Kerajaan Jeumpa adalah sebuah kerajaan yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada
di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur pada
sekitar abad ke VIII Masehi. Hal ini berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa
yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa.
Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto Rayek (pintu besar).
Sejara kerajaan
Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri sebuah kerajaan Hindu yang dipimpin turun temurun oleh seorang meurah. Pada saat itu kerajaan ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lain-lain. Pada awal abad VIII seorang pemuda bernama Abdullah dari India belakang memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga melalui Kuala Jeumpa dengan tujuan berdagang.
Abdullah kemudian tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tertarik dengan perilakunya. Abdullah kemudian dinikahkan dengan puteri raja bernama Ratna Kumala. Di kemudian hari Abdullah dinobatkan menjadi raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama Champia, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti kemenangan.
Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong (Dialek Bireuen: Manyam Seuludang) dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian sejarawan Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar meurah, habib, sayyid, syarif, sunan, teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Peureulak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Peureulak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz.
Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusuri dari pembentukan Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah. Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747.
Latar Belakang (Menurut Teori, Data, Penelitian dan Sejumlah Ahli Sejarah)
Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pinto Ubeut. Masa itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke Pinto Rayek (pintu besar).
Sejara kerajaan
Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri sebuah kerajaan Hindu yang dipimpin turun temurun oleh seorang meurah. Pada saat itu kerajaan ini sudah dikenal di seluruh penjuru dan mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina, India, Arab dan lain-lain. Pada awal abad VIII seorang pemuda bernama Abdullah dari India belakang memasuki pusat kerajaan di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga melalui Kuala Jeumpa dengan tujuan berdagang.
Abdullah kemudian tinggal bersama penduduk dan menyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam karena tertarik dengan perilakunya. Abdullah kemudian dinikahkan dengan puteri raja bernama Ratna Kumala. Di kemudian hari Abdullah dinobatkan menjadi raja menggantikan bapak mertuanya, yang kemudian wilayah kekuasaannya dia berikan nama dengan Kerajaan Jeumpa, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama Champia, yang artinya harum, wangi dan semerbak. Sementara Bireuen sebagai ibukotanya, berarti kemenangan.
Berdasarkan silsilah keturunan sultan-sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa pada 154 H atau tahun 777 M dipimpin oleh seorang pangeran dari Persia yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong (Dialek Bireuen: Manyam Seuludang) dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri Duli, Syahri Tanti, Syahri Nawi, Syahri Dito dan Puteri Makhdum Tansyuri yang menjadi ibu dari sultan pertama Kerajaan Islam Perlak. Menurut penelitian sejarawan Aceh, Sayed Dahlan al-Habsyi, syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar meurah, habib, sayyid, syarif, sunan, teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahri Banun, anak Maha Raja Persia terakhir. Syahr Nawi adalah salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pengembangan Kerajaan Peureulak, bahkan beliau dianggap arsitek pendiri kota pelabuhan Peureulak pada tahun 805 M yang dipimpinnya langsung, dan diserahkan kepada anak saudaranya Maulana Abdul Aziz.
Keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa ini dapat pula ditelusuri dari pembentukan Kerajaan Perlak yang dianggap sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara. Perlak pada tahun 805 Masehi adalah bandar pelabuhan yang dikuasai pedagang keturunan Parsi yang dipimpin seorang keturunan Raja Islam Jeumpa Pangeran Salman al-Parsi dengan Putri Manyang Seuludong bernama Meurah Syahr Nuwi. Sebagai sebuah pelabuhan dagang yang maju dan aman menjadi tempat persinggahan kapal dagang Muslim Arab dan Persia. Akibatnya masyarakat muslim di daerah ini mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama sekali lantaran banyak terjadinya perkawinan di antara saudagar muslim dengan wanita-wanita setempat, sehingga melahirkan keturunan dari percampuran darah Arab dan Persia dengan putri-putri Perlak. Keadaan ini membawa pada berdirinya kerajaan Islam Perlak pertama, pada hari selasa bulan Muharram, 840 M. Sultan pertama kerajaan ini merupakan keturunan Arab Quraisy bernama Maulana Abdul Azis Syah, bergelar Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Menurut Wan Hussein Azmi, pedagang Arab dan Persia tersebut termasuk dalam golongan Syi'ah. Wan Hussein Azmi dalam Islam di Aceh mengaitkan kedatangan mereka dengan Revolusi Syi'ah yang terjadi di Persia tahun 744-747.
Latar Belakang (Menurut Teori, Data, Penelitian dan Sejumlah Ahli Sejarah)
Teori
tentang kerajaan Islam pertama di Nusantara sampai saat ini masih banyak
diperdebatkan oleh para peneliti, baik cendekiawan Muslim maupun non
Muslim. Umumnya perbedaan pendapat tentang teori ini didasarkan pada
teori awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Mengenai teori Islamisasi
di Nusantara, para ahli sejarah terbagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu
pendukung (i) Teori Gujarat (ii) Teori Parsia dan (iii) Teori Mekah
(Arab).
