
Dalam tiga tahun terakhir, anggaran Transfer ke Daerah yang dialokasikan dalam APBN relatif besar, yakni mencapai rata-rata sekitar 30 persen dari Belanja Negara. Transfer ke Daerah tersebut terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus), serta Penyesuaian. Dana Perimbangan yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dialokasikan kepada daerah dalam satu kesatuan system transfer dana dari Pemerintah kepada Pemda guna mengurangi ketimpangan sumber pendanaan antara pusat dan daerah (vertical imbalance) dan mengurangi kesenjangan pendanaan urusan pemerintahan antardaerah (horizontal imbalance). Sementara Dana Otsus dan Penyesuaian dialokasikan untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus di Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, serta untuk mendanai program yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan, antara lain, melalui pemberian Tunjangan Profesi Guru PNSD, Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD, dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Secara umum, kebijakan alokasi anggaran Transfer ke Daerah antara lain diarahkan untuk:
- meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, serta antardaerah,
- menyelaraskan kebutuhan pendanaan di daerah sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan,
- meningkatkan kualitas pelayanan public di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah,
- meningkatkan kemampuan daerah dalam mendorong perekonomian daerah,
- mendukung kesinambungan fiskal nasional,
- meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, dan
- meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan rencana pembangunan daerah.
Guna melengkapi sumber pendanaan APBD, daerah juga dapat memanfaatkan
pendanaan dari pinjaman daerah dan hibah daerah. Pinjaman daerah dapat
berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lainnya, lembaga
keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank, serta masyarakat melalui
penerbitan obligasi daerah. Pemerintah daerah tidak dapat melakukan
pinjaman langsung kepada pihak luar negeri, kecuali dalam hal pinjaman
langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi
obligasi daerah di pasar modal domestik. Pinjaman daerah dapat
digunakan untuk mendanai kegiatan yang merupakan inisiatif dan
kewenangan daerah dan/atau untuk menutup kekurangan kas daerah. Namun,
mengingat peranannya hanya sebagai salah satu sumber pembiayaan daerah,
maka pinjaman harus dapat dikelola dengan baik berdasarkan kriteria,
persyaratan, dan mekanisme yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Selain itu, pinjaman juga harus dapat dikendalikan
sesuai dengan batas-batas yang tidak memberikan dampak negatif terhadap
APBD serta perekonomian daerah dan nasional. Sementara itu, hibah dari
pemerintah pusat digunakan untuk mendanai penyelenggaraan urusan yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah khususnya yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik. Selain anggaran Transfer ke Daerah
yang dialokasikan dan disalurkan ke daerah sebagai penerimaan APBD, juga
terdapat beberapa jenis dana APBN yang dialokasikan melalui anggaran
kementerian/lembaga untuk mendanai beberapa kegiatan di daerah. Dana
dari kementerian/lembaga tersebut antara lain berupa dana dekonsentrasi
dan tugas pembantuan, dana dalam rangka pelaksanaan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan dana untuk pelaksanaan berbagai
jenis subsidi, yang pengelolaan dilaksanakan oleh kementerian/lembaga
terkait dan tidak menjadi bagian dari penerimaan APBD. Secara
keseluruhan, dana APBN yang digunakan untuk mendanai kegiatan di daerah,
baik berupa Transfer ke Daerah maupun anggaran dari
kementerian/lembaga, jumlahnya saat ini hamper mencapai 60 persen dari
total belanja dalam APBN. Adanya alokasi dana Transfer ke Daerah dan
pemberian diskresi kepada daerah untuk mengelola perpajakan daerah,
pinjaman dan hibah daerah tersebut menunjukkan kuatnya komitmen
Pemerintah untuk melaksanakan desentralisasi fiskal. Komitmen Pemerintah
tersebut harus diimbangi dengan kesungguhan dari Pemda untuk mengelola
APBD secara sehat berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik dengan
mengedepankan akuntabilitas dari segenap aparatur pemerintahan di
daerah. Ekspansi APBD karena meningkatnya sumber-sumber pendanaan harus
diikuti dengan perbaikan kualitas belanja daerah (quality of spending),
sehingga sumber-sumber dana yang ada dapat dimanfaatkan untuk mendanai
program dan kegiatan yang mempunyai nilai tambah yang besar bagi
masyarakat.
Manfaat Dan Kelemahan Disentralisasi Fiskal
Menurut Bahl (2008), terdapat dua manfaat dan empat kelemahan desentralisasi fiskal.
Manfaat desentralisasi fiskal adalah:
Manfaat Dan Kelemahan Disentralisasi Fiskal
Menurut Bahl (2008), terdapat dua manfaat dan empat kelemahan desentralisasi fiskal.
Manfaat desentralisasi fiskal adalah:
- Efisiensi ekonomis. Anggaran daerah untuk pelayanan publik bisa lebih mudah disesuaikan dengan preferensi masyarakat setempat dengan tingkat akuntabilitas dan kemauan bayar yang tinggi.
- Peluang meningkatkan penerimaan pajak dari pajak daerah. Pemerintah daerah bisa menarik pajak dengan basis konsumsi dan aset yang tidak bisa ditarik oleh pemerintah Pusat.
Sedangkan kelemahannya adalah:
- Lemahnya kontrol pemerintah pusat terhadap ekonomi makro.
- Sulitnya menerapkan kebijakan stabilitas ekonomi.
- Sulitnya menerapkan kebijakan pembangunan ekonomi dengan pemerataan.
- Besarnya biaya yang harus ditanggung pemerintah daerah daripada keuntungan yang didapat.
