Rencana
pemerintah menerapkan kebijakan redenominasi Rupiah dapat menimbukan
efek positif dan negatif. Meski bukan suatu kebijakan yang populer untuk
saat ini, redenominasi Rupiah diyakini bermanfaat bagi generasi di masa
mendatang. Hal ini disampaikan pengamat ekonomi Telisa Aulia Falianty,
dalam diskusi yang diadakan Lembaga Kajian Keilmuan (LK2) FHUI, Kamis
(11/4).
Telisa
mengatakan, redenominasi bukanlah kebijakan yang sederhana seperti
membuang angka nol dari mata uang Rupiah. Menurutnya, redenominasi
merupakan kebijakan yang cukup complicated sehingga dibutuhkan
kajian yang mendalam. Redenominasi juga akan berdampak pada biaya yang
akan dikeluarkan oleh pemerintah maupun stake holder yang lain.
Dia
mencontohkan, jika kebijakan ini diterapkan maka pemerintah harus
menyiapkan biaya untuk mencetak uang baru dan melakukan sosialisasi.
Belum lagi dalam sektor perbankan yang harus menyesuaikan IT-nya karena
nominal yang berubah dari mata uang Rupiah.
“Memang
banyak pihak yang harus menanggung biaya redenominasi ini, namun kan
akan banyak pula keuntungan yang didapat dari kebijakan redenominasi
ini,” kata Telisa.
Sekadar
pengetahuan, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang menjadi
lebih kecil tanpa mengubah nilai tukarnya. Sedangkan sanering merupakan
pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal
yang sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli
masyarakat menurun.
Menurut
Telisa, redenominasi akan memberikan dampak positif dan negatif.
Kebijakan ini bisa menyelematkan generasi di masa yang akan datang.
Namun, redenominasi bisa mengorbankan generasi saat ini. “Generasi yang
akan datang tidak akan terkena dampak dari nilai nominal rupiah yang
membengkak,” ujarnya.
Dampak
positif lain dari redenominasi adalah Indonesia bisa lebih dipandang di
mata dunia. Sebab, saat ini kredibilitas mata uang Indonesia masih
dianggap rendah, sehingga perlu diambil kebijakan tersebut. Meski
mendukung rencana redenomiasi, Telisa menyarankan Bank Indonesia dan
pemerintah bekerja keras untuk mempersiapkan kebijakan itu.
Selain
itu, Kementerian Keuangan dan masyarakat harus berperan aktif memantau
kebijakan ini. “Kebijakan redenominasi ini merupakan internasional image
yang ingin ditonjolkan oleh pemerintah,” kata Telisa.
Ahli
Kebijakan Publik FHUI Bono Budi Priambodo memiliki pendapat lain.
Menurutnya, redenominasi Rupiah tidak perlu dilakukan. Dia menilai tidak
ada alasan yang fundamental dan mendesak untuk melakukan kebijakan
tersebut. Pemerintah, katanya, seolah ingin mempertahankan image di
dunia internasional, di mana jika redenominasi berhasil dilakukan maka
pemerintah akan dianggap berhasil melakukan restrukturisasi
perekonomian.
Dia
mengatakan, banyak masalah yang lebih mikro akibat kebijakan yang satu
ini, namun tidak dilihat oleh pemerintah. “Kebijakan ini hanya merupakan
urusan citra pemerintah yang memang mempedulikan pencitraan,” ujarnya
di acara yang sama.
Menurut
Bono, kebijakan redenominasi memberikan sinyal untuk menambah masalah
baru di tengah masyarakat. Salah satu masalah yang akan timbul adalah
dampak psikologis yang akan dirasakan masyarakat. Misalnya, harga-harga
kebutuhan pokok yang tidak disadari justru akan naik secara perlahan.
“Kita
ambil contoh sekarang yang biasanya harga makanan di rumah makan
Rp10ribu, jika ada redenominasi maka akan menjadi Rp10. Tentu bagi
masyarakat kelas bawah terjadi perubahan psikologis ketika pedagang
menaikan harga menjadi Rp15. Padahal harga Rp15 tersebut jika
dikonversikan sekarang setara dengan Rp15ribu,” jelas Bono.
Dia
melanjutkan, jika kebijakan redenominasi ini jadi dilakukan maka
disadari atau tidak akan terjadi inflasi yang merayap. Pemerintah, kata
Bono, tidak memihak kepada masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah
bila kebijakan ini dijalankan. Dia pun meminta pemerintah tidak melihat
redenominasi hanya dari aspek makro.
“Dari aspek mikro juga harus diperhatikan oleh pemerintah,” katanya.
Meski
demikian, Bono menilai kebijakan redenominasi bisaberhasil jika
pemerintah mampu mendisiplinkan pasar. Menurutnya, pemerintah harus kuat
untuk melakukan dan mengendalikan harga pasar. Tapi untuk saat ini, ia
tidak melihat pemerintah bisa melakukan hal tersebut, sehingga akan
sulit menerapkan redenominasi.
“Lah wong pemerintahnya
aja takmampu mengendalikan harga bawang, beras yang kian melambung.Jadi
bagaimana mungkin pemerintah bisa mendisiplinkan pasar,” sindir Bono.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar