Berdasarkan
naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam
dibangun diatas puing-puing kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha seperti
Kerajaan Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan
Kerajaan Indra Pura Dari penemuan batu-batu nisan di Kampung Pande
salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan Sultan
Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah, maka terungkaplah keterangan
bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun
pada hari Jum’at, tanggal 1 Ramadhan 601 H ( 22 April 1205 M) yang
dibangun oleh Sultan Johan Syah setelah berhasil menaklukkan Kerajaan
Hindu/Budha Indra Purba dengan ibukotanya Bandar Lamuri.
Tentang Kota Lamuri ada yang mengatakan
ia adalah Lam Urik sekarang terletak di Aceh Besar. Menurut Dr. N.A.
Baloch dan Dr. Lance Castle yang dimaksud dengan Lamuri adalah Lamreh
di Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya sekarang). Sedangkan Istananya
dibangun di tepi Kuala Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung
Pande sekarang ini dengan nama “Kandang Aceh”. Dan pada masa
pemerintahan cucunya Sultan Alaidin Mahmud Syah, dibangun istana baru
di seberang Kuala Naga (Krueng Aceh) dengan nama Kuta Dalam Darud Dunia
(dalam kawasan Meligoe Aceh atau Pendopo Gubernur sekarang) dan beliau
juga mendirikan Mesjid Djami Baiturrahman pada tahun 691 H.
Banda Aceh Darussalam sebagai ibukota
Kerajaan Aceh Darussalam dan sekarang ini merupakan ibukota Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam telah berusia 805 tahun (tahun 2010 M)
merupakan salah satu Kota Islam Tertua di Asia Tenggara. Seiring dengan
perkembangan zaman Kerajaan Aceh Darussalam dalam perjalanan
sejarahnya telah mengalami zaman gemilang dan pernah pula mengalami
masa-masa suram yang menggentirkan.
Adapun Masa gemilang Kerajaan Aceh
Darussalam yaitu pada masa pemerintahan “Sultan Alaidin Ali Mughayat
Syah, Sultan Alaidin Abdul Qahhar (Al Qahhar), Sultan Alaidin Iskandar
Muda Meukuta Alam dan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin”.
Sedangkan masa percobaan berat, pada
masa Pemerintahan Ratu yaitu ketika golongan oposisi “Kaum Wujudiyah”
menjadi kalap karena berusaha merebut kekuasaan menjadi gagal, maka
mereka bertindak liar dengan membakar Kuta Dalam Darud Dunia, Mesjid
DJami Baiturrahman dan bangunan-bangunan lainnya dalam wilayah kota.
Kemudian Banda Aceh Darussalam menderita
penghancuran pada waktu pecah “Perang Saudara” antara Sultan yang
berkuasa dengan adik-adiknya, peristiwa ini dilukiskan oleh Teungku
Dirukam dalam karya sastranya, Hikayat Pocut Muhammad.
Masa yang amat getir dalam sejarah
Banda Aceh Darussalam pada saat terjadi Perang Dijalan Allah selama 70
tahun yang dilakukan oleh Sultan dan Rakyat Aceh sebagai jawaban atas
“ultimatum” Kerajaan Belanda yang bertanggal 26 Maret 1837. Dan yang
lebih luka lagi setelah Banda Aceh Darussalam menjadi puing dan diatas
puing Kota Islam yang tertua di Nusantara ini Belanda mendirikan
Kutaraja sebagai langkah awal Belanda dari usaha penghapusan dan
penghancuran kegemilangan Kerajaaan Aceh Darussalam dan ibukotanya
Banda Aceh Darussalam.