Manfaat Penerapan Desentralisasi Di Indonesia
- Desentralisasi akan lebih mampu menyukseskan tujuan-tujuan pembangunan lewat pemberian hak kontrol kepada masyarakat yang memiliki informasi dan insentif untuk membuat keputusan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
- Pemberian tanggung jawab dan kewenangan yang lebih kepada daerah dapat meningkatkan kualitas dan efisiensi dari layanan publik
Pelaksanaan Kebijakan Transfer ke Daerah
Sejak dimulainya otonomi daerah tahun 2001, implementasi kebijakan desentralisasi fiscal telah mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Perkembangan tersebut disesuaikan dengan tujuan, kondisi, dan dinamika dari otonomi daerah. Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah kebijakan Transfer ke Daerah. Pada tahun tahun 2012, kebijakan Transfer ke Daerah dilaksanakan melalui sistem pendanaan yang lebih memperhatikan aspek kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah dan antardaerah, pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, kualitas dan kesenjangan pelayanan publik antardaerah, pengembangan potensi ekonomi daerah, efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah, percepatan pembangunan di daerah tertingal, terluar, terdepan, dan pasca konflik. Sistem pendanaan tersebut berupa alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam APBN, yang terdiri atas: (1) Dana Perimbangan, yakni DBH, DAU, dan DAK, dan (2) Dana Otsus dan Penyesuaian. DBH dialokasikan kepada daerah berdasarkan pendapatan APBN guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH bersumber dari penerimaan negara yang dibagihasilkan, yakni berupa penerimaan pajak dan penerimaan sumber daya alam. DBH pajak terdiri atas pajak penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) dan pajak penghasilan Pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh Pasal 25/29), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Cukai Hasil Tembakau (CHT). Sedangkan DBH SDA terdiri atas kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, gas bumi dan panas bumi. DAU dialokasikan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan jumlah keseluruhan DAU (DAU nasional) yang secara final ditetapkan dalam APBN, yakni sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Proporsi DAU untuk provinsi ditetapkan sebesar 10 persen dan untuk kabupaten/kota sebesar 90 persen. Sementara itu, DAK dialokasikan untuk membantu daerah dalam mendanai program/ kegiatan yang menjadi kewenangan daerah dan menjadi prioritas nasional.
Tujuannya agar daerah dapat menyediakan infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik secara memadai sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum masing-masing bidang. DAK dialokasikan berdasarkan tiga kriteria, yakni: (1) Kriteria Umum, yang dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah; (2) Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan (3) Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK, yang dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri teknis terkait. Kriteria-kriteria tersebut tidak membatasi adanya cakupan bidang yang akan didanai dari DAK, sehingga dalam perkembangannya bidang-bidang yang didanai DAK cenderung bertambah/berubah dari tahun ke tahun, yakni dari 9 bidang tahun 2006 menjadi 19 bidang tahun 2012. Dengan makin bertambahnya bidang DAK, maka tujuan alokasinya juga makin melebar, sehingga tidak sesuai dengan filosofi awal, yakni sebagai dana spesific grant yang diarahkan untuk membantu daerah dalam mempercepat penyediaan infrastruktur pelayanan publik di daerah.
Untuk itu, ke depan perlu dilakukan reformulasi terhadap DAK, termasuk mengatur percepatan pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah menjadi DAK. Hal ini perlu dilakukan karena sesuai hasil audit BPK, sebagian anggaran kementerian/lembaga masih digunakan untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Namun, anggaran tersebut tidak bisa segera dialihkan menjadi DAK karena adanya beberapa permasalahan/hambatan, antara lain apabila dialihkan menjadi DAK dikawatirkan kementerian/lembaga tidak lagi punya kendali operasional atas pelaksanaan kegiatan di daerah, beban daerah menjadi berat karena adanya kewajiban untuk menyediakan dana pendamping, dan adanya sebagian kegiatan nonfisik yang tidak bisa dilaksanakan karena DAK lebih diarahkan untuk mendanai kegiatan fisik.
Pada tahun 2012, prioritas kebijakan terkait dengan alokasi DAK diarahkan untuk mempersiapkan pengalihan sebagian program/ kegiatan yang sebelumnya dilaksanakan oleh kementerian/lembaga menjadi program/kegiatan yang dilaksanakan oleh daerah. Dengan pengalihan tersebut, maka dana-dana yang selama ini dikelola oleh kementerian/lembaga untuk mendanai urusan pemerintahan yang sudah menjadi kewenangan daerah dapat dialokasikan ke daerah dalam bentuk DAK atau dana transfer lainnya. Selain ketiga jenis dana tersebut, dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Papua jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam APBN juga dialokasikan anggaran Dana Otsus. Alokasi Dana Otsus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat besarnya adalah setara dengan 2 persen dari pagu DAU Nasional, dengan pembagian 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat. Selain Dana Otsus, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan Infrastruktur yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55 persen dan 40 persen dari PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Dana Otsus Provinsi Aceh berlaku untuk jangka waktu 20 tahun sejak 2008, dan alokasinya dibedakan menjadi dua, yakni: (1) untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas, besarnya setara dengan 2 persen plafon DAU Nasional, dan (2) untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarnya setara dengan 1 persen plafon DAU Nasional. Selanjutnya, tambahan porsi DBH SDA Migas dalam rangka Otsus besarnya sama dengan untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yakni masing-masing sebesar 55 persen dan 40 persen dari PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Sementara itu, Dana Penyesuaian dialokasikan dalam rangka mendukung pelaksanaan system pendidikan nasional dan percepatan pengadaan infrastruktur sarana dan prasarana di daerah.
Sesuai dengan kebijakan APBN, cakupan Dana Penyesuaian telah mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 Dana Penyesuaian dianggarkan dalam bentuk Dana Penyeimbang yang diberikan kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima tahun sebelumnya (prinsip non-holdharmless). Namun, kebijakan non-holdharmless tersebut dihapuskan pada tahun 2009, sehingga Dana Penyesuaian pada tahun 2009 menampung alokasi dana untuk mendanai program-program tertentu di bidang infrastruktur untuk jangka waktu tertentu (ad hoc). Nomenklatur komponen Dana Penyesuaian untuk infrastruktur berubah-ubah dalam beberapa tahun anggaran, sedangkan komponen Dana Penyesuaian yang dialokasikan terkait dengan bidang pendidikan nomenklaturnya tetap. Pada tahun 2009, komponen Dana Penyesuaian terdiri atas Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF dan PPD), Dana Tambahan DAU, Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD dan Kurang Bayar DAK dan Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana dan Prasarana. Tahun 2010 dana penyesuaian untuk infrastruktur berubah menjadi Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD), Dana Percepatan Pembangunan Infrstruktur Pendidikan (DPPIP), dan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF-PPD), dan tahun 2011 berubah lagi menjadi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID). Pada tahun 2012, Dana Penyesuaian hanya dialokasikan untuk program yang terkait dengan pendidikan, yakni Bantuan Operasional Sekolah, Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan Penghasilan Guru, Dana Insentif Daerah, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi.