Bukan
maksud tulisan ini untuk membahas teori-teori tersebut secara mendetil,
namun dari penelitian yang penulis lakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
Teori Mekkah (Arab) lebih mendekati kebenaran dengan fakta-fakta yang
dikemukakan. Teori Mekkah (Arab) hakikatnya adalah koreksi terhadap
teori Gujarat dan bantahan terhadap teori Persia.
Sebagaimana
dikemukakan terdahulu, bahwa sebelum Nabi Muhammad saw membawa Islam,
Dunia Arab dengan Dunia Melayu sudah menjalin hubungan dagang yang erat
sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah
menumbuhkan perkampungan-perkampungan Arab, Parsia, Hindia dan lainnya
di sepanjang pesisir pulau Sumatera. Karena letak gegrafisnya yang
sangat strategis di ujung barat pulau Sumatra, menjadikan wilayah Aceh
sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat, terutama untuk
mempersiapkan logistik dalam pelayaran yang akan menempuh samudra luas
perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab.
Hadirnya
pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti Barus, Fansur,
Lamri, Jeumpa dan lainnya dengan komuditas unggulan seperti kafur, yang
memiliki banyak manfaat dan kegunaan telah melambungkan wilayah asalnya
dalam jejaran kota pertumbuhan peradaban dunia. ”Kafur Barus”, ”Kafur
Fansur”, ”Kafur Barus min Fansur” yang telah menjadi idiom kemewahan
para Raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia dan lainnya.
Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini
yang terkenal dengan inovasi minyak wangi mewahnya.
Sejak
dahulu perdagangan antara negara-negara Timur dengan Timur Tengah dan
Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut. Jalur
darat, yang juga disebut ”jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina
Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur
perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa,
merupakan jalur tertua yang sudah di kenal sejak 500 tahun sebelum
Masehi. Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung)
dan Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah
dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang
melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga perdagangan lewat laut antara Laut
Merah, Cina dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah
Masehi.
Akan
tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur perdagangan
darat di Asia Tengah, maka sejak tahun 500 Masehi perdagangan
Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat
jalan ini kapal-kapal Arab, Persia dan India telah mondar mandir dari
Barat ke Timur dan terus ke Negeri Cina dengan menggunakan angin musim,
untuk pelayaran pulang pergi. Juga kapal-kapal Sumatra telah mengambil
bagian dalam perdagangan tersebut. Pada zaman Sriwijaya,
pedagang-pedagangnya telah mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan
pantai timur Afrika.
Ramainya
lalu lintas pelayaran di Selat Malaka, telah menumbuhkan kota-kota
pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatra.
Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina dan
Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin ramai,
termasuk di wilayah Aceh yang diketahui telah memiliki beberapa kota
pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota
pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Maka
berdasarkan fakta sejarah ini pulalah, keberadaan Kerajaan Islam Jeumpa
Aceh yang diperkirakan berdiri pada abad ke 7 Masehi dan berada
disekitar Kabupaten Bireuen sekarang menjadi sangat logis. Sebagaimana
kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat di sekitar pulau
Sumatra, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari pemukiman-pemukiman penduduk
yang semakin banyak akibat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik
bagi kota persinggahan. Melihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota
pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan
setelah melalui perjalanan panjang.
Shahrianshah Salman Al-Farisi Pendiri Kerajaan Jeumpa Aceh (777 M)
Kerajaan
Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim
Abduh, yang disadurnya dari hikayat Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan
yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke 777 Masehi yang berada di
sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir sungai Peudada di sebelah
barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa
terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah utara,
sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa
itu Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat penduduknya dan
juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala
Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng ada sebuah alur yang
besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur
dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut
Abeuk Usong atau ke ”Pintoe Rayeuk” (Pintu Besar).
Menurut
silsilah keturunan Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan
Brunei Darussalam dan Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa
dipimpin oleh seorang Pangeran dari Parsia (India Belakang ) yang
bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah Salman yang kawin dengan
Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak, antara lain Syahri
Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum Tansyuri yang
menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang berdiri
pada tahun 805 Masehi.
Menurut
penelitian Sayed Dahlan al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang
digunakan keturunan Nabi Muhammad di Nusantara sebelum menggunakan gelar
Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan, Teuku dan lainnya. Syahri
diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali, Puteri Syahribanun,
anak Maha Raja Parsia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Sampai
saat ini, penulis belum menemukan silsilah keturunan Pengeran Salman ke
atas, apakah beliau termasuk dari keturunan Nabi Muhammad saw atau
keturunan raja-raja Parsia. Karena di silsilah yang dikeluarkan
Kesultanan Brunei dan Kesultanan Sulu tidak disebutkan. Namun menurut
pengamatan pakar sejarah Aceh, Sayed Hahlan al-Habsyi, beliau adalah
termasuk keturunan Sayyidina Husein ra. Dikarenakan :
Beliau
memberikan gelar Syahri kepada anak-anaknya, yang jelas menunjuk kepada
moyangnya. Beliau mengawinkan anak perempuannya dengan cucu Imam Ja’far
Sadiq, yang menjadi tradisi para Sayid sampai saat ini.
anak
beliau, Syahri Nuwi adalah patron dari rombongan Nakhoda Khalifah,
bahkan ada yang menganggap kedatangan rombongan ini atas permintaan
Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul Bayt atau keturunan Nabi
saw di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan Parsia.