Sejak itu ibukota Banda Aceh Darussalam
diganti namanya oleh Gubernur Van Swieten ketika penyerangan Agresi
ke-2 Belanda pada Kerajaan Aceh Darussalam tanggal 24 Januari 1874
setelah berhasil menduduki Istana/Keraton yang telah menjadi
puing-puing dengan sebuah proklamasinya yang berbunyi :
“Bahwa Kerajaan Belanda dan Banda Aceh
dinamainya dengan Kutaraja, yang kemudian disahkan oleh Gubernur
Jenderal di Batavia dengan beslit yang bertanggal 16 Maret 1874,
semenjak saat itu resmilah Banda Aceh Darussalam dikebumikan dan diatas
pusaranya ditegaskan Kutaraja sebagai lambang dari Kolonialisme”.
Pergantian nama ini banyak terjadi
pertentangan di kalangan para tentara Kolonial Belanda yang pernah
bertugas dan mereka beranggapan bahwa Van Swieten hanya mencari muka
pada Kerajaan Belanda karena telah berhasil menaklukkan para pejuang
Aceh dan mereka meragukannya.
Awal Penetapan Kota Banda Aceh
Setelah 89 tahun nama Banda Aceh
Darussalam telah dikubur dan Kutaraja dihidupkan, maka pada tahun 1963
Banda Aceh dihidupkan kembali, hal ini berdasarkan Keputusan Menteri
Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah bertanggal 9 Mei 1963 No. Des
52/1/43-43. Dan semenjak tanggal tersebut resmilah Banda Aceh menjadi
nama ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam bukan lagi Kutaraja
hingga saat ini.
Sejarah duka kota Banda Aceh yang masih
segar dalam ingatan adalah terjadinya bencana gempa dan tsunami pada
hari Minggu tanggal 26 Desember 2004 jam 7:58:53 telah menghancurkan
sepertiga wilayah Kota Banda Aceh. Ratusan ribu jiwa penduduk menjadi
korban bersama dengan harta bendanya menambah kegetiran warga Kota
Banda Aceh. Bencana gempa dan tsunami ini dengan kekuatan 8,9 SR
tercatat sebagai peristiwa terbesar sejarah dunia dalam masa dua abad
terakhir ini.
Kini Kota Banda Aceh telah mulai pulih
kembali, kedamaian telah menjelma setelah perjanjian damai di Helsinki
antara pemerintah RI dan GAM seiring dengan proses rehabilitasi dan
rekontruksi Kota Banda Aceh yang sedang dilaksanakan. Membangun kembali
Kota Banda Aceh ke depan selain dilaksanakan oleh pemerintah pusat
melalui Badan Pelaksana Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh dan Nias
(BRR) serta bantuan dari badan-badan dunia dan berbagai Negara Donor
bersama NGO, Pemerintah Kota Banda Aceh telah menetapkan
kebijakan-kebijakan pembangunan yang disepakati bersama DPRD Kota Banda
Aceh yang dituangkan dalam Rencana Strategis Kota Banda Aceh tahun
2005-2009, selanjutnya dituangkan dalam program kegiatan tahunan melalui
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Banda Aceh. Dengan
kedamaian yang telah diraih ini dan melalui proses rehabilitasi dan
rekonstruksi, Banda Aceh mulai bangkit kembali, cahaya terang membawa
harapan untuk meraih cita-cita bagi kemajuan dan kesejahteraan
masyarakat.
Situs Sejarah Kota Banda Aceh1. Prasasti Neusu
Prastasti ini di temukan pertama sekali di pagar sebuah Langgar Neusu Aceh Kecamatan Baiturrahman Banda Aceh berbentuk “Yopa” berbahasa Tamil kuno berasa dari abad ke 11 Masehi.
Parastasti ini di temukan pada tanggal 3 Desember 1990 oleh Ibrahim Kaoy Jabatan sebagai Kakanwil Depdikbud Aceh, Prastasti ini disebut Prastasti Bersurat karena banyak guratan – guratan kecil dan memenuhi batu prastasti itu, mengenai isi dari pesan yang tertulis di batu ini sampai sekarang belum ada data terjemahannya. Prastasti ini bisa menjadi bukti bahwa sebelum kerajaan islam ada di Banda Aceh telah ada peradaban lain atau kerajaan lain yang beragama hindu atau budha.
