Sejarah
Analisis
dan pemikiran tentang bagaimana sejarah masuknya Islam di Indonesia
dipahami melalui sejumlah teori. Aji Setiawan, misalnya melihat bahwa
datangnya Islam ke nusantara bisa ditelisik melalui tiga teori, yaitu
teori Gujarat, teori Arab, dan teori Persia. Teori Gujarat memandang
bahwa asal muasal datangnya Islam di Indonesia adalah melalui jalur
perdagangan Gujarat India pada abad 13-14. Teori
ini biasanya banyak digunakan oleh ahli-ahli dari Belanda. Salah
seorang penganutnya, W.F. Stuterheim menyatakan bahwa Islam mulai masuk
ke nusantara pada abad ke-13 yang didasarkan pada bukti batu nisan
sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai, yakni Malik Al-Saleh pada
tahun 1297. Menurut teori ini, masuknya Islam ke nusantara melalui jalur
perdagangan Indonesia - Cambay (India) - Timur Tengah - Eropa.
Teori
Persia lebih menitikberatkan pada realitas kesamaan kebudayaan antara
masyarakat Indonesia pada saat itu dengan budaya Persia. Sebagai contoh
misalnya kesamaan konsep wahdatul wujud-nya
Hamzah Fanshuri dengan al-Hallaj. Sedangkan teori Arab berpandangan
sebaliknya. T.W. Arnold, salah seorang penganutnya berargumen bahwa para
pedagang Arab yang mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad ke-7
atau 8 juga sekaligus melakukan penyebaran Islam di nusantara pada saat
itu. Penganut teori ini lainnya, Naquib al-Attas melihat bahwa bukti
kedatangan Islam ke nusantara ditandai dengan karaktek Islam yang khas,
atau disebut dengan “teori umum tentang Islamisasi nusantara” yang
didasarkan pada literatur nusantara dan pandangan dunia Melayu. Di
samping tiga teori umum di atas, ada teori lain yang memandang bahwa
datangnya Islam ke nusantara berasal dari Cina, atau yang disebut dengan
teori Cina.
Berdasarkan
paparan teori-teori di atas, dapat diperkirakan bahwa Islam telah masuk
ke Indonesia sejak abad 7 atau 8 M. Pada abad ke-13, Islam sudah
berkembang pesat. Menurut catatan A. Hasymi, Kesultanan Perlak merupakan
kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri pada tanggal 1 Muharam
225 H atau 804 M. Kesultanan ini terletak di wilayah Perlak, Aceh
Timur, Negeri Aceh.
Nama
Kesultanan Perlak sebagai sejarah permulaan masuknya Islam di Indonesia
kurang begitu dikenal dibandingkan dengan Kesultanan Samudera Pasai.
Namun demikian, nama Kesultanan Perlak justru terkenal di Eropa karena kunjungan Marco Polo pada tahun 1293.
a. Sejarah Masuknya Islam
Kesultanan
Perlak berdiri pada tahun 840 dan berakhir pada tahun 1292. Proses
berdirinya tidak terlepas dari pengaruh Islam di wilayah Sumatera.
Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di wilayah Perlak sebenarnya sudah
berdiri Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari
Maharaja Pho He La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari
pasukan-pasukan pengikutnya.
Pada tahun
840 ini, rombongan berjumlah 100 orang dari Timur Tengah menuju pantai
Sumatera yang dipimpin oleh Nakhoda Khilafah. Rombongan ini bertujuan
untuk berdagang sekaligus membawa sejumlah da‘i yang bertugas untuk
membawa dan menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu kurang dari
setengah abad, raja dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka
(Hindu dan Buddha), yang kemudian secara sukarela berbondong-bondong
memeluk Islam.
Perkembangan
selanjutnya menunjukkan bahwa salah seorang anak buah dari Nakhoda
Khalifah, Ali bin Muhammad bin Ja‘far Shadiq dikawinkan dengan Makhdum
Tansyuri, yang merupakan adik dari Syahir Nuwi, Raja Negeri Perlak yang
berketurunan Parsi. Dari buah perkawinan mereka lahirlah Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Aziz Shah, yang menjadi sultan pertama di
Kesultanan Perlak sejak tahun 840. Ibu kotanya Perlak yang semula
bernama Bandar Perlak kemudian diubah menjadi Bandar Khalifah sebagai
bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah.
b. Masa Permusuhan Sunni-Syiah
Sejarah
keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara
kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim
ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih
berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan
pesaingnya.
Aliran
Syi‘ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan
Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan
dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh
pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi‘ah di pantai Sumatera
dengan kelompok Syi‘ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan
konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan
pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur
Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi‘ah di
Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai
informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah
Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama
Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk
oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua
pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii,
sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali
Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat
anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi‘ah.
Aliran
Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan
sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia
meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum
Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa
pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang.
Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian
memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika
pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan
Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun
waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak
yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7,
Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal,
terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang
lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya
itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua
bagian. Pertama, Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin
Syed Maulana Shah (986 – 988). Kedua, Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin
oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 –
1023).
Kedua
kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin
kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah
meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan
Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya
kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak
Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan
Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum
ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar
kedua aliran tersebut.
Silsilah
Sebelum
berdirinya Kesultanan Perlak, di wilayah Negeri Perlak sudah ada
rajanya, yaitu Meurah Perlak Syahir Nuwi. Namun, data tentang raja-raja
Negeri Perlak secara lengkap belum ditemukan. Sedangkan daftar nama
sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Pelak adalah sebagai berikut:
- Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840-864)
- Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864-888)
- Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888-913)
- Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915-918)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928-932)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah Johan Berdaulat (932-956)
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat (956-983)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986-1023)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1023-1059)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Shah Johan Berdaulat (1059-1078)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Shah Johan Berdaulat (1078-1109)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Shah Johan Berdaulat (1109-1135)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Shah Johan Berdaulat (1135-1160)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Shah Johan Berdaulat (1160-1173)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Shah Johan Berdaulat (1173-1200)
- Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Shah Johan Berdaulat (1200-1230)
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (1230-1267
- Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (1267-1292)
Catatan: Sultan-sultan di atas dibagi menurut dua dinasti, yaitu dinasti
Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat, yang
merupakan keturunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).
Periode Pemerintahan
Sultan
Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan
Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga.
Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan
dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan
Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik
al-Saleh.
Kesultanan
Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin
Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan
Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah
kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan
Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik
al-Saleh.
Wilayah Kekuasaan
Sebelum
bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan
Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan
ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di
wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak,
yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam
inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia
tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut
juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan
mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak
pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan
tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal
sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model
pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi
dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang.
Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara
menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja,
pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap
perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
0 #type=(blogger):
Posting Komentar