14 Jun 2014

SYED MUHAMMAD NAQUID AL - ATTAS

Syed Naquib al-Attas lahir di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 September 1931. ia keturunan kerabat raja-raja Sunda Sukapura, Jawa Barat. Melalui silsilah/nasab ayahnya, ia termasuk keturunan bangsa Arab, yakni keturunan ahli tasawuf yang terkenal dari kalangan Sayid.
Sejak usia 5 tahun, ia telah mengenyam pendidikan, ketika ia di Johor Baru yang bersama saudara ayahnya Encik Ahcmad. Ia juga pernah belajar di Ngee Neng English Premery School di Johor Baru. Selama 4 tahun ia kembali di Sukabumi Jawa Barat dan belajar di Madrasah al- Urwatul Wustqa. Setelah itu, ia kembali ke Johor Baru melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan seterusnya di English College Johor Baru selama 3 tahun. Setelah itu ia masuk tentara.
Karir militer al-Attas dimulai di lasykar tertara gabungan Malaysia-Inggris dengan pangkat perwira kader, kecenderungannya dalam dunia militer ini membuat dia terpilih untuk mengikuti pendidikan militer di Easton Hall, Chaster, Inggris dari tahun 1952-1955. Sedangkan pangkat terakhir yang diraihnya di dunia militer ini adalah letnan.
Walaupun karir al-Attas sangat cemerlang di dunia militer, namun minat besarnya terhadap ilmu telah mendorongnya untuk meninggalkan dunia militer ini, dan sepenuhnya mencurahkan perhatiannya terhadap dunia ilmu. Karir akademiknya, setelah meninggalkan karir militer adalah masuk ke University of Malay, Singapore 1957-1959. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di McGill University untuk kajian keislaman (Islamic Studies) hingga memperoleh M.A. pada 1963. Selanjutnya dia mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studinya di School of Oriental and Arfican Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis. Di universitas ini, dia menekuni teologi dan metafisika, dan menulis disertasi doktornya tentang “Mistisisme Hamzah Fansuri”, yang sekarang telah diterbitkan dengan judul The Mysticism of Hamzah Fansuri (The University of Malay Press, Singapore, 1970).
Setelah tamat dari universitas London, dia kembali ke almamaternya, University Malay. Di sini dia bekerja sebagai dosen, dan tak lama kemudian diangkat sebagai Ketua Jurusan Sastra Melayu. Karir akademiknya terus menanjak dan di lembaga ini dia merancang dasar bahasa Malaysia, kemudian tahun 1970, dia tercatat sebagai salah satu pendiri University Kebangsaan Malaysia. Dan di universitas yang baru ini, dua tahun kemudian, dia diangkat sebagai profesor untuk Studi Sastra dan Kebudayaan Melayu, dan kemudian pada 1975, dia diangkat sebagai dekan fakultas sastra dan kebudayaan Melayu Universitas tersebut.
Otoritas al-Attas di bidang pemikiran sastra dan kebudayaan, khususnya dalam dunia Melayu dan Islam, tidak saja diakui oleh kalangan pemikir dan ilmuan kawasan Asia Tenggara, tapi juga kalangan internasional. Ini dapat dilihat dari sekian banyak penghargaan yang diberikan terhadapnya sehubungan dengan karir intelektualnya, khususnya dalam filsafat Islam. Diantaranya adalah pengangkatan sebagai anggota American Philoshopical Assocation, dan penghargaan sebagai filosof yang telah memberikan sumbangan besar bagi kebudayaan Islam dari Akademi Falsafah Maharaja Iran. Dan terakhir ia diserahi jabatan oleh Kementrian Pendidikan dan Olah Raga Malaysia untuk memimpin Institut Internasional Pemikiran da Tamaddun Islam, yaitu lembaga otonom yang berada pada Universitas Antar Bangsa, Malaysia.
          
