Syeikh Nurruddin Ar-Raniry lahir pada abad
ke-10 H atau 16 M di Ranir wilayah Surat, Gujarat, pantai barat India. Ayahnya
Ali Ar-Raniry dan ibunya asli orang Melayu.
Ulama yang namanya
ditabalkan pada Institus Agama Islam Negeri (IAIN) di Darussalam, Banda Aceh
ini, dalam faham keislamannya, sangat bertolak belakang dengan faham wujudiah
yang diajarkan oleh ulama Aceh seangkatannya; Hamzah Fansuri.
Penetangannya terhadap Wujudiah, dituangkan
dalam kitab Ma’a al-Hayat Li al-Mamat. Yang berisikan bantahan-bantahan
terhadap ajaran Wujudiah. Salah satu alasannya menentang ajaran Wujudiah dalam
kitab tersebut adalah tentang ke-Esaan wujud Tuhan dengan wujud alam dan
manusia. Alasannya, jika benar Tuhan dan makhluk itu hakikatnya satu, maka
semua makhluk ciptaan Allah adalah Allah. Hal ini menurutnya mengartikan bahwa
apa yang dimakan, diminum, dan dibakar itu adalah Allah. Dengan demikian
berarti semua perbuatan manusia dan makhluk lainnya, seperti membunuh dan
mencuri adalah perbuatan Allah (Ahmad Daudi,1978).
Sikapnya yang
menentang ajaran Wujudiah tersebut didukung oleh Sultan Iskandar Thani, sehingga
tak lama kemudian dia pun diangkat menjadi Mufti kerajaan Aceh. Maka semakin
mudahlah jalan baginya untuk melakukan pembaharuan di Aceh.
“…dan lalu pula
katanya tamsil seperti matahari dengan cahaya, dengan panas, namanya tiga,
rupanya tiga, hakikatnya satu jua. Maka I’tikad seperti ini adalah I’tikad
Nasrani bahwa wujud (tuhan) tiga. Pertama wujud bapa, ke dua wujud ibu, ke tiga
wujud anak… Jauhilah wahai semua (orang) yang beriman.”
Itulah sepenggal
analisis kritis Syeikh Nurruddin Ar-Raniri dalam kitabnya Tabyan fi ma’rifat
al-Adyan, terhadap isi kitap Muntha karangan Hamzah Fansuri yang menyebarkan
faham Wujudiah.
Berbagai kitab kemudian ditulisnya untuk mematahkan ajaran Wujudiah. Salah satunya dalam kitabnya Hujjah as-Siddiq Lidaf az-Zindik. Ia menulis: “Amat nyata kesalahan mereka itu, karena ditamsilkan mereka itu hak (Allah) Ta’ala dengan makhluk, seperti matahari dengan pa¬nas yang hadith keduanya: maka dihubungkannya mahkluk dengan hak (Allah) Ta’ala seperti perhubungan panas dengan matahari. Dan tiada sesuatu dari pada keduanya berhubungan, maka misal yang demi¬kian itu muhal, sekali-kali tiada diperoleh pada hak (Allah) Ta’ala…”.(DR. T. Iskandar)
Pertentangan Syeikh
Nurruddin Ar-Raniry dengan faham Wujudiah, semakin lama se-makin memuncak. Dan
atas anjurannya kemudian Sultan Iskandar Thani memerin-tahkan untuk membakar
semua kitab karangan Hamzah Fansuri dan Syeikh Shamsuddin Pasai, tentang
Wujudiah.
Setelah kitab-kitab
itu dibakar, maka atas perintah Sultan Iskandar Thani kala itu, Syeikh
Nurruddin Ar-Raniry kemudian mengarang kitab Bustanus Salatin, kitab itu mulai
ditulis pada tanggal 17 Syawal 1047 H.
Kitab tersebut
merupakan karya Syeikh Nurruddin Ar-Raniry terbesar diantara sejumlah
karya-karyanya. Dan merupakan karya terbesar pula yang pernah ditulis oleh
pengarang-pengarang Melayu. Sampai sekarang kitab ini masih menjadi bahan
kajian para sejarawan manca-negara.
Setelah berhasil memerangi faham Wujudiah selama tujuh tahun di Aceh, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry pada tahun 1045 H, kembali ke kampung halamannya di Ranir. Sampai di sana ia mengarang kitab Rahik Al-Muhammadiyyah fi Tariq as-Sufiyah (Minuman bagi Umat Muhammad pada jalan tasawuf)
Tapi sebelum kitab
itu rampung ditulisnya, ulama besar ini, yang telah membebaskan masyarakat Aceh
dari pengaruh Wujudiah, meninggal dunia pada 22 Zulhijjah 1069 H. kitab
tersebut kemudian ditamatkan oleh Syeikh Salah ad-Din Ibrahim Ibnu Abdullah
dengan jalan memasukkan khutbah ke dalamnya.