Dengan adanya pos Dana Penyesuaian dalam APBN maka cakupan dana yang dialokasikan kepada daerah makin bertambah banyak, sehingga melampaui ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Guna menghadapi dinamika tersebut maka perlu dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, antara lain dengan menambahkan ketentuan yang terkait dengan reformulasi cakupan Dana Perimbangan, penyempurnaan DBH dengan lebih menekankan pada pelaksanaan prinsip by origin, dan penguatan peran gubernur dalam pembagian DBH kepada kabupaten/kota di wilayahnya. Anggaran Transfer ke Daerah yang telah dialokasikan dalam APBN, disalurkan ke daerah dengan memperhatikan ketersediaan kas negara, kebutuhan kas daerah, dan tujuan dari masing-masing jenis dana. DBH disalurkan secara triwulanan dengan memperhitungkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan. DAU disalurkan ke daerah setiap bulan, yakni sebesar seperduabelas dari alokasi DAU untuk masing-masing daerah setelah daerah menyampaikan Perda APBD. DAK disalurkan dalam tiga tahap berdasarkan komitmen daerah dan kemampuan daerah dalam merealisasikan kegiatan dan penyerapan dana. Untuk itu daerah diwajibkan untuk menyampaikan Perda APBD, kesediaan penyediaan dana pendamping, dan laporan penyerapan dana sebagai dasar penyaluran DAK. Dana Otsus juga disalurkan secara bertahap, sedangkan Dana Penyesuaian yang terkait dengan bidang pendidikan, yakni Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan Penghasilan Guru, dan BOS disalurkan secara triwulanan agar dapat digunakan untuk mendanai kegiatan yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan, termasuk pembayaran tunjangan kepada guru PNSD.
Khusus untuk dana BOS, pola penyalurannya pada tahun 2012 telah disederhanakan, yakni langsung dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah provinsi, untuk selanjutnya diteruskan oleh provinsi ke satuan pendidikan dasar di kabupaten/kota dalam bentuk hibah. Sedangkan pada tahun sebelumnya BOS disalurkan dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah kabupaten/kota, dan selanjutnya disalurkan ke masing-masing sekolah. Mengingat dana Transfer ke Daerah mempunyai peranan yang penting bagi APBD, maka mekanisme dan pola penyalurannya terus diperbaiki dari tahun ke tahun. Pada periode sebelum tahun 2008, saat dana yang dialokasikan ke daerah mempunyai nomenklatur belanja untuk daerah, pola penyalurannya dilaksanakan per daerah melalui kantor pembayaran di masingmasing daerah. Namun, setelah nomenklaturnya berubah menjadi Transfer ke Daerah pada tahun 2008, dana tersebut disalurkan secara langsung dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah. Perubahan tersebut telah memberikan dampak positif terhadap pengelolaan keuangan daerah, antara lain berupa percepatan penyelesaian Perda APBD, pelaksanaan treasury single account, adanya kepastian terhadap penerimaan kas daerah, percepatan pelaksanaan kegiatan/belanja daerah, dan berkurangnya sisa dana pada akhir tahun anggaran.
Pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Salah satu instrumen dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power). Kebijakan taxing power kepada daerah dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009, dimana dalam UU tersebut antara lain diatur:
Sejak dimulainya otonomi daerah tahun 2001, implementasi kebijakan desentralisasi fiscal telah mengalami perkembangan dari tahun ke tahun. Perkembangan tersebut disesuaikan dengan tujuan, kondisi, dan dinamika dari otonomi daerah. Salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiskal adalah kebijakan Transfer ke Daerah. Pada tahun tahun 2012, kebijakan Transfer ke Daerah dilaksanakan melalui sistem pendanaan yang lebih memperhatikan aspek kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah dan antardaerah, pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, kualitas dan kesenjangan pelayanan publik antardaerah, pengembangan potensi ekonomi daerah, efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional, sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional dan daerah, percepatan pembangunan di daerah tertingal, terluar, terdepan, dan pasca konflik. Sistem pendanaan tersebut berupa alokasi anggaran Transfer ke Daerah dalam APBN, yang terdiri atas: (1) Dana Perimbangan, yakni DBH, DAU, dan DAK, dan (2) Dana Otsus dan Penyesuaian. DBH dialokasikan kepada daerah berdasarkan pendapatan APBN guna mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH bersumber dari penerimaan negara yang dibagihasilkan, yakni berupa penerimaan pajak dan penerimaan sumber daya alam. DBH pajak terdiri atas pajak penghasilan Pasal 21 (PPh Pasal 21) dan pajak penghasilan Pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (PPh Pasal 25/29), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Cukai Hasil Tembakau (CHT). Sedangkan DBH SDA terdiri atas kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, gas bumi dan panas bumi. DAU dialokasikan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antardaerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. DAU dialokasikan untuk provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan jumlah keseluruhan DAU (DAU nasional) yang secara final ditetapkan dalam APBN, yakni sekurang-kurangnya 26 persen dari Pendapatan Dalam Negeri (PDN) neto. Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Proporsi DAU untuk provinsi ditetapkan sebesar 10 persen dan untuk kabupaten/kota sebesar 90 persen. Sementara itu, DAK dialokasikan untuk membantu daerah dalam mendanai program/ kegiatan yang menjadi kewenangan daerah dan menjadi prioritas nasional.
Tujuannya agar daerah dapat menyediakan infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik secara memadai sesuai dengan Standar Pelayanan Minimum masing-masing bidang. DAK dialokasikan berdasarkan tiga kriteria, yakni: (1) Kriteria Umum, yang dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja Pegawai Negeri Sipil Daerah; (2) Kriteria Khusus, yang dirumuskan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah; dan (3) Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK, yang dirumuskan melalui indeks teknis oleh menteri teknis terkait. Kriteria-kriteria tersebut tidak membatasi adanya cakupan bidang yang akan didanai dari DAK, sehingga dalam perkembangannya bidang-bidang yang didanai DAK cenderung bertambah/berubah dari tahun ke tahun, yakni dari 9 bidang tahun 2006 menjadi 19 bidang tahun 2012. Dengan makin bertambahnya bidang DAK, maka tujuan alokasinya juga makin melebar, sehingga tidak sesuai dengan filosofi awal, yakni sebagai dana spesific grant yang diarahkan untuk membantu daerah dalam mempercepat penyediaan infrastruktur pelayanan publik di daerah.
