Wilayah bagian barat
Kerajaan Aceh Darussalam mulai dibuka dan dibangun
pada abad ke XVI Masehi atas prakarsa Sultan Saidil Mukamil (Sultan Aceh yang hidup antara tahun 1588 – 1604 M), kemudian dilanjutkan oleh Sultan Iskandar Muda
(Sultan Aceh yang hidup tahun (1607-1636 M) dengan
mendatangkan orang-orang Aceh Rayeuk dan Pidie.
Daerah
ramai pertama adalah di teluk Meulaboh
(Pasi Karam) yang diperintah oleh seorang raja yang
bergelar Teuku Keujruen Meulaboh, dan Negeri Daya
(Kecamatan Jaya) yang pada akhir abad ke XV M telah berdiri
sebuah kerajaan dengan rajanya adalah Sultan Salatin Alaidin
Riayat Syah dengan gelar Poteu Meureuhom Daya.
Dari perkembangan
selanjutnya, wilayah Aceh Barat diakhir abad XVII telah
berkembang menjadi beberapa kerajaan kecil yang dipimpin
oleh Uleebalang, yaitu: Kluang, Lamno, Kuala
Lambeusoe, Kuala Daya, Kuala Unga, Babah Awe, Krueng
No, Cara’ Mon, Lhok Kruet, Babah Nipah, Lageun, Lhok
Geulumpang, Rameue, Lhok Rigaih, Krueng Sabee, Teunom,
Panga, Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Meulaboh, Seunagan,
Tripa, Seuneu’am, Tungkop, Beutong, Pameue, Teupah
(Tapah), Simeulue, Salang, Leukon, dan Sigulai.
Dimasa penjajahan
Belanda, melalui suatu perjanjian (Korte Verklaring), diakui
bahwa masing-masing Uleebalang dapat menjalankan pemerintahan
sendiri (Zelfsbestuur) atau swaparaja (landschap). Oleh
Belanda Kerajaan Aceh dibentuk menjadi Gouvernement
Atjeh en Onderhorigheden (Gubernemen Aceh dan Daerah
Taklukannya) dan selanjutnya dengan dibentuknya
Gouvernement Sumatera, Aceh dijadikan Keresidenan yang
dibagi atas beberapa wilayah yang disebut afdeeling
(propinsi) dan afdeeling dibagi lagi atas beberapa
onderafdeeling (kabupaten) dan onderafdeeling dibagi
lagi menjadi beberapa landschap (kecamatan).
Seluruh wilayah Keresidenan
Aceh dibagi menjadi 4 (empat) afdeeling yang salah satunya
adalah Afdeeling Westkust van Atjeh atau Aceh Barat dengan
ibukotanya Meulaboh. Afdeeling Westkust van Atjeh (Aceh
Barat) merupakan suatu daerah administratif yang
meliputi wilayah sepanjang pantai barat Aceh, dari
gunung Geurutee sampai daerah Singkil dan kepulauan
Simeulue serta dibagi menjadi 6 (enam) onderafdeeling,
yaitu :
1. Meulaboh
dengan ibukota Meulaboh dengan Landschappennya Kaway XVI,
Woyla, Bubon, Lhok Bubon, Seunagan, Seuneu’am, Beutong,
Tungkop dan Pameue.
2. Tjalang dengan
ibukota Tjalang (dan sebelum tahun 1910 ibukotanya
adalah Lhok Kruet) dengan Landschappennya Keluang,
Kuala Daya, Lambeusoi, Kuala Unga, Lhok Kruet, Patek,
Lageun, Rigaih, Krueng Sabee dan Teunom.
3. Tapaktuan dengan ibukota Tapak Tuan.
4. Simeulue dengan ibukota Sinabang dengan Landschappennya Teupah, Simalur, Salang, Leukon dan Sigulai.
5. Zuid Atjeh dengan ibukota Bakongan.
6. Singkil dengan ibukota Singkil.
Di zaman penjajahan Jepang (1942 –
1945) struktur wilayah administrasi ini tidak banyak
berubah kecuali penggantian nama dalam bahasa Jepang,
seperti Afdeeling mejadi Bunsyu yang dikepalai oleh
Bunsyucho, Onderafdeeling menjadi Gun yang dikepalai
oleh Guncho dan Landschap menjadi Son yang dikepalai
oleh Soncho.