2. Makam Sultan Iskandar Muda
Jaman keemasan kerajaan Aceh dulu terjadi pada Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, beliau adalah keturunan dari dua dinasti yaitu Dinasti Mahkota Alam dan Dinsti Darul-Kamal, ibunya Putri Raja Indra Bangsa / Paduka Syah Alam dan bapak bernama Mansur Syah, tanggal kelahiran Sultan Iskandar Muda belum di ketahui secara pasti tapi menurut hikayat, Putri Raja Indra Bangsa memerintah pada tahun 1579 sampai 1586 hamil beberapa waktu setelah menikah, dan juga cerita dari Best pada tahun 1613 umur sultan 32 tahun berarti dapat di kira-kira sultan lahir pada tahun 1583, ada juga versi di makam pusara beliu tertulis tahun kelahiran 1590, Sultan Iskandar Muda memerintah tahun 1607-1636 .
3. Istana Kerajaan Aceh Darussalam
Pada Zaman Snouck Hurgronje Istana itu Bertempat di tengah-tengah kota dan menjadi inti daerah dengan nama Banda Aceh yang di kelilingi gampong-gampong sepertih Gampong Pande, Gampong Jawa, Gampong Peunayong dst. Banda itu sendiri barasal dari kata Parsi yaitu bandar (Pelabuhan). Sebuah Gambar oleh Beaulieu pintu tempat-tempat masuk menuju istana kelilingnya lebih dari setengah mil (kira-kira 2 Kilometer) berbentuk hampir bulat bujur dan sekelilingnya ada parit yang dalamnya 25 sampai 30 kaki (10 m) dan sama lebar, agak sukar dilalalui terjal dan penuh semak, tidak terdapat dinding pertahanan dan benteng-benteng di sekeliling istana, dibagian dalam pelataran-pelataran dan bangunan-bangunan mengalir sungai kecil dibawahnya, itu masih bisa terlihat sampai sekarang krueng Daroi itu yang mengalir dari selatan membelah Kraton (Pendopo Gubernur) lalu bermuara ke Krueng Aceh.
4. Gunongan
Dinamakan Gunongan karena bentuknya menyurupai gunung, ditengah tengahnya terdapat menara dan sebuah gua yang di kapur seperti perak, Sultan Aceh mendirikan bangunan itu untuk permaisurinya Putro Phang (Anak Sultan Johor) yang rindu kampung halamanya, tepat ini digunakan juga untuk bersenang-senang dan bermain Putro Phang dan disebut Taman Sari Gunungan.
5. Kandang Pemakaman Raja-Raja Aceh
Kandang adalah tempat pemakaman raja-raja, yang bertempat di kawasan keraton dan museum Aceh dan Gampong Pande.
.
Pinto Khop yang terletak di Jln. Sultan Alaidin Mahmudsyah, Kota Banda Aceh adalah salah satu pintu masuk ke Taman Dalam di bangun pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Pinto Khop merupakan pintu penghubung antara Istana dan Taman Putroe Phang. Pinto Khop ini merupakan pintu gerbang berbentuk kubah. Pintu Khop ini merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan, disanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Disana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri mandi bunga. Ditempat itu pula oleh Sultan dibangun sebuah perpustakaan dan menjadi tempat sang permaisuri serta Sultan menghabiskan waktu sambil membaca buku selepas berenang, keramas dan mandi bunga.
Pinto Khop yang terletak di Jln. Sultan Alaidin Mahmudsyah, Kota Banda Aceh adalah salah satu pintu masuk ke Taman Dalam di bangun pada masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Pinto Khop merupakan pintu penghubung antara Istana dan Taman Putroe Phang. Pinto Khop ini merupakan pintu gerbang berbentuk kubah. Pintu Khop ini merupakan tempat beristirahat Putri Phang, setelah lelah berenang, letaknya tidak jauh dari Gunongan, disanalah dayang-dayang membasuh rambut sang permaisuri. Disana juga terdapat kolam untuk sang permaisuri mandi bunga. Ditempat itu pula oleh Sultan dibangun sebuah perpustakaan dan menjadi tempat sang permaisuri serta Sultan menghabiskan waktu sambil membaca buku selepas berenang, keramas dan mandi bunga.