Konsep Pendidikan menurut Naquib al-Attas
Ada beberapa istilah yang dipakai untuk menunjuk pengertian "pendidikan Islam" yang pengistilahan itu diambil dari lafad bahasa Arab (al-Qur'an) maupun al-sunnah. Misalnya dijumpai kata tarbiyah, ta'lim, dan ta'dib bahkan ada yang disebut riyadlah. Namun dalam pembahasan berikut ini akan disajikan konsep pendidikan Islam versi Naquib al-Attas.
Pemaparan konsep pendidikan Islam dalam pandangan al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah (lafad) ta’dib, daripada istilah-istilah lainnya. Pemilihan istilah ta’dib, merupakan hasil analisa tersendiri bagi al-Attas dengan menganalisis dari sisi semantik dan kandungan yang disesuaikan dengan pesan-pesan moralnya.
Sekalipun istilah tarbiyah dan ta’lim telah mengakar dan mempopuler, ia menempatkan ta’dib sebagai sebuah konsep yang dianggap lebih sesuai dengan konsep pendidikan Islam. Dalam penjelasan (Yunus, 1972:37-38), kata ta’dib sebagaimana yang menjadi pilihan al-Attas, merupakan kata (kalimat) yang berasal dari kata addaba yang berarti memberi adab, atau mendidik.
Dalam pandangan al-Attas, dengan menggunakan term di atas, dapat dipahami bahwa pendidikan Islam adalah proses internalisasi dan penanaman adab pada diri manusia. Sehingga muatan substansial yang terjadi dalam kegiatan pendidikan Islam adalah interaksi yang menanamkan adab. Seperti yang diungkapkan al-Attas, bahwa pengajaran dan proses mempelajari ketrampilan betapa pun ilmiahnya tidak dapat diartikan sebagai pendidikan bilamana di dalamnya tidak ditanamkan ‘sesuatu’ (Ismail SM, dalam Abdul Kholiq, dkk., 1999: 275)
Al-Attas melihat bahwa adab merupakan salah satu misi utama yang dibawa Rasulullah yang bersinggungan dengan umatnya. Dengan menggunakan term adab tersebut, berarti menghidupkan Sunnah Rasul. Konseptualisasinya adalah sebagaimana sabdanya: “Tuhanku telah mendidikku (addaba), dengan demikian membuat pendidikanku (ta’dib) yang paling baik (HR. Ibn Hibban).
Sesuai dengan ungkapan hadits di atas, bahwa pendidikan merupakan pilar utama untuk menanamkan adab pada diri manusia, agar berhasil dalam hidupnya, baik di dunia ini maupun di akhirat kemudian. Karena itu, pendidikan Islam dimaksudkan sebagai sebuah wahana penting untuk penanaman ilmu pengetahuan yang memiliki kegunaan pragmatis dengan kehidupan masyarakat. Karena itu, menurut al-Attas (1990: 222), antara ilmu, amal dan adab merupakan satu kesatuan (entitas) yang utuh. Kecenderungan memilih term ini, bagi al-Attas bahwa pendidikan tidak hanya berbicara yang teoritis, melainkan memiliki relevansi secara langsung dengan aktivitas di mana manusia hidup. Jadi, antara ilmu dan amal harus berjalan seiring dan seirama.
Al-Attas membantah istilah tarbiyah, sebagaimana yang digunakan oleh beberapa pakar pedagogis dalam konsep pendidikan Islam. Ia berpandangan bahwa term tarbiyah relatif baru dan pada hakikatnya tercermin dari Barat. Bagi al-Attas (1990:64-66) konsep itu masih bersifat generik, yang berarti semua makhluk hidup, bahkan tumbuhan pun ikut terkafer di dalamnya. Dengan demikian, kata tarbiyah mengandung unsur pendidikan yang bersifat fisik dan material.
Lebih lanjut, al-Attas menjelaskan bahwa perbedaan antara ta’dib dan tarbiyah adalah terletak pada makna substansinya. Kalau tarbiyah lebih menonjolkan pada aspek kasih sayang (rahmah), sementara ta’dib, selain dimensi rahmah juga bertitik tolak pada aspek ilmu pengetahuan. Secara mendasar, ia mengakui bahwa dengan konsep ta’dib, pendidikan Islam berarti mencakup seluruh unsur-unsur pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan yang baik. Karena itu, di luar istilah ta’dib, bagi al-Attas tidak perlu pakai.
Sebuah pemaknaan dari konsep ta’dib ini, al-Attas beranggapan bahwa diri manusia adalah sabyek yang dapat didik, disadarkan sesuai dengan posisinya sebagai makhluk kosmis. Penekanan pada segi adab dimaksudkan agar ilmu yang diperoleh dapat diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan menurut kehendak bebas pemilik ilmu, sebab ilmu tidak bebas nilai (value free) tetapi sarat nilai (value laden), yakni nilai-nilai Islam yang mengharuskan pelakunya untuk mengamalkan demi kepentingan dan kemaslahatan umat manusia (Kholiq, 1999: 280-281).
Tujuan Pendidikan Islam
Al-Attas (1991: 23-24) beranggapan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebajikan dalam “diri manusia” sebagai manusia dan sebagai diri individu. Tujuan akhir pendidikan Islam adalah menghasilkan manusia yang baik, yakni kehidupan materiil dan spirituilnya. Di samping, tujuan pendidikan Islam yang menitik beratkan pada pembentukan aspek pribadi individu, juga mengharapkan pembentukan masyarakat yang idel tidak terabaikan. Seperti dalam ucapannya, ...karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka membuat setiap orang atau sebagian besar diantaranya menjadi orang-orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik.
Secara ideal, al-Attas menghendaki pendidikan Islam mampu mencetak manusia yang baik secara universal (al-insan al-kamil). Suatu tujuan yang mengarah pada dua demensi sekaligus yakni, sebagai Abdullah (hamba Allah), dan sebagai Khalifah fi al-Ardl (wakil Allah di muka bumi). Karena itu, sistem pendidikan Islam harus merefleksikan ilmu pengetahuan dan perilaku Rasulullah, serta berkewajiban mewujudkan umat Muslim yang menampilkan kualitas keteladanan Nabi Saw.
Dengan harapan yang tinggi, al-Attas menginginkan agar pendidikan Islam dapat mencetak manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universalis dalam wawasan dan ilmu pengetahuan dengan bercermin kepada ketauladanan Nabi Saw. Pandangan al-Attas tentang masyarakat yang baik, sesungguhnya tidak terlepas dari individu-individu yang baik. Jadi, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat yang baik, berarti tugas pendidikan harus membentuk kepribadian masing-masing individu secara baik. Karena masyarakat kumpulan dari individu-individu.
          