Setelah proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia, berdasarkan
Undang-undang Nomor 7 (Drt) Tahun 1956 tentang pembentukan
Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi
Sumatera Utara, wilayah Aceh Barat dimekarkan mejadi 2 (dua)
Kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Barat dan Kabupaten
Aceh Selatan. Kabupaten Aceh Barat dengan Ibukota
Meulaboh terdiri dari tiga wilayah yaitu Meulaboh,
Calang dan Simeulue, dengan jumlah kecamatan sebanyak
19 (sembilan belas) Kecamatan yaitu Kaway XVI, Johan
Pahlwan, Seunagan, Kuala, Beutong, Darul Makmur,
Samatiga, Woyla, Sungai Mas, Teunom, Krueng Sabee,
Setia Bakti, Sampoi Niet, Jaya, Simeulue Timur, Simeulue
Tengah, Simeulue Barat, Teupah Selatan dan Salang. Sedangkan
Kabupaten Aceh Selatan, meliputi wilayah Tapak Tuan, Bakongan
dan Singkil dengan ibukotanya Tapak Tuan.
Pada Tahun 1996
Kabupaten Aceh Barat dimekarkan lagi menjadi 2 (dua)
Kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Barat meliputi kecamatan
Kaway XVI, Johan Pahlwan, Seunagan, Kuala, Beutong, Darul
Makmur, Samatiga, Woyla, Sungai Mas, Teunom, Krueng Sabee,
Setia Bakti, Sampoi Niet, Jaya dengan ibukotanya Meulaboh
dan Kabupaten Adminstrtif Simeulue meliputi kecamatan
Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Simeulue Barat,
Teupah Selatan dan Salang dengan ibukotanya Sinabang.
Kemudian pada tahun
2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 5, Kabupaten
Aceh Barat dimekarkan dengan menambah 6 (enam)
kecamatan baru yaitu Kecamatan Panga, Arongan Lambalek, Bubon,
Pantee Ceureumen, Meureubo dan Seunagan Timur. Dengan
pemekaran ini Kabupaten Aceh Barat memiliki 20 (dua puluh)
Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa.
Selanjutnya pada tahun
2002 kabupaten Aceh Barat daratan yang luasnya
1.010.466 Ha, kini telah dimekarkan menjadi tiga Kabupaten
yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya dan Kabupaten
Aceh Barat dengan dikeluarkannya Undang-undang N0.4 Tahun
2002.
Situs Sejarah Kabupaten Aceh Barat
1. Makam Teuku Umar
Teuku Umar sebagai Pahlawan Aceh dan Pahlawan Nasional sudah cukup dikenal. Bernama lengkap Teuku Umar Djohan Pahlawan, yang nenek moyangnya berasal dari Minangkabau, turunan Datuk Makudum Sati, pahlawan kelahiran Meulaboh, Aceh Barat, pada tahun 1854, dikenal sebagai orang sakti. Sangat lihai dan ahli dalam siasat perang.
“Teuku Umar yang dalam usia 19 tahun
sudah jadi Keuchik atau kepala kampung di daerah Daya Meulaboh ini,
sulit ditaklukan Belanda karena ia punya kesaktian, tak tembus peluru.
Suami Cut Nyak Dhien ini gugur di medan pertempuran setelah ada
pengikutnya berkianat dan memberitahukan kepada Belanda bahwa Teuku Umar
hanya bisa ditembus peluru emas,” kata Dahlia, petugas dari Balai
Pengkajian Pelestarian Nilai Sejarah NAD, Kamis (25/6) di Panton Reu,
Aceh Barat.
Berkunjung ke makam Teuku Umar, di
pinggir jalan raya Meulaboh di Kabupaten Aceh Barat, Desa Mugou Rayeuk,
Kecamatan Panton Reu, sudah terlihat gapura. Lalu masuk ke dalam kawasan
hutan yang bisa ditempuh dengan kendaraan sejauh lebih kurang satu
kilometer. Kemudian jalan kaki menuruni dan menaiki tangga sejauh 100
meter.
Makam Teuku Umar sangat sederhana, hanya
berupa gundukan batu kerikil dengan nisan batu polos berukuran kecil.