7. Rumoh Aceh
A. Asal-usul Rumoh Aceh
Kepercayaan individu atau masyarakat dan
kondisi alam di mana individu atau masyarakat hidup mempunyai pengaruh
signifikan terhadap bentuk arsitektur bangunan, rumah yang dibuat. Hal
ini dapat dilihat pada arsitektur Rumoh Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Indonesia. Rumoh Aceh merupakan rumah panggung dengan
tinggi tiang antara 2,50 – 3 meter, terdiri dari tiga atau lima ruang,
dengan satu ruang utama yang dinamakan rambat. Rumoh dengan tiga ruang
memiliki 16 tiang, sedangkan Rumoh dengan lima ruang memiliki 24 tiang.
Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan
dengan mudah, tinggal menambah atau menghilangkan bagian yang ada di
sisi kiri atau kanan rumah. Bagian ini biasa disebut seuramoe likot
atau serambi belakang dan seuramoe reunyeun atau serambi bertangga,
yaitu tempat masuk ke Rumoh yang selalu berada di sebelah timur.
Pintu utama Rumoh Aceh tingginya selalu
lebih rendah dari ketinggian orang dewasa. Biasanya ketinggian pintu
ini hanya berukuran 120 – 150 cm sehingga setiap orang yang masuk ke
Rumoh Aceh harus menunduk. Namun, begitu masuk, kita akan merasakan
ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot berupa
kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas tikar ngom (dari
bahan sejenis ilalang yang tumbuh di rawa) yang dilapisi tikar pandan.
Rumoh Aceh bukan sekedar tempat hunian,
tetapi merupakan ekspresi keyakinan terhadap Tuhan dan adaptasi
terhadap alam. Oleh karena itu, melalui Rumoh Aceh kita dapat melihat
budaya, pola hidup, dan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat Aceh.
Adaptasi masyarakat Aceh terhadap lingkungannya dapat dilihat dari
bentuk Rumoh Aceh yang berbentuk panggung, tiang penyangganya yang
terbuat dari kayu pilihan, dindingnya dari papan, dan atapnya dari
rumbia. Pemanfaatan alam juga dapat dilihat ketika mereka hendak
menggabungkan bagian-bagian rumah, mereka tidak menggunakan paku tetapi
menggunakan pasak atau tali pengikat dari rotan. Walaupun hanya
terbuat dari kayu, beratap daun rumbia, dan tidak menggunakan paku,
Rumoh Aceh bisa bertahan hingga 200 tahun.
Pengaruh keyakinan masyarakat Aceh
terhadap arsitektur bangunan rumahnya dapat dilihat pada orientasi
rumah yang selalu berbentuk memanjang dari timur ke barat, yaitu bagian
depan menghadap ke timur dan sisi dalam atau belakang yang sakral
berada di barat. Arah Barat mencerminkan upaya masyarakat Aceh untuk
membangun garis imajiner dengan Ka’bah yang berada di Mekkah. Selain
itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang
penyangganya yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu
ganjil dan anak tangganya yang berjumlah ganjil.
Selain sebagai manifestasi dari
keyakinan masyarakat dan adaptasi terhadap lingkungannya, keberadaan
Rumoh Aceh juga untuk menunjukan status sosial penghuninya. Semakin
banyak hiasan pada Rumoh Aceh, maka pastilah penghuninya semakin kaya.
Bagi keluarga yang tidak mempunyai kekayaan berlebih, maka cukup dengan
hiasan yang relatif sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali.