Sistem Pendidikan Islam
Sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pendidikan Islam di atas, bahwa al-Attas mendeskripsikan tujuan tersebut adalah mewujudkan manusia sempurna secara universal. Dengan begitu, berarti sistem pendidikan Islam harus memahami seperangkat bagian-bagian yang terkait satu sama lain dalam sistem pendidikan.
Al-Attas berpandangan bahwa manusia terdiri dari dua unsur, jasmani dan ruhani, maka ilmu juga terbagi dua katagori, yaitu ilmu pemberian Allah (melalui wahyu ilahi), dan ilmu capaian (yang diperoleh melalui usaha pengamatan, pengalaman dan riset manusia)
Al-Attas membuat skema yang menjelaskan kedudukan manusia dan sekaligus pengetahuan. Bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan menurut dia, adalah berian Allah (God Given) dengan mengacu pada fakultas dan indra ruhaniayah manusia. Sedangkan ilmu capaian mengacu pada tingkatan dan indra jasmaniyah.
Menurut al-Attas, bahwa akal merupakan mata rantai yang menghubungkan antara yang jasmani dan yang ruhani, karena akal pada hakikatnya adalah substansi ruhaniyah yang menjadikan manusia bisa memahami hakikat dan kebenaran ruhaniyah. Dengan kata lain, dia mengatakan bahwa ilmu-ilmu agama merupakan kewajiban individu yang menjadi pusat jantung diri manusia.
Karena itu, dalam sistem pendidikan Islam tingkat (rendah, menengah, dan tinggi ) ilmu fardlu ain harus diajarkan tidak hanya pada tingkat rendah, melainkan juga pada tingkat menengah dan tingkat universitas. Karena universitas menurut al-Attas merupakan cerminan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus di dahulukan. Seperti yang dijelaskan al-Attas (1991: 41) ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam tahapan-tahapan yang lebih sedikit secara berurutan ketingkat yang lebih rendah mengingat tingkat universitas mencerminkan perumusan sistematisasi yang paling tinggi, maka formulasi kandungannya harus didahulukan.