Makamnya dilindungi oleh bangunan cungkup rendah terbuka, dan berada di
dalam kawasan hutan Glee Mugou. Semasa hidupnya Teuku Umar dan Cut Nyak
Dhien sama-sama bekerja keras berjuang untuk melawan Belanda. Melihat
tentara Aceh semakin hari semakin terdesak oleh serangan agresif pasukan
Belanda, Teuku Umar memasang siasat dan taktik strategi untuk
berpura-pura memihak dan bekerja sama dengan Belanda.
Pada tahun 1883, Teuku Umar menyerahkan
diri dan memihak kepada Belanda. Teuku Umar dipercaya melatih tentara
Belanda tentang cara-cara perang gerilya dan memimpin penumpasan
perlawanan rakyat Aceh. Hingga akhirnya Teuku Umar dapat hadiah besar
berupa uang dan materi lainnya. Hadiah itu digunakan untuk menambah
modal perang tentara Aceh yang dikirim secara rahasia. Bahkan ketika
Teuku Umar ditugasi menumpas Raja Teunom yang menawan kapal Inggris,
Teuku Umar dalam perjalanan merebut seluruh senjata dan seluruh
amunisinya beserta seluruh perlengkapan perang tentara Belanda yang
menyertainya.
Pada Februari 1899 Jenderal Van Heutsz
berada di Meulaboh, Teuku Umar berniat mencegat dan menangkapnya. Namun,
justru gerak gerik Teuku Umar telah diketahui Belanda, sehingga Belanda
menyiapkan pasukan yang cukup kuat di perbatasan Meulaboh untuk
menghadang Teuku Umar. Pada malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar
kaget pasukannya dihadang Belanda. Pertempuran hebat pun terjadi. Teuku
Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya. Agar jenazah
Teuku Umar tak diambil Belanda, anak buah Teuku Umar membawanya dan
mengelabui dengan membuat enam petilasan makam dan terakhir di tempat
Teuku Umar dimakamkan sekarang, di Desa Meugo, sekitar 40 km dari Kota
Meulaboh.
Kuburan Teuku Umar dilengkapi sejumlah
fasilitas, sepert balai-balai, musholla, toilet, dan lainnya. Makam
Teuku Umar tampak sederhana, berukuran sekitar 2 x 3 m, ditembok di
setiap sisinya dengan batu-batu koral bertebaran menutupi bagian
tengahnya. Aura keagungan yang mistis terkesan menyeruak dari makam yang
berada di dalam sebuah bangunan ala pendopo dengan berlantai pualam dan
atap berciri bangunan tradisional Aceh. Di kepala makam terlihat plakat
bertuliskan bahwa makam tersebut merupakan tempat peristirahatan
terakhir salah seorang putra bangsa terbaik Aceh sekaligus pahlawan
nasional, pejuang melawan penjajah Belanda.
2. Makam Pocut Baren
Aceh dikenal telah melahirkan banyak
pahlawan wanita. Tercatat ada nama Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, Cut
Nyak Aisyah, Pocut Meurah Intan, Pocut Biheu, Cutpo Fatimah, Teungku
Fakinah, Pocut Baren, dan masih banyak lagi. Pocut Baren yang menjadi
bahasan tulisan ini merupakan wanita bangsawan yang lahir pada tahun
1880 di Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Ia adalah putri Teuku Cut Amat,
Uleebalang (tokoh adat) Tungkop yang sangat berpengaruh.
Oleh karena ayahnya adalah seorang
uleebalang, maka banyak ulama yang datang ke kediaman ayahnya untuk
mendiskusikan masalah-masalah keagamaan. Kondisi demikian memudahkan
Pocut Baren mendapatkan pendidikan agama (Islam) secara langsung dari
ulama-ulama tersebut. Pendidikan agama mampu menanamkan jiwa dan
kepribadian Pocut Baren menjadi seorang wanita muda yang berani
berkorban apa saja demi tegaknya kepentingan agama dan bangsanya. Selain
modal pendidikan agama, kondisi politik pada saat itu juga membentuk
kepribadiannya menjadi lebih dewasa lagi. Sebagaimana pada umumnya
gadis-gadis Aceh seusianya, ia dilahirkan dalam suasana konflik
(perang). Ia ikut berjuang menghadapi kolonialisme Belanda di bumi Aceh.