Seiring perkembangan zaman yang menuntut
semua hal dikerjakan secara efektif dan efisien, dan semakin mahalnya
biaya pembuatan dan perawatan Rumoh Aceh, maka lambat laun semakin
sedikit orang Aceh yang membangun rumah tradisional ini. Akibatnya,
jumlah Rumoh Aceh semakin hari semakin sedikit. Masyarakat lebih memilih
untuk membangun rumah modern berbahan beton yang pembuatan dan
pengadaan bahannya lebih mudah daripada Rumoh Aceh yang pembuatannya
lebih rumit, pengadaan bahannya lebih sulit, dan biaya perawatannya
lebih mahal. Namun, ada juga orang-orang yang karena kecintaannya
terhadap arsitektur warisan nenek moyang mereka ini membuat Rumoh Aceh
yang ditempelkan pada rumah beton mereka.
Keberadaan Rumoh Aceh merupakan
cerminan dari nilai-nilai hidup yang dijalankan oleh masyarakat Aceh.
Oleh karena itu, melestarikan Rumoh Aceh berarti juga melestarikan
eksistensi masyarakat Aceh itu sendiri.
B. Bahan-bahan
Untuk membuat Rumoh Aceh, bahan-bahan yang diperlukan di antaranya adalah:
- Kayu. Kayu merupakan bahan utama untuk membuat Rumoh Aceh. Kayu digunakan untuk membuat tameh (tiang), toi, roek, bara, bara linteung, kuda-kuda, tuleueng rueng, indreng dan lain sebagainya.
- Papan, digunakan untuk membuat lantai dan dinding.
- Trieng (bambu). Bambu digunakan untuk membuat gasen (reng), alas lantai, beuleubah (tempat menyemat atap) dan lain sebagainya.
- Enau (temor). Selain menggunakan bambu, adakalanya untuk membuat lantai dan dinding Rumoh Aceh menggunakan enau.
- Taloe meu-ikat (tali pengikat). Tali pengikat biasanya dibuat dari tali ijuk, rotan, kulit pohon waru dan terkadang menggunakan tali plastik.
- Oen meuria (daun rumbia), digunakan untuk membuat atap.
- Daun enau. Selain mengunakan oen meuria, terkadang untuk membuat atap menggunakan daun enau.
- Peuleupeuk meuria (pelepah rumbia). Bahan ini digunakan untuk membuat dinding rumah, rak-rak dan sanding.
Bagi masyarakat Aceh, membangun rumah
bagaikan membangun kehidupan itu sendiri. Hal itulah mengapa
pembangunan yang dilakukan haruslah memenuhi beberapa persyaratan dan
melalui beberapa tahapan. Persyaratan yang harus dilakukan misalnya
pemilihan hari baik yang ditentukan oleh Teungku (ulama setempat),
pengadaan kenduri, pengadaan kayu pilihan dan sebagainya. Oleh karena
proses pembuatan Rumoh Aceh dilakukan secara cermat dengan berlandaskan
kepada pengetahuan lokal masyarakat, maka Rumoh Aceh walaupun terbuat
dari kayu mampu bertahan hingga ratusan tahun lamanya.
Adapun tahapan-tahapan pembangunan Rumoh Aceh adalah:
- Musyawarah.
- Pengumpulan bahan.
- Pengolahan bahan.
- Perangkaian bahan.
Tahapan paling awal untuk mendirikan
Rumoh Aceh adalah melakukan musyawarah keluarga. Kemudian dilanjutkan
dengan memberitahukan rencana pendirian rumah tersebut kepada Teungku.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan saran-saran tentang apa yang harus
dilakukan agar rumah yang dibangun dapat memberikan ketenangan,
ketenteraman dan sejahtera baik lahir maupun batin kepada penghuninya.
Setelah mendapatkan saran-saran dari
Teungku, dilanjutkan dengan pengadaan bahan. Pengadaan bahan-bahan
dilakukan secara gotong royong. Kayu yang baik adalah kayu yang tidak
dililiti akar dan apabila kayu ditebang, rebahnya tidak menyangkut kayu
yang lain. Kayu-kayu tersebut kemudian dikumpulkan di suatu tempat
yang terlindung dari hujan. Jika waktu pembangunan masih lama,
adakalanya bahan-bahan tersebut direndam terlebih dahulu di dalam air,
tujuannya agar kayu-kayu tersebut tidak dimakan rayap.