Dari Ranir ke Aceh
Syeikh Nurruddin Ar-Raniry bernama lengkap Nurruddin Muhammad Bin Ali Bin Hasan Muhammad Hamid Ar-Raniry al-Quraisyi Asy-Syafii. Ia merupakan seorang sarjana India berkebangsaan Arab, lahir di daerah Ranir (sekarang Rander) suatu Bandar dekat Surat di Gujarat, India. Ranir saat itu merupakan sebuah kota pelabuhan yang ramai dikunjungi dan didiami oleh berbagai bangsa seperti Turki, Mesir, Arab, Persia dan juga dari negara-negara Asia Tenggara.
Tentang sejarah
tokoh sufi ini, telah ditulis oleh beberapa sejarawan Belanda, seperti P.
Voorhoeve dalam bukunya Van en Over Nurruddin Ar-Raniry dan Twee Maleische
Geschriften Van Nurruddin Ar-Raniry, terbitan Leiden University. Belanda.
Kemudian ada lagi
G.W.J. Drewes, juga berkebangsan Belanda, dalam buku De Herkomst Van Nurruddin
Ar-Raniry. Jejak kedua sejarawan ini kemudian diikuti oleh rekan sebangsanya
C.A.O Van Nieuwenhuijze, yang menulis buku Nur al-Din Ar-Raniry, als Bestrijder
de Wugudiyah, yang mengupas tentang pertentangan Ar-Raniry dengan Hamzah Fansuri
yang menyebarkah faham Wujudiah.
Masa kecil Syeikh
Nurruddin Ar-Raniry dihabiskan untuk mempelajari Islam di daerahnya. Dalam ilmu
sufi dan tarekat, ia berguru pada As-Sayyid Umar Ibnu Abdullah Ba Saiban. Setelah
dewasa, ia melanjutkan studinya ke Tarim, Arab Selatan.
Tahun 1030 H (1621
M) hijrah ke Mekkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji. Di Arab, ia terus
memperdalam ilmunya, karena saat itu banyak orang Melayu di tanah suci, maka
kesempatan itu juga digunakannya untuk mempelajari bahasa Melayu. Setelah
memantapkan ilmunya di Arab, ia kembali lagi ke Ranir.
Tapi saat itu,
suasana Ranir sudah lain, karena terjadi persaingan dalam perdagangan dengan
orang Islam, Portugis melakukan agresi ke kota pelabuhan itu pada tahun 1530.
Ketika Ranir jatuh ke tangan Portugis, maka kota perdagangan Islam dipindahkan
ke daerah Surat, sebagai kota pelabuhan baru di Gujarat.
Akibat dari agresi
Portugis itu banyak dari pedagang-pedagang Islam yang meninggalkan Ranir dan
mencari pusat perdagangan lain. Selain Surat dan daerah sekitar India, kerajaan
Aceh yang sudah maju di bidang perdagangan ekspor-impor, juga merupakan tujuan yang
banyak dipilih oleh mereka.
Selain pedagang,
tokoh agama pun banyak yang hijrah ke Aceh. Salah satunya yang berhasil merebut
hati raja kerajaan Aceh saat itu adalah Sultan Iskandar Thani yang tak lain
adalah Syeikh Nurruddin Ar-Raniry. Ia datang ke Aceh pada tahun 1637.
Tapi sebelumnya,
pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, Syeikh Nurruddin Ar-Raniry telah
datang ke Aceh. Namun, karena adanya pertentangan faham dengan Syeikh
Shamsuddin Pasai, guru dan penasehat Sultan Iskandar Muda, ia tidak menetap di
Aceh, tapi di daerah semenanjung Melayu.
Di sana ia
mempelajari kitab-kitab sastra Melayu yang berisikan sejarah dan pegangan
raja-raja serta pembesar kerajaan dalam memimpin menurut Islam. Seperti:
Hikayat Iskandar Zulkarnain, kitab Tajussalatin dan sejarah Melayu, serta
beberapa kitab lainnya yang sudah ditulis masa itu.
Karya-karya Besar
Syeikh Nurruddin Ar-Raniry:
1.
Kitab Al-Shirath al-Mustaqim
2.
Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah
3.
Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib
4.
Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin
5.
Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi
6.
Kitab Latha’if al-Asrar
7.
Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
8.
Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
9.
Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
10.
Kitab Hill al-Zhill
11.
Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
12.
Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
13.
Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
14.
Kitab Syifa’u’l-Qulub
15.
Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
16.
Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
17.
Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
18.
Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
19.
Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
20.
Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
22.
Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
23.
Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
24.
Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
25.
Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
26.
Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
27.
Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
28.
Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
29.
Kitab Syadar al-Mazid
Kitab-kitab
tersebut kemudian diperbaharuinya. Selama di Semenanjung Melayu dia menulis dua
buah kitab, kitab Durrat al-Fara’id dan Hidayat al-Habib. Kedua kitab inilah
yang dibawanya ke Aceh masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani, karena Sultan
Iskandar Muda dan juga Syeikh Shamsuddin Pasai, guru dan penasehatnya sudah
mangkat. Sheikh Nurruddin Ar-Raniry diterima dengan baik oleh Sultan Iskandar
Thani.
Tapi tak mudah
baginya untuk membawa faham Syafii ke Aceh kala itu, karena di Aceh telah
berkembang faham Wujudiah yang disebarkan oleh Hamzah Fansuri. Syeikh Nurruddin
Ar-Raniry menentang keras faham Wujudiah kala itu. menurutnya ajaran Hamzah
Fansuri tersebut merupakan aliran sesat yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Ar Raniry di Taman
Raja-raja Kebesaran Syeikh Nuruddin Ar Raniry, salah satunya terdapat dalam
kitab Bustanussalatin, yang merupakan kitab terkenal mufti kerajaan Aceh
tersebut. Kitab itu ditulis pada tahun 1637 M (1047 H), pada masa Kerajaan Aceh
dipimpin Sultan Iskandar Thani.
Dalam kitab itu
digambarkan keindahan Taman Ghairah, yakni taman para raja. Ar Raniry menulis. “Pada zaman bagindalah berbuat suatu
bustan, yaitu kebun, terlalu indah-indah, kira-kira seribu depa luasnya. Maka
ditanami berbagai bunga-bungaan dan aneka buah-buahan. Digelar Baginda bustan
itu Taman Ghairah.”
Keindahan Taman
Ghairah yang disebutkan dalam kitab Bustanussalatin, pernah distulis oleh Dr
Hoesein Djajaninggrat pada tahun 1961 dalam bahasa Belanda, kemudian
diterjemahkan oleh Aboe Bakar dan Ibrahim Alfian. Diceritakan, taman gunung
(gunongan) di dalamnya sangat memukau.
Taman itu sangat
luas dan dialiri oleh sungai Darul Isyki, kini dikenal sebagai Krueng Daroy.
Taman itu dipenuhi tumbuhan buang dan buah. Di dalam taman juga terdapat
bangunan-bangunan yang terbuat dari batu pualam warna-warni, serta tiang-tiang
yang terbuat dari tembaga, perak, dan suasa yang berukir indah. Bangunan yang
masih tersisa sampai sekarang adalah gunongan dan pinto khop.
Dikisahkan dalam
Kitab Biustabussalatin, air sungai Darul Isylki sangat sejuk dan menyehatkan,
bersumber dari mata air di bawah jabalul a’la di arah magrib. Sekarang dikenal
sebagai tempat wisata pemandian Mata Ie.
Di pertengahan
jalur sungai Darul Isyki ditemukan sebuah pulau kecil bernama Pulau Sangga
Marmar, berlais batu dan dikelilingi karang aneka warna yang disebut
Pancalogam. Ada pula jembatan besar yang indah yang dinamai Rambut Kamalai.
Diceritakan pula
berbagai jenis batu yang dipakai sebagai tarupan tanah dan lereng, serta tebing
sungai, diselingi oleh taman bunga dan berbagai pohon yang berbuah. Oleh sultan
Aceh, taman ini digelar Taman Ghairah. (Taman di dalam istana daruddunya
kerajaan Aceh Darussalam)
Begitulah Nuruddin
Ar Raniry menggambarkan keindahan dalam Bustanussalatin. Marwah taman itu bukan
saja karena aneka bangunan mungil yang sesak dengan berbagai material
pembangunannya, tapi juga oleh beragam jenis tanaman bunga dan buah yang membuat
keasrian taman sangat alami.
sumber referensi
http://foregone0.blogspot.com/2013/01/syeikh-nuruddin-ar-raniry.html
0 #type=(blogger):
Posting Komentar