Setelah menginjak usia dewasa, Pocut
Baren menikah dengan seorang pejabat daerah (keujruen) yang juga menjadi
uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Suaminya pernah memimpin
perlawanan terhadap pasukan Belanda yang menyerang di kawasan Woyla.
Perjuangan Pocut Baren melawan penjajah
Belanda dimulai sejak berjuang bersama dengan Cut Nyak Dhien. Pocut
Baren menunjukkan kesetiannya berjuang bersama dengan Cut Nyak Dhien,
baik dalam berperang secara bersama melawan penjajah Belanda maupun
dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat yang lain.
Perjuangan tersebut dilakoninya dengan
penuh kesungguhan dan kesabaran meski dalam kondisi hidup yang susah dan
menderita. Modal perjuangan bersama dengan Cut Nyak Dhien ternyata
berpengaruh besar dalam membangkitkan keberanian dirinya berjuang lebih
lanjut. Bahkan, suatu saat ia memimpin pasukannya sendirian.
Menurut catatan seorang penulis asal
Belanda bernama Doup, Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap
Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien pernah
tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya,
Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda,
meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan
demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang
memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut
Baren. Kedua tokoh pejuang wanita ini dikenal mempunyai tekad dan
keberanian yang kuat dalam mempertahankan Aceh sebagai negeri yang
merdeka dari segala bentuk kolonialisme, termasuk kolonialisme Belanda.
Pocut Baren pernah berjuang bersama
dengan suaminya melawan penjajah Belanda. Ketika berjuang, ia sebenarnya
sadar bahwa dirinya dan suaminya akan terancam maut oleh setiap
serangan musuh yang terkenal mempunyai teknologi dan peralatan perang
yang amat canggih. Namun, dengan semangat perjuangan yang kuat maka
segala tantangan dan ancaman pasti akan dapat dihalau. Ia dan suaminya
sudah rela mati syahid demi kedaulatan tanah Aceh dari serangan musuh.
Ia pun sadar bahwa suaminya kelak akan mendahului dirinya. Karena
sebagai pemimpin pasukan, suaminya dapat terancam kapan saja oleh
peluru-peluru musuh.
Ibarat pepatah “malang tak dapat
ditolak, mujur tak dapat diraih”, suami Pocut Baren akhirnya meninggal
dunia di medan perang. Hal itu terjadi ketika Pocut Baren bersama
suaminya berjuang melawan pasukan Belanda di wilayah Keujren Game,
Kabupaten Aceh Barat. Pasukan Belanda yang telah diperkuat dengan
personil militer yang sangat besar mampu memukul mundur pasukan Aceh
yang memang sedang dalam posisi yang lemah. Ketika itu dengan beruntung
Pocut Baren berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Meski ia sedih dengan kematian suaminya, namun ia tetap bertekad
meneruskan perjuangan suaminya tersebut.
Meski Pocut Baren harus berjuang
sendirian, namun ia tetap gigih berjuang, tidak merasa minder, dan
semangatnya sama sekali tidak hilang. Ia menghimpun kembali kekuatan
pasukannya dengan cara memobilisasi penduduk di wilayah Kaway XII. Ia
mengumpulkan kembali sisa-sisa pasukannya yang masih ada untuk
meneruskan perjuangan yang telah lama dilakukannya. Di sisi yang lain,
Belanda yang memang telah mempunyai kekuatan perang sangat besar justru
makin diperkuat dengan bantuan militer, yang salah satunya berasal dari
batavia (Betawi).
Di samping melakukan mobilisasi, Pocut
Baren membangun benteng di Gunung Macan sebagai pusat pertahanan dari
serangan musuh. Melalui benteng ini, segala rencana penyerangan terhadap
pasukan musuh disusun dengan strategi yang sangat rapi. Di sisi lain,
Belanda tidak mau kalah. Mereka membangun tangsi secara besar-besaran
di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Dari kedua tempat inilah, Belanda
melancarkan serangan kepada pasukan Pocut Baren.