Tahap berikutnya adalah mengolah kayu
sesuai dengan kegunaannya masing-masing. Setelah semuanya siap, maka
dimulailah pendirian Rumoh Aceh. Pendirian awal Rumoh Aceh ditandai
dengan pembuatan landasan untuk memancangkan kayu. Kayu yang pertama
dipancangkan adalah tiang utama (tiang raja) dan dilanjutkan dengan
tiang-tiang yang lain. Setelah semua tiang terpancang, dilanjutkan
dengan pembuatan bagian tengah rumah, yang meliputi lantai rumah dan
dinding rumah. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan bagian atas rumah
yang diakhiri dengan pemasangan atap. Bagian terakhir pembangunan Rumoh
Aceh adalah finishing, yaitu pemasangan ornamen pendukung seperti
ragam hiasan dan sebagainya.
D. Bagian-bagian Rumoh Aceh
1. Bagian Bawah
Bagian bawah Rumoh Aceh atau yup moh
merupakan ruang antara tanah dengan lantai rumah. Bagian ini berfungsi
untuk tempat bermain anak-anak, kandang ayam, kambing dan itik. Tempat
ini juga sering digunakan kaum perempuan untuk berjualan dan membuat
kain songket Aceh.
Tempat ini juga digunakan untuk
menyimpan jeungki atau penumbuk padi dan krong atau tempat menyimpan
padi berbentuk bulat dengan diameter dan ketinggian sekitar dua meter.
2. Bagian Tengah
Bagian tengah Rumoh Aceh merupakan
tempat segala aktivitas masyarakat Aceh baik yang bersifat privat
ataupun bersifat public. Pada bagian ini, secara umum terdapat tiga
ruangan, yaitu: ruang depan, ruang tengah dan ruang belakang.
- Ruang depan (seuramoe reunyeun). Ruangan ini disebut juga Seuramoe-keu (serambi depan). Disebut ruang atau serambi depan karena di sini terdapat reunyeun atau tangga untuk masuk ke rumah. Ruangan ini tidak berkamar-kamar dan pintu masuk biasanya terdapat di ujung lantai di sebelah kanan. Tapi ada pula yang membuat pintu menghadap ke halaman, dan tangganya di pinggir lantai. Dalam kehidupan sehari-hari ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur-tiduran anak laki-laki dan tempat anak-anak belajar mengaji. Pada saat-saat tertentu misalnya pada waktu ada upacara perkawinan atau upacara kenduri, maka ruangan ini dipergunakan untuk makan bersama.
- Ruang tengah. Ruangan ini merupakan inti dari Rumoh Aceh, oleh
karenanya disebut Rumoh Inong (rumah induk). Lantai pada bagian ini
lebih tinggi dari ruangan lainnya, dianggap suci dan sifatnya sangat
pribadi. Di ruangan ini terdapat dua buah bilik atau kamar tidur yang
terletak di kanan-kiri dan biasanya menghadap utara atau selatan dengan
pintu menghadap ke belakang. Di antara kedua bilik tersebut terdapat
gang (rambat) yang menghubungkan ruang depan dan ruang belakang.
Fungsi Rumoh Inong adalah untuk tidur kepala keluarga dan Anjong untuk tempat tidur anak gadis. Bila anak perempuannya kawin, maka dia akan menempati Rumoh Inong sedang orang tuanya pindah ke Anjong. Bila anak perempuannya yang kawin dua orang, orang tua akan pindah ke serambi atau seuramoe likot, selama belum dapat membuat rumah baru atau menambah/memperlebar rumahnya. Di saat ada acara perkawinan, mempelai di persandingkan di Rumoh Inong, begitu pula bila ada kematian Rumoh Inong dipergunakan sebagai tempat untuk memandikan mayat.