Untuk itu, ke depan perlu dilakukan reformulasi terhadap DAK, termasuk mengatur percepatan pengalihan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang digunakan untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah menjadi DAK. Hal ini perlu dilakukan karena sesuai hasil audit BPK, sebagian anggaran kementerian/lembaga masih digunakan untuk mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Namun, anggaran tersebut tidak bisa segera dialihkan menjadi DAK karena adanya beberapa permasalahan/hambatan, antara lain apabila dialihkan menjadi DAK dikawatirkan kementerian/lembaga tidak lagi punya kendali operasional atas pelaksanaan kegiatan di daerah, beban daerah menjadi berat karena adanya kewajiban untuk menyediakan dana pendamping, dan adanya sebagian kegiatan nonfisik yang tidak bisa dilaksanakan karena DAK lebih diarahkan untuk mendanai kegiatan fisik.
Pada tahun 2012, prioritas kebijakan terkait dengan alokasi DAK diarahkan untuk mempersiapkan pengalihan sebagian program/ kegiatan yang sebelumnya dilaksanakan oleh kementerian/lembaga menjadi program/kegiatan yang dilaksanakan oleh daerah. Dengan pengalihan tersebut, maka dana-dana yang selama ini dikelola oleh kementerian/lembaga untuk mendanai urusan pemerintahan yang sudah menjadi kewenangan daerah dapat dialokasikan ke daerah dalam bentuk DAK atau dana transfer lainnya. Selain ketiga jenis dana tersebut, dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi khusus di Aceh dan Papua, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus Papua jo. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam APBN juga dialokasikan anggaran Dana Otsus. Alokasi Dana Otsus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat besarnya adalah setara dengan 2 persen dari pagu DAU Nasional, dengan pembagian 70 persen untuk Provinsi Papua dan 30 persen untuk Provinsi Papua Barat. Selain Dana Otsus, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan Infrastruktur yang besarnya disesuaikan dengan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55 persen dan 40 persen dari PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Dana Otsus Provinsi Aceh berlaku untuk jangka waktu 20 tahun sejak 2008, dan alokasinya dibedakan menjadi dua, yakni: (1) untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas, besarnya setara dengan 2 persen plafon DAU Nasional, dan (2) untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh, besarnya setara dengan 1 persen plafon DAU Nasional. Selanjutnya, tambahan porsi DBH SDA Migas dalam rangka Otsus besarnya sama dengan untuk Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, yakni masing-masing sebesar 55 persen dan 40 persen dari PNBP SDA Minyak Bumi dan Gas Bumi yang berasal dari wilayah provinsi yang bersangkutan. Sementara itu, Dana Penyesuaian dialokasikan dalam rangka mendukung pelaksanaan system pendidikan nasional dan percepatan pengadaan infrastruktur sarana dan prasarana di daerah.
Sesuai dengan kebijakan APBN, cakupan Dana Penyesuaian telah mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2007 Dana Penyesuaian dianggarkan dalam bentuk Dana Penyeimbang yang diberikan kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari tahun sebelumnya, sehingga DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima tahun sebelumnya (prinsip non-holdharmless). Namun, kebijakan non-holdharmless tersebut dihapuskan pada tahun 2009, sehingga Dana Penyesuaian pada tahun 2009 menampung alokasi dana untuk mendanai program-program tertentu di bidang infrastruktur untuk jangka waktu tertentu (ad hoc). Nomenklatur komponen Dana Penyesuaian untuk infrastruktur berubah-ubah dalam beberapa tahun anggaran, sedangkan komponen Dana Penyesuaian yang dialokasikan terkait dengan bidang pendidikan nomenklaturnya tetap. Pada tahun 2009, komponen Dana Penyesuaian terdiri atas Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF dan PPD), Dana Tambahan DAU, Dana Tambahan Penghasilan Guru PNSD dan Kurang Bayar DAK dan Dana Penyesuaian Infrastruktur Sarana dan Prasarana. Tahun 2010 dana penyesuaian untuk infrastruktur berubah menjadi Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah (DPIPD), Dana Percepatan Pembangunan Infrstruktur Pendidikan (DPPIP), dan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF-PPD), dan tahun 2011 berubah lagi menjadi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) dan Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (DPPID). Pada tahun 2012, Dana Penyesuaian hanya dialokasikan untuk program yang terkait dengan pendidikan, yakni Bantuan Operasional Sekolah, Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan Penghasilan Guru, Dana Insentif Daerah, dan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi.
Dengan adanya pos Dana Penyesuaian dalam APBN maka cakupan dana yang dialokasikan kepada daerah makin bertambah banyak, sehingga melampaui ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Guna menghadapi dinamika tersebut maka perlu dilakukan revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, antara lain dengan menambahkan ketentuan yang terkait dengan reformulasi cakupan Dana Perimbangan, penyempurnaan DBH dengan lebih menekankan pada pelaksanaan prinsip by origin, dan penguatan peran gubernur dalam pembagian DBH kepada kabupaten/kota di wilayahnya. Anggaran Transfer ke Daerah yang telah dialokasikan dalam APBN, disalurkan ke daerah dengan memperhatikan ketersediaan kas negara, kebutuhan kas daerah, dan tujuan dari masing-masing jenis dana. DBH disalurkan secara triwulanan dengan memperhitungkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan. DAU disalurkan ke daerah setiap bulan, yakni sebesar seperduabelas dari alokasi DAU untuk masing-masing daerah setelah daerah menyampaikan Perda APBD. DAK disalurkan dalam tiga tahap berdasarkan komitmen daerah dan kemampuan daerah dalam merealisasikan kegiatan dan penyerapan dana. Untuk itu daerah diwajibkan untuk menyampaikan Perda APBD, kesediaan penyediaan dana pendamping, dan laporan penyerapan dana sebagai dasar penyaluran DAK. Dana Otsus juga disalurkan secara bertahap, sedangkan Dana Penyesuaian yang terkait dengan bidang pendidikan, yakni Tunjangan Profesi Guru, Dana Tambahan Penghasilan Guru, dan BOS disalurkan secara triwulanan agar dapat digunakan untuk mendanai kegiatan yang terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan, termasuk pembayaran tunjangan kepada guru PNSD.