Dari pusat pertahanannya di Gunung Macan
tersebut, Pocut Baren lebih banyak melangsungkan serangan terhadap
tangsi-tangsi Belanda, di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Pasukan Belanda
sendiri tidak berani langsung menyerang pasukan Pocut Baren di Gunung
Macam karena pertahanannya yang sangat kuat. Meski demikian, pasukan
Pocut Baren belum mampu membuat pasukan Belanda menyerah atau hengkang
dari tanah Aceh. Hal itu disebabkan karena modal persenjataan pasukan
Pocut Baren masih sangat terbatas.
Pada tahun 1910, Belanda melakukan
penyerbuan secara besar-besaran terhadap benteng pertahanan Pocut Baren
di Gunung Macan. Pasukan Belanda ketika itu dipimpin langsung oleh
Letnan Hoogers. Dengan seketika, Benteng Pocut Baren digempur secara
habis-habisan. Pocut Baren tidak merasa takut dengan serangan tersebut.
Ia memimpin pasukannya dengan maksud untuk mempertahankan benteng
tersebut. Namun, ternyata ia tertembak dalam pertempuran tersebut dengan
luka yang sangat parah. Ia akhirnya dapat tertangkap oleh pasukan
Belanda secara hidup-hidup, dan kemudian dibawa ke Meulaboh.
Tertangkapnya Pocut Baren menandai masa
berakhirnya perlawanan dirinya terhadap Belanda. Untuk proses
pengobatan lukanya tersebut, ia kemudian dibawa ke Kutaraja. Karena
lukanya yang sudah sedemikian parah, maka tim dokter memutuskan untuk
melakukan amputasi, yaitu memotong kedua belah kakinya. Meski demikian,
ia tetap tegar menerima kenyataan dan cobaan yang tengah dihadapinya.
Selama di Kutaraja, Pocut Baren
diperlakukan sebagai tawanan perang dan juga sebagai seorang uleebalang.
Ketika Gubernur Militer Aceh dipegang oleh Van Daalen, ada rencana
dari gubernur itu untuk mengasingkan Pocut Baren ke Pulau Jawa. Ada
seorang perwira penghubung bangsa Belanda, T.J. Veltman menyarankan
kepada gubernur agar Pocut Baren tidak diasingkan, tapi dikembalikan ke
kampung halamannya sebagai uleebalang di Tungkop. Dengan strategi ini
diharapkan perlawanan rakyat Aceh dapat dihentikan. Gubernur Van Daalen
menyetujui saran tersebut.
Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh
dari sakitnya dan diyakini tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia
akhirnya kembali ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang
uleebalang. Di samping sebagai uleebalang, ia juga aktif menggerakkan
kehidupan rakyatnya ke arah yang lebih baik, seperti melakukan perbaikan
ekonomi rakyat dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sastra dalam
kehidupan ini. Perjuangan tersebut dilakukan hingga ia meninggal dunia
pada tahun 1933 dan dimakamkan di tanah kelahirannya Tungkop, Kecamatan
Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat yang berada di kawasan pedalaman yang
berjarak sekitar 60 km dari Meulaboh ke arah Tutut/Geumpang.
b. Pemikiran
Pocut Baren, selain dikenal sebagai
pejuang wanita Aceh yang sejati, juga dikenal memiliki pemikiran dan
gagasan yang menarik. Berikut ini dikemukakan dua bidang pemikirannya.
b.1. Pemikiran Ekonomi
Selama masa penjajahan Belanda,
perekonomian rakyat Aceh mengalami banyak kemunduran. Banyak sawah yang
terbengkalai dan akhirnya menjadi lahan tidur karena sebagian besar
penduduk ikut terlibat dalam perang melawan penjajah. Hal ini
mengakibatkan munculnya kemiskinan dan kelaparan yang menimpa
masyarakat. Pocut Baren kemudian berpikir bagaimana caranya
mengembalikan kondisi perekonomian rakyat di Tungkop. Sebagai
uleebalang, ia memimpin rakyat di daerah tersebut agar menghidupkan
kembali lahan-lahan yang telah lama terbengkalai. Lahan sawah kembali
digarap. Lahan perkebunan ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa,
pala, kakau, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman
lainnya.
Dalam bidang perairan, Pocut Baren
menggerakkan rakyatnya untuk membangun saluran irigasi yang dialirkan
dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Proses pengairan
dilakukan secara bergilir agar tidak menimbulkan konflik di antara para
penduduk.