- Ruang belakang disebut seuramoe likot.
Lantai seuramoe likot tingginya sama dengan seuramoe reunyeun (serambi
depan) dan ruangan ini pun tidak berbilik. Fungsi ruangan ini sebagian
dipergunakan untuk dapur dan tempat makan dan biasanya terletak di
bagian timur ruangan. Selain itu juga dipergunakan untuk tempat
berbincang-bincang bagi para wanita serta melakukan kegiatan
sehari-hari seperti menenun dan menyulam.
Namun, adakalanya dapur dipisah dan berada di bagian belakang serambi belakang. Ruangan ini disebut Rumoh dapu (dapur). Lantai dapur sedikit lebih rendah dibanding lantai serambi belakang.
Bagian ini terletak di bagian atas
serambi tengah. Adakalanya, pada bagian ini diberi para (loteng) yang
berfungsi untuk menyimpan barang-barang keluarga. Atap Rumoh Aceh
biasanya terbuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah
dibelah kecil-kecil.
E. Ragam Hiasan
Dalam Rumoh Aceh, ada beberapa motif hiasan yang dipakai, yaitu:
- Motif keagamaan. Hiasan Rumoh Aceh yang bercorak keagamaan merupakan ukiran-ukiran yang diambil dari ayat-ayat al-Quran.
- Motif flora. Motif flora yang digunakan adalah stelirisasi tumbuh-tumbuhan baik berbentuk daun, akar, batang, ataupun bunga-bungaan. Ukiran berbentuk stelirisasi tumbuh-tumbuhan ini tidak diberi warna, jikapun ada, warna yang digunakan adalah Merah dan Hitam. Ragam hiasan ini biasanya terdapat pada reunyeun (tangga), dinding, tulak angen, kindang, balok pada bagian kap dan jendela rumah.
- Motif fauna. Motif binatang yang biasanya digunakan adalah binatang-binatang yang sering dilihat dan disukai.
- Motif alam. Motif alam yang digunakan oleh masyarakat Aceh di antaranya adalah: langit dan awannya, langit dan bulan, dan bintang dan laut.
- Motif lainnya, seperti rantee, lidah dan lain sebagainya.
Wujud dari arsitektur Rumoh Aceh
merupakan cerminan dari kearifan dalam menyikapi alam dan keyakinan
(religius) masyarakat Aceh. Arsitektur rumah berbentuk panggung dengan
menggunakan kayu sebagai bahan dasarnya merupakan bentuk adaptasi
masyarakat Aceh terhadap kondisi lingkungannya. Secara kolektif pula,
struktur rumah tradisi yang berbentuk panggung memberikan kenyamanan
tersendiri kepada penghuninya. Selain itu, struktur rumah seperti itu
memberikan nilai positif terhadap sistem kawalan sosial untuk menjamin
keamanan, ketertiban dan keselamatan warga gampong (kampung). Sebagai
contoh, struktur rumah berbentuk panggung membuat pandangan tidak
terhalang dan memudahkan sesama warga saling menjaga rumah serta
ketertiban gampong.
Kecerdasan masyarakat dalam menyikapi
kondisi alam juga dapat dilihat dari bentuk Rumoh Aceh yang menghadap
ke utara dan selatan sehingga rumah membujur dari timur ke barat.
Walaupun dalam perkembangannya dianggap sebagai upaya masyarakat Aceh
membuat garis imajiner antara rumah dan Ka’bah (motif keagamaan),
tetapi sebelum Islam masuk ke Aceh, arah rumah tradisional Aceh memang
sudah demikian. Kecenderungan ini nampaknya merupakan bentuk penyikapan
masyarakat Aceh terhadap arah angin yang bertiup di daerah Aceh, yaitu
dari arah timur ke barat atau sebaliknya. Jika arah Rumoh Aceh
menghadap ke arah angin, maka bangunan rumah tersebut akan mudah rubuh.
Di samping itu, arah rumah menghadap ke utara-selatan juga dimaksudkan
agar sinar matahari lebih mudah masuk ke kamar-kamar, baik yang berada
di sisi timur ataupun di sisi barat. Setelah Islam masuk ke Aceh, arah
Rumoh Aceh mendapatkan justifikasi keagamaan. Nilai religiusitasnya
juga dapat dilihat pada jumlah ruang yang selalu ganjil, jumlah anak
tangga yang selalu ganjil dan keberadaan gentong air untuk membasuh
kaki setiap kali hendak masuk Rumoh Aceh.
Musyawarah dengan keluarga, meminta
saran kepada Teungku, dan bergotong royong dalam proses pembangunannya
merupakan upaya untuk menumbuhkan rasa kekeluargaan, menanamkan rasa
solidaritas antar sesama dan penghormatan kepada adat yang berlaku.
Dengan bekerjasama, permasalahan dapat diatasi dan harmoni sosial dapat
terus dijaga. Dengan mendapatkan petuah dari Teungku, maka rumah yang
dibangun diharapkan dapat memberikan keamanan secara jasmani dan
ketentraman secara rohani.
Tata ruang rumah dengan beragam jenis
fungsinya merupakan simbol agar semua orang taat pada aturan. Adanya
bagian ruang yang berfungsi sebagai ruang-ruang privat, seperti Rumoh
Inong, ruang publik, seperti serambi depan, dan ruang khusus perempuan,
seperti serambi belakang merupakan usaha untuk menanamkan dan menjaga
nilai kesopanan dan etika bermasyarakat. Keberadaan tangga untuk
memasuki Rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai alat untuk naik ke
bangunan rumah, tetapi juga berfungsi sebagai titik batas yang hanya
boleh didatangi oleh tamu yang bukan anggota keluarga atau saudara
dekat. Apabila di rumah tidak ada anggota keluarga yang laki-laki, maka
”pantang dan tabu” bagi tamu yang bukan keluarga dekat (muhrim) untuk
naik ke rumah. Dengan demikian, reunyeun juga memiliki fungsi sebagai
alat kontrol sosial dalam melakukan interaksi sehari-hari antar
masyarakat.
Pintu utama rumah yang tingginya selalu
lebih rendah dari ketinggian orang dewasa, sekitar 120-150 cm,
sehingga setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh harus menunduk,
mengandung pesan bahwa setiap orang yang masuk ke Rumoh Aceh, tidak
peduli betapa tinggi derajat atau kedudukannya, harus menunduk sebagai
tanda hormat kepada yang punya rumah. Namun, begitu masuk, kita akan
merasakan ruang yang sangat lapang karena di dalam rumah tak ada perabot
berupa kursi atau meja. Semua orang duduk bersila di atas lantai. Ada
juga yang menganggap bahwa pintu Rumoh Aceh diibaratkan hati orang
Aceh. Memang sulit untuk memasukinya, tetapi begitu kita masuk akan
diterima dengan lapang dada dan hangat.
Pelaksanaan upacara baik ketika hendak
mendirikan rumah, sedang mendirikan, dan setelah mendirikan rumah bukan
untuk memamerkan kekayaan tetapi merupakan ungkapan saling menghormati
sesama makhluk Tuhan dan juga sebagai bentuk ungkapan syukur atas
rizqi yang telah diberikan oleh Tuhan.
Dengan mengetahui nilai-nilai yang
terkandung dalam Rumoh Aceh, maka kita akan mampu memahami dan
menghargai beragam khazanah yang terkandung di dalamnya. Bisa saja,
karena perubahan zaman, arsitektur Rumoh Aceh berubah, tetapi dengan
memahami dan memberikan pemaknaan baru terhadap simbol-simbol yang
digunakan, maka nilai-nilai yang hendak disampaikan oleh para pendahulu
dapat terjaga dan tetap sesuai dengan zamannya.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar