Tertarik dengan sebuah iklan di harian ini pada 22 Februari lalu bersama
seorang mahasiswa saya yang mengunjungi sebuah makam di Ujung Pancu
yang selama ini disebut-sebut sebagai makam ulama wujudiyah terbesar
Nusantara, Syekh Hamzah Fansuri. Menurut cerita yang berkembang di
sekitar makam, bahwa sang pemilik makam adalah seorang ulama Aceh yang
dihukum pancung oleh penguasa Aceh zaman Sultan Iskandar Tsani yang
berkuasa antara tahun 1636-1641 M atas fatwa Syekh Nuruddin al-Raniri.
Akibat pertentangan Syekh al-Raniri yang tajam terhadap pemikiran Syekh
Fansuri, maka banyak yang menyangka ulama yang dipancung al-Raniri itu
adalah Syekh Hamzah Fansuri.
Mengenal Hamzah Fansuri
Mengenal Hamzah Fansuri
Untuk mengetahui asal dan perjalanan Syekh Hamzah Fansuri, ada beberapa bait syair beliau yang harus dipecahkan dan diterjemahkan maknanya. Di antaranya adalah;
Hamzah ini asalnya Fansuri // Mendapat wujud di tanah Shahrnawi // Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali // Daripada ‘Abd al-Qadir Jilani.
Hamzah di negeri Melayu // Tempatnya kapur di dalam kayu.
Hamzah Fansuri di dalam Mekkah // mencapai Tuhan di Baitul Ka’bah // dari Barus terlalu payah // akhirnya dijumpa di dalam rumah.
Hamzah Fansuri orang uryani // seperti ismail menjadi qurbani // bukan Ajami lagi Arabi //senantiasa wasil dengan Yang Baqi.
Dari beberapa syair di atas, maka sebenarnya tidak diragukan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah berasal dari wilayah sekitar Aceh, yang terdapat padanya Fansur (Aceh Selatan), Tanah Shahrnawi (Perlak), negeri Melayu (Pasai-Malaka), Barus (Sumatra Utara). Adapun pernyataannya sebagai orang Uryani dan bukan Ajami lagi Arabi, dapat ditafsirkan sebagai keturunan yang berasal rumpunnya dari bangsa Aria, yang lebih dekat dengan bangsa Romawi. Biasanya rumpun Melayu asal lebih mendekati keturunannya dari suku Iskandar Zulkarnaen yang memang diketahui berasal dari Rumawi klasik dan bukan dari bangsa Ajami yang biasanya menunjuk kepada bangsa Parsia dan juga bukan dari keturunan bangsa Arab secara langsung.
Mengenai masa hidup Syekh Hamzah para peneliti masih banyak yang berbeda pendapat tentangnya. Penemuan terkini yang dikemukakan Claude Guillot dan Ludvik Kalus, yang menyebutkan bahwa Syekh Hamzah wafat pada tahun 1527 M dan dimakamkan di pekuburan Ma’la di Mekkah, berdasarkan penemuan inkripsi makam beliau, menurut saya adalah lebih mendekati kebenaran.
Penemuan ini diperkuat dengan kajian literatur karya-karya paham wujudiyah dalam pembahasan martabat yang dianut Syekh Hamzah lebih klasik (lima martabat) dibandingkan dengan pemahaman Syekh Syamsuddin terkemudian, yang telah menjelaskan martabat tujuh. Dimana paham ini mulai berkembang pada pertengahan abad ke-16, atau setelah wafatnya Syekh Hamzah, sehingga belum menjadi pembahasan beliau. Kalimat Melayu dan tulisan Arab-Jawi serta kaligrafi yang digunakan Syekh Hamzah sangat klasik yang biasa digunakan pada abad ke 15-an. Demikian pula dalam karya Syekh Hamzah tidak disebutkan nama Syekh Syamsuddin al-Sumatrani, namun sebaliknya nama beliau disebut oleh Syekh Syamsuddin dan murid-muridnya yang hidup antara tahun 1580-an sampai masa Maulana Syiah Kuala akhir 1680-an.
Masa kerajaan Pasai
Di zaman pemerintahan Sultan Malik al-Salih, terutama setelah Baghdad dikuasai pasukan Jenggish Khan pada tahun 1258 M, Kerajaan Pasai berkembang pesat menjadi pusat pengajian Islam tingkat tinggi di Asia Tenggara dengan berdirinya beberapa zawiyah.