Khusus untuk dana BOS, pola penyalurannya pada tahun 2012 telah disederhanakan, yakni langsung dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah provinsi, untuk selanjutnya diteruskan oleh provinsi ke satuan pendidikan dasar di kabupaten/kota dalam bentuk hibah. Sedangkan pada tahun sebelumnya BOS disalurkan dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah kabupaten/kota, dan selanjutnya disalurkan ke masing-masing sekolah. Mengingat dana Transfer ke Daerah mempunyai peranan yang penting bagi APBD, maka mekanisme dan pola penyalurannya terus diperbaiki dari tahun ke tahun. Pada periode sebelum tahun 2008, saat dana yang dialokasikan ke daerah mempunyai nomenklatur belanja untuk daerah, pola penyalurannya dilaksanakan per daerah melalui kantor pembayaran di masingmasing daerah. Namun, setelah nomenklaturnya berubah menjadi Transfer ke Daerah pada tahun 2008, dana tersebut disalurkan secara langsung dari rekening kas negara ke rekening kas umum daerah. Perubahan tersebut telah memberikan dampak positif terhadap pengelolaan keuangan daerah, antara lain berupa percepatan penyelesaian Perda APBD, pelaksanaan treasury single account, adanya kepastian terhadap penerimaan kas daerah, percepatan pelaksanaan kegiatan/belanja daerah, dan berkurangnya sisa dana pada akhir tahun anggaran.
Pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Salah satu instrumen dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak (taxing power). Kebijakan taxing power kepada daerah dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 28 Tahun 2009, dimana dalam UU tersebut antara lain diatur:
1. Perubahan penetapan pajak daerah dan retribusi daerah dari open-list
system menjadi closed-list system. Salah satu pertimbangan penerapan
closed-list system adalah untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan
dunia usaha mengenai jenis pungutan daerah yang wajib dibayar, serta
meningkatkan efisiensi pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Dengan closed-list system, pemerintah daerah hanya dapat memungut jenis
pajak daerah dan retribusi daerah yang ditetapkan sesuai undang-undang.
2. Pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah di bidang
perpajakan dan retribusi daerah (local taxing empowerment), dilakukan
melalui beberapa kebijakan, yaitu: Perluasan basis pajak daerah dan retribusi daerah yang sudah ada,
seperti perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama
Kendaraan Bermotor, Pajak Hotel, Pajak Restoran dan Retribusi Izin
Gangguan.
- Penambahan jenis pajak daerah dan retribusi daerah, seperti Pajak Rokok, Pajak Sarang Burung Walet, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2), Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, Retribusi Pelayanan Pendidikan, Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi, dan Retribusi Izin Usaha Perikanan.
- Kenaikan tarif maksimum beberapa jenis pajak daerah, seperti Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Hiburan, Pajak Parkir, dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Dan
- Pemberian diskresi penetapan tarif pajak kepada daerah kecuali Pajak Rokok. Daerah diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menetapkan besaran tarif pajak daerah untuk diberlakukan di daerahnya sepanjang tidak melampaui tarif minimum dan maksimum yang tercantum dalam UU Nomor 28 Tahun 2009. Kewenangan yang lebih luas di bidang perpajakan daerah ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah sehingga dapat mengkompensasi hilangnya penerimaan dari beberapa jenis pungutan daerah sebagai akibat dari adanya kebijakan closed-list system. Dalam kaitan ini, daerah didorong untuk mengoptimalkan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dengan landasan hukum yang kuat dan tidak menciptakan jenis pungutan baru yang potensinya relative kecil dan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3) Memperbaiki sistem pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah melalui kebijakan bagi hasil pajak provinsi kepada kabupaten/kota yang lebih pasti, serta kebijakan earmarking untuk jenis pajak daerah tertentu. Kebijakan bagi hasil pajak ini mencerminkan bentuk tanggung jawab pemerintah provinsi untuk ikut serta menanggung beban biaya yang diperlukan oleh kabupaten/kota dalam melaksanakan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat. Sementara itu, dengan adanya kebijakan earmarking, sebagian hasil pendapatan pajak daerah tertentu dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang dapat dirasakan secara langsung oleh pembayar pajak tersebut.
4) Meningkatkan efektivitas pengawasan pungutan daerah dengan mengubah mekanisme pengawasan dari sistem represif (berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000) menjadi system preventif dan korektif.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, perubahan kebijakan tersebut diharapkan akan memberikan dampak positif, khususnya bagi Pemda Daerah. Dampak positif yang diharapkan, antara lain Pemda dapat lebih menyesuaikan kebijakan perpajakan dengan kondisi daerah masing-masing, munculnya competitiveness antardaerah untuk lebih menciptakan iklim investasi yang lebih baik di masing-masing daerah, terjalinnya hubungankemitraan yang lebih baik antara Pemda dengan pengusaha/investor dan masyarakat untuk memikul tanggung jawab pembangunan karena didukung adanya kejelasan, kepastian dan kesederhanaan berbagai regulasi yang ada. Selain itu juga diharapkan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah karena didorong dengan sumber pendanaan yang memadai dalam memenuhi kebutuhan pembangunan sarana dan prasarana perekonomian
Pinjaman Daerah
Secara nasional, sebagian besar daerah masih menghadapi permasalahan keuangan, dimana ketergantungan terhadap dana perimbangan masih tinggi, sementara sumber PAD masih terbatas, dan sebagian besar pendapatan digunakan untuk mendanai belanja pegawai dan belanja barang dan jasa. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya sumber pendanaan bagi pembangunan infrastruktur daerah. Estimasi kebutuhan pembangunan infrastruktur nasional di tahun 2010-2014 memerlukan anggaran sekitar Rp1.923,0 triliun, yang diperkirakan dapat dipenuhi dari tiga sumber, yaitu melalui APBN, APBD, dan Swasta/ BUMN.
Kemampuan pendanaan infrastruktur dari APBN sekitar Rp559,5 triliun, APBD sekitar Rp355,1 triliun, dan Swasta/BUMN sekitar Rp685,5 triliun sehingga masih terdapat celah sebesar Rp323,7 triliun yang harus disediakan untuk mendanai infrastruktur layanan publik. Guna memenuhi celah kebutuhan pendanaan tersebut perlu dilakukan terobosan-terobosan baru, termasuk di antaranya melalui penerbitan Obligasi Daerah sebagai salah satu sumber pembiayaan infrastruktur. Pemerintah akan mendorong daerah-daerah yang memiliki kapasitas fiskal dan kinerja pengelolaan keuangan yang baik, untuk menerbitkan obligasi daerah. Hal itu antara lain dilakukan melalui fasilitasi dan pendampingan kepada daerah dalam penerbitan obligasi daerah dan penyempurnaan peraturan perundangan-undanganyang terkait dengan obligasi daerah. Penyempurnaan peraturan perundangan-undangan tersebut antara lain terkait dengan ketentuan:
- Batas kumulatif pinjaman daerah termasuk Obligasi Daerah, dimana jumlah sisa pinjaman ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak boleh melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya.
- Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman (Debt Service Coverage Ratio) sebesar 2,5.
- Batas maksimal defisit APBD untuk tahun berikutnya ditetapkan Pemerintah setiap tahun yakni pada bulan Agustus tahun sebelumnya, dengan tujuan untuk mengendalikan kumulatif defisit APBN dan APBD agar tidak melebihi ketentuan perundangperundangan, yaitu sebesar 3 persen dari Produk Domestik Bruto.
- Penerbitan obligasi daerah harus mendapat persetujuan DPRD dan ditetapkan dengan Perda tentang Obligasi Daerah, guna menjamin adanya komitmen Pemda dan DPRD dalam memenuhi kewajiban pembayaran obligasi.
- Kewajiban Pemda untuk membentuk dana cadangan bagi pelunasan obligasi daerah untuk mengurangi resiko terjadinya gagal bayar (default).
- Pemda yang akan mengajukan usulan penerbitan Obligasi Daerah, harus memenuhi syarat bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
- Obligasi Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan investasi prasarana dan/atau sarana dalam rangka pelayanan publik yang menghasilkan penerimaan bagi APBD (revenue bond).
- Obligasi Daerah harus tetap mengikuti peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas Pasar Modal yang menjunjung tingi prinsip-prinsip good governance.
- Penerbitan Obligasi Daerah dilakukan di pasar modal domestik dan dalam mata uangrupiah, agar tidak ada risiko kurs dan risiko lain yang berkaitan dengan valuta asing atas penerbitan Obligasi Daerah.
Tantangan Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal
Pelaksanaan APBD
APBD mempunyai peranan yang sangat penting bagi pembangunan daerah, karena APBD merupakan implementasi dari kebijakan fiskal dan sekaligus operasionalisasi pelaksanaan program-program pemerintah daerah. Dari sisi kebijakan fiskal, APBD berperan sebagai salah
satu instrumen untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sementara sisi operasionalisasi pelaksanaan program-program pemerintah, alokasi belanja APBD dapat diarahkan untuk penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik, penyediaan barang dan jasa, dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat.
Mengingat pentingnya peranan APBD tersebut, maka potensi yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah harus dapat dikelola secara optimal oleh daerah, sedangkan bidang/fungsi yang menjadi prioritas pendanaan dari belanja daerah harus didasarkan pada kebutuhan riil yang menjadi kewenangan Pemda. Salah satu sumber pendapatan daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pendapatan jenis pajak tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan ekonomi daerah. Fenomena empiris menunjukkan bahwa makin berkembang perekonomian daerah, maka makin besar potensi pajak yang dapat digali dari masyarakat. Sehingga untuk mengukur tingkat efektivitas penerimaan pajak terhadap potensi pajak yang ada dapat digunakan rasio total penerimaan pajak terhadap PDRB (tax ratio) dan rasio total penerimaan pajak terhadap jumlah penduduk (tax percapita). Pada tahun 2012 tax ratio pajak daerah diperkirakan mencapai 1,08 persen, atau meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar 0,94 persen, sedangkan tax percapita mencapai Rp333.407/kapita, atau naik dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar Rp264.520/kapita.
Walaupun angkanya cenderung meningkat namun, tax ratio dan tax percapita tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan skala perekonomian daerah (PDRB) dan jumlah penduduk. Hal ini mengindikasi bahwa daerah masih mempunyai potensi yang cukup besar untuk menggali pajak daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Guna memberikan keleluasan untuk mengoptimalkan potensi sumber-sumber penerimaan dari pajak daerah, berdasarkan UUNomor 28 Tahun 2009 daerah telah diberikan diskresi yang lebih luas untuk memungut dan mengelola pajak daerah dan retribusi daerah agar PAD bisa meningkat. Dalam periode 5 tahun terakhir, rasio PAD terhadap total pendapatan cenderung meningkat sedangkan rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan cenderung menurun. Tahun 2007, rasio PAD terhadap total pendapatan adalah 16,8persen naik menjadi 19,5 persen tahun 2012. Sebaliknya dalam periode yang sama rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan turun dari 81,8 persen tahun 2007 menjadi 74,8 persen tahun 2012, meskipun pada tahun 2011 sempat meningkat menjadi 79,0 persen. Perkembangan rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan dapat dilihat pada Selain diberikan kewenangan untuk mengelola sumber-sumber pendapatan, juga diberikan kewenangan untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan tersebut guna mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan, prioritas, dan karateristik daerah. Pendanaan terhadap urusan pemerintahan tersebut utamanya dituangkan dalam bentuk belanja barang/jasa, belanja belanja modal, dan belanja pegawai yang melaksanakan roda pemerintahan. Alokasi belanja modal terkait dengan kebutuhan penyediaan pelayanan publik, alokasi belanja pegawai terkait dengan kebutuhan untuk pelaksanaan roda pemerintahan, sedangkan alokasi belanja barang dan jasa terkait dengan kebutuhan penyediaan pelayanan publik dan juga roda pemerintahan. Berdasarkan data APBD tahun 2007sampai dengan 2012, komposisi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal cenderung mengalami perubahan. Secara nominal alokasi belanja barang dan jasa dalam APBD provinsi rata-rata meningkat 22,15 persen per tahun, atau lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan belanja modal dan belanja pegawai yang masing-masing meningkat 11,80 persen dan 11,88 persen per tahun. Sedangkan alokasi belanja lainnya, yang terdiri atas belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, dan belanja tak terduga, juga meningkat relatif tinggi yakni 25,47 persen per tahun.
Implikasi terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah
APBD memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah melalui kebijakan di sisi pendapatan dan belanja daerah. Melalui sisi pendapatan, kebijakan yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah. Sementara melalui sisi pengeluaran, dana APBD yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa dan belanja modal memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah. Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal menghasilkan output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modal di daerah. Sedangkan sebagian dari belanja barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat daerah.
Kegiatan invetasi di daerah dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jumlah investasi baik dari penanaman modal asing (PMA) maupun dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada tahun 2011 meningkat 20,3 persen, yakni dari Rp208,9 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp251,3 triliun pada tahun 2011. Apabila dilihat menurut wilayah, sebagian besar dari kegiatan investasi yang dilakukan oleh PMA maupun PMDN masih terkonsentrasi di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sementara kegiatan investasi di wilayah lain, yakni di pulau Sulawesi, Maluku, Papua, dan Bali dan Nusa Tenggara, masih relatif kecil. Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan menengah. Konsep MP3EI mengarahkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah saja melainkan merupakan kolaborasi bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan Swasta. Pemerintah pusat dan daerah bertanggungjawab untuk memberikan jaminan keamanan, kemudahan perizinan, dan pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, melalui perbaikan sistem regulasi. Sementara BUMN, BUMD, dan pihak swasta berperan untuk melaksanakan investasi, mengelola kegiatan produksi/distribusi dan penciptaan lapangan kerja.
Kebijakan Anggaran Transfer ke Daerah RAPBN 2013
Anggaran Transfer ke Daerah merupakan salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiscal guna mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Implementasi kebijakan anggaran Transfer ke Daerah selain memperhatikan kebutuhan pendanaan urusan pemerintahan di daerah, juga mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan tujuan yang hendak dicapai dalam setiap tahun anggaran berdasarkan program/kegiatan yang telah ditetapkan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional. Kebijakan anggaran Transfer ke Daerah pada tahun 2013diarahkan untuk mendukung kesinambungan pembangunan di daerah dan meningkatkan kualitas pelaksanaan pogram/kegiatan yang menjadi prioritas daerah berdasarkan SPM yang telah ditetapkan untuk masing-masing bidang. Secara rinci tujuan dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah tahun 2013 adalah untuk:
Pelaksanaan APBD
APBD mempunyai peranan yang sangat penting bagi pembangunan daerah, karena APBD merupakan implementasi dari kebijakan fiskal dan sekaligus operasionalisasi pelaksanaan program-program pemerintah daerah. Dari sisi kebijakan fiskal, APBD berperan sebagai salah
satu instrumen untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sementara sisi operasionalisasi pelaksanaan program-program pemerintah, alokasi belanja APBD dapat diarahkan untuk penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik, penyediaan barang dan jasa, dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat.
Mengingat pentingnya peranan APBD tersebut, maka potensi yang menjadi sumber-sumber pendapatan daerah harus dapat dikelola secara optimal oleh daerah, sedangkan bidang/fungsi yang menjadi prioritas pendanaan dari belanja daerah harus didasarkan pada kebutuhan riil yang menjadi kewenangan Pemda. Salah satu sumber pendapatan daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah. Pendapatan jenis pajak tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat perkembangan ekonomi daerah. Fenomena empiris menunjukkan bahwa makin berkembang perekonomian daerah, maka makin besar potensi pajak yang dapat digali dari masyarakat. Sehingga untuk mengukur tingkat efektivitas penerimaan pajak terhadap potensi pajak yang ada dapat digunakan rasio total penerimaan pajak terhadap PDRB (tax ratio) dan rasio total penerimaan pajak terhadap jumlah penduduk (tax percapita). Pada tahun 2012 tax ratio pajak daerah diperkirakan mencapai 1,08 persen, atau meningkat dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar 0,94 persen, sedangkan tax percapita mencapai Rp333.407/kapita, atau naik dibandingkan dengan tahun 2011 sebesar Rp264.520/kapita.
Walaupun angkanya cenderung meningkat namun, tax ratio dan tax percapita tersebut masih relatif rendah dibandingkan dengan skala perekonomian daerah (PDRB) dan jumlah penduduk. Hal ini mengindikasi bahwa daerah masih mempunyai potensi yang cukup besar untuk menggali pajak daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Guna memberikan keleluasan untuk mengoptimalkan potensi sumber-sumber penerimaan dari pajak daerah, berdasarkan UUNomor 28 Tahun 2009 daerah telah diberikan diskresi yang lebih luas untuk memungut dan mengelola pajak daerah dan retribusi daerah agar PAD bisa meningkat. Dalam periode 5 tahun terakhir, rasio PAD terhadap total pendapatan cenderung meningkat sedangkan rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan cenderung menurun. Tahun 2007, rasio PAD terhadap total pendapatan adalah 16,8persen naik menjadi 19,5 persen tahun 2012. Sebaliknya dalam periode yang sama rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan turun dari 81,8 persen tahun 2007 menjadi 74,8 persen tahun 2012, meskipun pada tahun 2011 sempat meningkat menjadi 79,0 persen. Perkembangan rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana Transfer ke Daerah terhadap total pendapatan dapat dilihat pada Selain diberikan kewenangan untuk mengelola sumber-sumber pendapatan, juga diberikan kewenangan untuk menggunakan sumber-sumber pendapatan tersebut guna mendanai pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan kebutuhan, prioritas, dan karateristik daerah. Pendanaan terhadap urusan pemerintahan tersebut utamanya dituangkan dalam bentuk belanja barang/jasa, belanja belanja modal, dan belanja pegawai yang melaksanakan roda pemerintahan. Alokasi belanja modal terkait dengan kebutuhan penyediaan pelayanan publik, alokasi belanja pegawai terkait dengan kebutuhan untuk pelaksanaan roda pemerintahan, sedangkan alokasi belanja barang dan jasa terkait dengan kebutuhan penyediaan pelayanan publik dan juga roda pemerintahan. Berdasarkan data APBD tahun 2007sampai dengan 2012, komposisi belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal cenderung mengalami perubahan. Secara nominal alokasi belanja barang dan jasa dalam APBD provinsi rata-rata meningkat 22,15 persen per tahun, atau lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan belanja modal dan belanja pegawai yang masing-masing meningkat 11,80 persen dan 11,88 persen per tahun. Sedangkan alokasi belanja lainnya, yang terdiri atas belanja bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, bantuan keuangan, dan belanja tak terduga, juga meningkat relatif tinggi yakni 25,47 persen per tahun.