Klasifikasi Ilmu al-Attas
Al-Attas mengklasifikaskan ilmu menjadi dua macam, yakni ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu rasional, intelektual dan filosofis. Yang termasuk ilmu-ilmu agama misalnya: al-Qur’an; (pembacaan dan penafsirannya). Al-Sunnah; (kehidupan Nabi, sejarah dan pesan para rasul sebelumnya, hadits dan riwayat-riwayat otoritasnya). Al-Syari’ah; (Undang-undang das hukum, prinsip-prinsip dan praktek-praktek Islam; Islam, iman ihsan). Teologi (Tuhan, esensi-Nya, sifat-sifat dan nama-nama-Nya, serta tindakan-tindakan-Nya). Tasawuf (Pikologi, kosmologi, dan antologi), dan ilmu bahasa atau Linguistik (bahasa Arab, tata bahasa, leksikografi dan kesusatraan).
Sedangkan yang termasuk ilmu rasional dan sejenisnya adalah ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu alam, dan ilmu-ilmu terapan. Menururt al-Attas, bagian yang termasuk ilmu kemanusian seharusnya ditambah dengan pengetahuan Islam. Karena semua disiplin ilmu harus  bertolak kepada Islam. Karena itu ia menganjurkan agar pengetahuan tersebut ditambahkan disiplin-disiplin baru yang berkaitan dengan hal berikut ini:
  1. Perbandingan agama dari sudut Islam
  2. Kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya kebudayaan dan peradaban yang selama ini dan di masa datang berbenturan dengan Islam.
  3. Ilmu-ilmu linguistik; bahasa-bahasa Islam, tata bahasa, dan literatur.
  4. Sejarah Islam; pemikiran kebudayaan dan peradaban Islam, perkembangan ilmu-ilmu sejarah Islam, filsafat-filsafat sains Islam, Islam sebagai sejarah dunia (al-Attas, 1990:91) 
Pandangan Dunia al-Attas
Menurut al-Attas, “pengetahuan” (`ilm) tak dapat didefinisikan secara ketat. Dia hanya dapat dijelaskan, dan penjelasan ini hanya lebih mengacu kepada sifat-sifat dasar pengetahuan tersebut. Kemudian dia menyatakan bahwa setiap pengetahuan berasal dari Allah, yang ditafsirkan oleh fakultas-fakultas manusia (akal, rasio, qalb). Karena itu pengetahuan yang dimiliki manusia adalah tafsiran terhadap pengetahuan dari Allah. Dan karena itu pula, menurut al-Attas, dilihat dari sumber hakiki pengetahuan tersebut, pengetahuan adalah kedatangan makna sesuatu objek pengetahuan ke dalam jiwa.
Pandangan dunia yang dirumuskan oleh al-Attas tampak lebih memiliki signifikansi kalau dikaitkan dengan gagasan islamisasi ilmu-ilmu sosial atau humaniora-ketimbang dengan ilmu-ilmu alam. Sebab ilmu-ilmu ini pada tataran yang paling dasar menyangkut masalah manusia, masyarakat, serta hubungan antara keduanya, di mana persoalan ini sedikit banyak telah banyak dikemukakan oleh al-Attas dalam beberapa karyanya.
Di sini, (Muzani, 1991:93) al-Attas lebih melihat dominasi individu terhadap masyarakat daripada kebalikannya,dan tidak tampak ke arah sintesis dari keduanya, karena ia meyakini pandangan yang menyatakan bahwa masyarakat akan menjadi baik apabila individu baik (al-Attas, 1978: 118). Pada titik ini pula, ia menyerang pada modernis, yang dianggapnya lebih menekankan telaahnya pada masalah umat ketimbang individu, dan pada persoalan sosial-politik ketimbang perbaikan mental individual. Kritik ini tampak jelas dalam kutipan berikut ini:
Kerena mereka (para modernis) tidak pernah benar-benar mendalami secara intelektual dan secara spiritual, maka mereka melibatkan lebih dahulu dalam sosiologi dan politik. Pengalaman mereka tentang kemunduruan dunia Islam dan pecahnya kemaharajaan Muslim telah membuat mereka menaruh perhatian banyak terhadap Ibn Khaldun, dan mereka memusatkan perhatian pada konsep ummah dan negara dalam Islam. Mereka memang lalai untuk meletakkan tekanan lebih besar atas konsep individu dan peranan individu dalam mewujudkan dan membangun ummah dan negara Islam.
Pandangan ini dipengaruhi oleh dasar keyakinannya. Menurutnya, secara emanasi, kebaikan dan kebenaran –yang bersumber dari Tuhan- melimpah lebih dahulu melalui individu, karena individu menempati posisi lebih tinggi dalam hirarki realitas dibandingkan masyarakat. Karena itu, yang utama adalah memperbaiki mental individu, dan dengan baiknya mental individu maka dengan sendirinya masyarakat akan menjadi baik. Kebaikan masyarakat adalah cerminan dari kebaikan individu-individu. 