Ada ide Pocut Baren yang menarik tentang
pertanian. Ia menyarankan kepada para penduduk agar menanam padi
secara serentak dengan tujuan agar siklus kehidupan hama dapat
terputus. Agar hasil panen yang didapat para petani menjadi lebih baik,
ia memperkenalkan sistem Panca Usaha Tani kepada penduduk. Sistem ini
mencakup: (a). Melakukan pengolahan tanah secara baik dan benar; (b).
Menyemaikan bibit padi secara benar; (c). Melakukan pemberantasan hama
dengan memanfaatkan predator (hewan yang memangsa hewan yang lain); (d).
Memberikan pupuk dengan dosis yang tepat, yaitu pupuk kandang dan
pupuk organik (kompos); dan (e). Mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan
tanaman padi.
Berkat kerja keras Pocut Baren terhadap
pengembangan perekonomian rakyat, secara berangsur-angsur kehidupan
rakyat semakin membaik. Perekonomian rakyat tidak lesu lagi. Ketika itu
Tungkop berkembang menjadi daerah yang aman, tenteram, dan makmur.
Bahkan, ketika musim panen tiba, daerah Tungkop mengalami surplus
pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirimkan ke daerah-daerah
lain.
Kesuksesan Pocut Baren itu ternyata
disikapi secara gembira oleh Pemerintah Belanda yang membawahi Tungkop.
Laporan Letnan H. Schuerleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah, kepada
atasannya di Kutaraja menyebutkan bahwa Pocut Baren telah berusaha
dengan sungguh-sungguh dalam menciptakan ketertiban, keamanan, dan
kemakmuran masyarakat. Sebagai wujud rasa terima kasih, T.J. Veltman
memberi hadiah kepada Pocut Baren berupa sebuah kaki palsu yang terbuat
dari kayu.
b.2. Pemikiran Kesusastraan
Pocut Baren ternyata memiliki bakat
kesusastraan Aceh. Keahliannya dalam bidang sastra muncul karena ia
sering menyempatkan diri ketika beristirahat untuk merenungkan kembali
peristiwa-peristiwa yang telah berlalu. Di saat seperti itulah darah
pujangganya mengalir deras. Apa yang jadi kenangan-kenangan dirinya ia
ekspresikan dalam bentuk pantun dan syair. Ketika itu syair-syairnya
sering dibacakan banyak orang di depan publik.
Pocut Baren telah menulis banyak pantun
dan syair, baik dalam bahasa Aceh maupun huruf Melayu Arab (Jawi).
Bahkan, karya-karya sastranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Banyak
orang yang hingga kini masih melantunkan syair-syairnya karena memang
begitu indah dan menggugah. Salah satu contoh syairnya dalam bahasa
Aceh adalah sebagai berikut:
Krueng Woyla ceukoe likat (Sungai Woyla keruh pekat)
Engkot jilumpat jisangka ie tuba (Ikan melompat dikira tuba)
Seunggap di yub seungap di rambut (Sunyi di kolong senyap di rambut)
Meurubok Barat buka suara (Hari malam buka suara)
Bukon Sayang itek di kapay (Wahai sayang itik di kapal)
Jitimoh bulee ka si on sapeue (Bulunya tumbuh aneka warna)
Bukon sayang bilek ku tinggay (Tinggallah engkau bilikku sayang)
Teumpat ku tido siang dan malam (Tempat peraduanku siang dan malam)
c. Karya
Karya Pocut Baren bukan dalam bentuk
tulisan, seperti buku, artikel, dan sebagainya. Segala bentuk pemikiran
dan perjuangannya dalam menghadapi kolonialisme Belanda dapat kita
katakan sebagai hasil karya-karya besarnya yang patut diapresiasi.
d. Penghargaan
Sebagai bentuk penghargaan terhadap
Pocut Baren, Yuslizar, seorang seniman Aceh, mendirikan sanggar tari
Pocut Baren pada tahun 1967. Nama Pocut baren juga diabadikan sebagai
nama sejumlah jalan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.
Selain situs sejarah yang telah kita
uraikan diatas masih ada lagi beberapa situs sejarah lainnya yang
terdapat di Kabupaten Aceh Barat seperti: Makam Putehlah, Makam Teuku
Leubee dan Benteng
0 #type=(blogger):
Posting Komentar