Sejak abad 14 M telah tiba di Kerajaan Pasai pendakwah ahl al-bayt keturunan Hadramawt Yaman bernama Sayyid Husein al-Akbar atau terkenal dengan Maulana al-Akbar bersama anaknya Maulana Malik Ibrahim yang datang dari Kesultanan Taghlug di India. Beliau dan keturunannyalah yang dianggap sebagai penyebar utama aliran tasauf alawiyah (tariqah alawiyah) yang sudah berkembang pesat di dunia Islam yang dikembangkan oleh ulama ahl al-bayt Yaman. Salah seorang anaknya Maulana Ibrahim dan keturunannya diketahui menjadi petinggi Pasai yang menyebarkan Islam ke Jawa.
Peran Pasai sebagai pusat kajian tinggi keislaman Nusantara dapat dilihat dari peristiwa pembahasan pemikiran Syekh Abu Bakar, seorang ulama tasauf dari Baghdad yang menulis kitab tasauf Dzur al-Mandzum, kitab Islam tertua yang diketahui di Asia Tenggara pada abad ke 15 Masehi. Kitab ini dibawa kepada Sultan Malaka, kemudian dikomentari Maulana Ibrahim Patakan, seorang ulama dari Pasai yang sangat menguasai ajaran tasauf. Masa inilah mulai berkembang pesatnya aliran tasauf di Asia Tenggara, baik tasauf falsafati ataupun tasauf amali atau juga dikenal sebagai tasauf sunni yang dikembangkan oleh Imam al-Ghazali.
Menurut analisis logika saya, karena belum ditemukan data empiris, Hamzah Fansuri muda adalah salah satu alumni sistem pendidikan tinggi Islam yang telah berkembang pesat di Kerajaan Pasai dan terbaik di Asia Tenggara. Pendidikan ini telah melahirkan banyak ulama besar Nusantara. Di mana paham keislaman dominan yang mengitari pendidikannya adalah aliran tasauf yang tengah diminati kalangan cendekiawan muslim masa itu. Namun kecerdasan Hamzah muda tidak cukup dengan keilmuan para ulama lokal, dan membawanya pergi mengembara mencari pengetahuan yang lebih tinggi dalam berbagai bidang, menjelajahi pusat-pusat pengetahuan dunia Islam
Menurut penelitian Prof. al-Attas, paham tasauf falsafati inilah yang telah melahirkan ulama besar Syekh Hamzah Fansuri. Beliau disebut sebagai ulama Asia Tenggara yang memiliki pemahaman wujudiyah, walaupun bukan ulama pertama yang menganut paham tersebut. Beliau terkenal berkat karya-karya yang telah dihasilkannya, dan disebut sebagai penganut dan pengembang tasauf falsafati terkemuka dan terutama di Asia Tenggara.
Pada masa Syekh Hamzah tasauf falsafati sedang berkembang pesat dan menjadi minat utama para genius dunia Islam. Walaupun ada sebagian yang mempermasalahkan pengetahuan tingkat tinggi ini, namun sebagian besar ulama membenarkan pengetahuan yang hanya dapat dicerna oleh sebilangan kecil cendekia jenius Muslim.
Jadi tidak mengherankan jika Syekh Hamzah menjadi ulama terkemuka di Kerajaan Pasai, karena sejak abad ke-13 telah berkembang paham wujudiyah yang diajarkan ulama-ulama dari Persia yang datang sambung menyambung, di antaranya seperti Qadhi Amir Shiradz dari Isfahan di sekitar Persia yang diketahui sebagai sumber utama perkembangan ajaran wujudiyah yang dikenalkan Ibn Arabi, Suhruwardi ataupun al-Hallaj. Paham wujudiyah kemudian dikembangkan dari Pasai ke tanah Jawa melalui perantaraan tokoh-tokoh Wali Songo seperti Maulana Rahmatillah (Sunan Ampel) yang mendapat pendidikan di Pasai.
Ketika peranan Kerajaan Pasai mulai memudar, terutama setelah penjajah Portugis menguasai Malaka pada tahun 1511, para cendekiawan alumni Pasai mulai membangun pusat pengkajian Islam di kerajaan yang baru dideklarasikan di ujung utara pulau Sumatra, yang dinamakan dengan Kerajaan Aceh Darussalam. Kerajaan ini adalah penyatuan kembali beberapa kerajaan Islam yang sudah terpecah belah di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayyat Syah yang diproklamirkan pada 12 Rabi’ul Awwal 913 H atau sekitar 23 Juli 1507 M.
Salah seorang bintang ulama berpengaruh masa itu adalah Syekh Hamzah Fansuri. Maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa beliau adalah termasuk salah satu ulama yang ikut mendukung pendirian kerajaan baru ini. Atau kemungkinan peranannya lebih besar lagi, sebagai tokoh sentral pendiri Kerajaan Aceh disamping Sultan Ali Mughayat Syah. Karena sudah menjadi tradisi para Sultan Aceh yang senantiasa memiliki penasihat spiritual yang bergelar Syaikh a-Islam atau Qadhi Malik al-Adhil. Itulah sebabnya, banyak di antara murid dan pengikutnya dari kalangan para ulama wujudiyah yang menjadi penasihat dan pembimbing kerajaan dari pertama berdirinya sampai masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda.
Ketokohan Syekh Hamzah dalam pendirian Kerajaan Aceh Darussalam telah memberikan kesempatan berkembangnya paham wujudiyah secara meluas di kerajaan Aceh yang baru didirikan, serta mendapat dukungan kuat dari kerajaan sehingga menjadi paham resmi kerajaan. Itulah sebabnya ketika paman Syekh Nuruddin al-Raniri yang bernama Syekh Muhammad Jailani ibn Hasan datang ke Bandar Aceh pada tahun 1580 dan 1583 untuk menyebarkan pengaruhnya yang bertentangan dengan paham wujudiyah, tidak mendapat sambutan masyarakat dan tidak mendapat tempat dalam kerajaan yang tengah dibimbing ulama-ulama wujudiyah.
Peranan Syekh Hamzah lainnya perlu diteliti, terutama peran beliau sebagai penghubung Aceh dengan dunia Islam yang menjadikan Mekkah sebagai pusat pergerakannya. Ditengarai Syekh Hamzah menjadi penghubung aktif antara Kerajaan Aceh Darussalam dengan Kerajaan Islam di Persia, Baghdad, Syam, Mesir sampai di India dan Turki. Karena beliau mempunyai hubungan yang luas dengan para penguasa dan ulama. Perjalanannya yang dinamis ini telah membuatnya menjadi musafir yang berkelana meninggalkan Aceh sehingga wafat di Mekkah dan dimakamkan di pekuburan Ma’la pada tahun 1527.
Maka dilihat masa wafatnya pada tahun 1527 M, maka Syekh Hamzah hidup bukan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani atau masa Syekh al-Raniri yang menjabat Qadhi Malik al-Adhil di Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1637-1644 M. Artinya, kurun waktu perbedaan masa hidup antara Syekh Hamzah dengan Syekh al-Raniri adalah lebih seratus tahun, bagaimana mungkin algojo al-Raniri dapat mengeksekusi jasad yang telah berbaring tenang ratusan tahun sebelumnya di Mekkah.
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makam yang berada di Ujung Pancu, yang disebutkan sebagai makam Syeikh Hamzah Fansuri al-Farisi, bukanlah makam beliau. Kemungkinannya adalah makam Syekh Jamaluddin atau menurut Takesi namanya Syekh Maldin, murid sekaligus yang menggantikan Syekh Syamsuddin al-Sumatrani sebagai Qadhi Malik al-Adhil sejak tahun 1630 yang berpahaman wujudiah. Syekh Maldin dan beberapa ulama wujudiyah dieksekusi pancung di depan halaman masjid raya atas fatwa al-Raniri. Beliau ini mempunyai murid bernama Saif al-Rijal yang telah mengalahkan hujjah al-Raniri dan membuatnya meninggalkan Aceh, sebagaimana disebutkan dalam karangan al-Raniri Fath al-Mubin ala al-Mulhidin.
SUMBER REFERENSI
http://aceh.tribunnews.com/2013/03/03/misteri-syekh-hamzah-fansuri
0 #type=(blogger):
Posting Komentar