Karya-karya al-Attas
Untuk mengenali karya al-Attas, kita dapat melihat dari dua bagian, yakni karya-karya kesarjanaan (scholarly writing), dan karya-karya pemikiran. Yang pertama lebih menggambarkan  dia sebagai seorang ahli atau sarjana (scholar). Ini terutama dapat dilihat dalam karya-karyanya yang berkaitan dengan kebudayaan Melayu dan Nusantara, khususnya mengenai mistisisme. Sementara yang kedua menggambarkan dia sebagai pemikir. Berikut ini karya-karya yang berkaitan dengan bagian pertama:
1.   Rangkaian Rubui’iyat, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1959.
2.   Some Aspect of Sufism as Understood and Practiced among the Malays, MSRI, 
      Singapore, 1963.   
3.   Raniri and the Wujudiyah of 17th Century Acheh, Mograph of the Royal Asitic Society, 
      Malaysian Branch, No. 111, Singapore, 1966.
4.   The Origin of the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur ,1968.
5.  Preleminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesia 
      Archipelago, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1969.
6.   The Mysticism of Hamzah Fansuri, Universitas Malaya Press, Kuala Lumpur, 1969.
7.   Conluding Postcrip to the Malay Sha`ir, Dewan Bahasa & Pustaka, Kuala Lumpur, 1971.
Sedangkan karya yang berkenaan dengan gagasan/pemikiran banyak berbicara tentang konsep, terutama konsep pendidikan, filsafat dan islamisasi ilmu. Berikut ini karya-karya yang masukbagian kedua:
  1. slam: The Concept of Religion and the Foundation of Ethic and Morality, ABIM, Kuala Lumpur, 1976.
  2. Preliminary Thought on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education, PMIM, Kuala Lumpur, 1977.
  3. Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978.
  4. Islam, Secularism, and Philosophy of the Nature, 1985.
  5. Dilema Kaum Muslimin, Bina ILmu, Surabaya, tt.
  6. The Concept of Education in Islam:A framework for a Islamic Philosophy of Education, ABIM, Kuala Lumpur, 1980.
  7. Aims and Objectives of Islamic Education, Hodder-Stoughton, London and University of King Abdul Aziz, Jeddah, 1979.
  8. Islam and the Filsafat Sain, Penerjemah: Saiful Muzani, Mizan, Bandung, 1995.
Melalui dua macam karya di atas,  al-Attas terlihat jelas dalam program-program kerja jangka panjang Institut Pemikiran dan Tamaddun Islam yang dipimpinnya, yang menurut hemat penulis adalah suatu bentuk pelembagaan dari obsesi dan cita-cita intelektualnya.
sumber referensi 
http://adesmedia.blogspot.com/2013/02/konsep-pendidikan-islam-menurut-syed.html

Share:

0 #type=(blogger):

Total Pageviews

Popular Posts