Implikasi terhadap Perkembangan Ekonomi Daerah
APBD memberikan pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi daerah melalui kebijakan di sisi pendapatan dan belanja daerah. Melalui sisi pendapatan, kebijakan yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi di daerah. Sementara melalui sisi pengeluaran, dana APBD yang dialokasikan untuk belanja barang dan jasa dan belanja modal memberikan pengaruh terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah. Sebagian besar dari pelaksanaan belanja modal menghasilkan output berupa infrastruktur sarana dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modal di daerah. Sedangkan sebagian dari belanja barang dan jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat daerah.
Kegiatan invetasi di daerah dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan peningkatan. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), jumlah investasi baik dari penanaman modal asing (PMA) maupun dari penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada tahun 2011 meningkat 20,3 persen, yakni dari Rp208,9 triliun pada tahun 2010 menjadi Rp251,3 triliun pada tahun 2011. Apabila dilihat menurut wilayah, sebagian besar dari kegiatan investasi yang dilakukan oleh PMA maupun PMDN masih terkonsentrasi di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sementara kegiatan investasi di wilayah lain, yakni di pulau Sulawesi, Maluku, Papua, dan Bali dan Nusa Tenggara, masih relatif kecil. Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan menengah. Konsep MP3EI mengarahkan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi tidak hanya tergantung pada pemerintah saja melainkan merupakan kolaborasi bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, dan Swasta. Pemerintah pusat dan daerah bertanggungjawab untuk memberikan jaminan keamanan, kemudahan perizinan, dan pemberian insentif fiskal dan nonfiskal, melalui perbaikan sistem regulasi. Sementara BUMN, BUMD, dan pihak swasta berperan untuk melaksanakan investasi, mengelola kegiatan produksi/distribusi dan penciptaan lapangan kerja.
Kebijakan Anggaran Transfer ke Daerah RAPBN 2013
Anggaran Transfer ke Daerah merupakan salah satu instrumen kebijakan desentralisasi fiscal guna mendanai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah. Implementasi kebijakan anggaran Transfer ke Daerah selain memperhatikan kebutuhan pendanaan urusan pemerintahan di daerah, juga mempertimbangkan kemampuan keuangan negara dan tujuan yang hendak dicapai dalam setiap tahun anggaran berdasarkan program/kegiatan yang telah ditetapkan sebagai prioritas dalam pembangunan nasional. Kebijakan anggaran Transfer ke Daerah pada tahun 2013diarahkan untuk mendukung kesinambungan pembangunan di daerah dan meningkatkan kualitas pelaksanaan pogram/kegiatan yang menjadi prioritas daerah berdasarkan SPM yang telah ditetapkan untuk masing-masing bidang. Secara rinci tujuan dari alokasi anggaran Transfer ke Daerah tahun 2013 adalah untuk:
- Meningkatkan kapasitas fiskal daerah serta mengurangi kesenjangan fiskal antara pusat dan daerah, serta antardaerah;
- Menyelaraskan besaran kebutuhan pendanaan di daerah sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota;
- Meningkatkan kualitas pelayanan publik di daerah dan mengurangi kesenjangan pelayanan publik antardaerah;
- Mendukung kesinambungan fiskal nasional;
- Meningkatkan kemampuan daerah dalam menggali potensi ekonomi daerah;
- Meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya nasional;
- Meningkatkan sinkronisasi antara rencana pembangunan nasional dengan pembangunan daerah;
- Meningkatkan daya saing daerah; dan
- Meningkatkan perhatian terhadap pembangunan di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan.
ISU (Peningkatan Kualitas Pengelolaan Keuangan Daerah)
Kualitas
belanja daerah merupakan isu yang selalu mengemuka selama satu
dasawarsa terakhir ini. Hal ini didorong oleh kenyataan bahwa masih ada
sebagian daerah yang memperoleh opini yang kurang baik dari BPK atas
audit laporan keuangannya, adanya struktur belanja yang kurang sehat
karena banyak tersedot untuk belanja aparatur, dan penyerapan anggaran
yang kurang optimal sehingga menimbulkan adanya SiLPA yang berlebihan
meskipun disisi lain kebutuhan penyediaan sarana dan prasarana pelayanan
public tidak terpenuhi. Berdasarkan hasil audit BPK atas Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), jumlah LKPD yang mendapatkan opini
WTP dan WDP naik dari 287 LKPD pada tahun 2007 menjadi 375 LKPD di tahun
2010. Sementara LKPD yang mendapatkan opini tidak baik (disclaimer dan
adverse) menurun dari 182 LKPD di tahun 2007 menjadi hanya 141 LKPD di
tahun 2010. Meskipun jumlah daerah yang mendapatkan opini WTP dan WDP
meningkat signifikan, namun jumlah daerah yang memperoleh opini tidak
baik masih mencapai sekitar 27 persen dari jumlah daerah yang ada.
Solusi
Untuk mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah melakukan perbaikan sistem penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban keuangan daerah yang didukung dengan perbaikan kapasitas SDM Pemda. Perbaikan sistem tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan, seperti penyempurnaan standar akuntansi pemerintah dan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa.
Solusi
Untuk mendorong peningkatan kualitas pengelolaan keuangan daerah, Pemerintah telah melakukan perbaikan sistem penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggung jawaban keuangan daerah yang didukung dengan perbaikan kapasitas SDM Pemda. Perbaikan sistem tersebut antara lain dilakukan melalui penyempurnaan berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan keuangan, seperti penyempurnaan standar akuntansi pemerintah dan ketentuan mengenai pengadaan barang dan jasa.
Jenis Desentralisasi
Sebelum Desentralisasi Fiskal
Setelah Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi Politik
0 #type=(blogger):
Posting Komentar