Itulah
sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda Khalifah yang
bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian
keluarga.
Yang
perlu dicermati, kenapa Pangeran Salman Al-Parsi memilih kota kecil di
wilayah Jeumpa sebagai tempat mukimnya, dan tidak memilih kota
metropolitan seperti Barus, Fansur, Lamuri dan sekitarnya yang sudah
berkembang pesat dan menjadi persinggahan para pedagang manca negara?
Ada beberapa kemungkinan, Beliau diterima dengan baik oleh masyarakat
Jeumpa dan memutuskan tinggal di sana, Beliau merasa nyaman dan sesuai
dengan penguasa (meurah), Keinginan untuk mengembangkan wilayah ini
setingkat Barus, Lamuri dan lainnya dan Menghindar dari pandangan
penguasa.
Alasan
terakhir ini, mungkin dapat diterima sebagai alasan utama. Mengingat
Pangeran Salman adalah salah seorang pelarian politik dari Parsia yang
tengah bergejolak akibat peperangan antara Keturunan Nabi saw yang
didukung pengikut Syiah dengan Penguasa Bani Abbasiah masa itu (tahun
150an Hijriah). Beliau bersama para pengikut setianya memilih ujung
utara pulau Sumatera sebagai tujuan karena memang daerah sudah terkenal
dan sudah terdapat banyak pemeluk Islam yang mendiami
perkampungan-perkampungan Arab atau Persia.
Kemungkinan
Jeumpa adalah salah satu pemukiman baru tersebut. Untuk menghindari
pengejaran itulah, beliau memilih daerah pinggiriran agar tidak terlalu
menyolok. Itulah sebabnya, Pangeran Salman juga dikenal dengan nama-nama
lainnya, seperti Meurah Jeumpa, atau ada yang mengatakan beliau sebagai
Abdullah.
Di
bawah pemerintahan Pangeran Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang
pesat menjadi sebuah kota baru yang memiliki hubungan luas dengan
Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi, karakter, pengetahuan dan
pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan calon pemimpin di
Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat pendidikan
khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong
pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan
perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.
Jeumpa
sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara memperluas hubungan
diplomatik dan perdagangannya dengan Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di
sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri lainnya, terutama Arab dan
Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari bahasa Parsi, yang
paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan, sama dengan makna
Jayakarta, asal nama Jakarta yang didirikan Fatahillah, yang dalam
bahasa Arab semakna, Fath mubin, kemenangan yang nyata.
Untuk
mengembangkan Kerajaannya, Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya
menjadi Meurah-Meurah baru. Ke wilayah barat, berhampiran dengan
Barus-Fansur-Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau
mengangkat anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli
yang selanjutnya berkembang menjadi Kerajaan Pidie. Ke sebelah timur,
beliau mengangkat anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru
bernama Perlak pada tahun 804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan
Perlak tumbuh pesat menjadi kota pelabuhan baru terutama setelah
kedatangan rombongan keturunan Nabi yang dipimpin Nakhoda Khalifah
berjumlah 100 orang.
Syahr
Nuwi mengawinkan adiknya Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh
rombongan tersebut bernama Ali bin Muhammad bin Jafar Sadik, cicit
kepada Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini lahir seorang putra
bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau tahun 840 M
dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar Sultan
Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah. Melalui jalur perkawinan ini,
hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam
Perlak. Karena wilayahnya yang strategis Kerajaan Islam Perlak akhirnya
berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju menggantikan peran dari
Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah
tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan
dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang
menonjol. Namun demikian, Kerajaan ini tetap eksis, yang mungkin
berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi kader-kader ulama dan
pendakwah Islam. Karena diketahui bahwa Puteri Jeumpa yang menjadi
ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel.
Berarti
Raja Jeumpa masa itu bersaudara dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan
Ampel adalah keponakan dari Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek,
mungkin kakek saudara dari Puteri Jeumpa. Maka dari hubungan ini dapat
dibuat sebuah kesimpulan bahwa, para wali memiliki hubungan dengan
Kerajaan Jeumpa yang boleh jadi Jeumpa masa itu menjadi pusat pendidikan
bagi para ulama dan pendakwah Islam Nusantara. Namun belum ditemukan
data tentang masalah ini.
Setelah
berdirinya beberapa Kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi
Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840an) dan Kerajaan Islam Pasai
(1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin kerjasama diplomatik
tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam
penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Majapahit
misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit, Brawijaya V
memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut
pendapat Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja
sebagaimana difahami selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal
dengan nama Puteri Jeumpa (Puteri Champa) ini adalah anak dari salah
seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga keponakan dari pemimpin para Wali
di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim.
Mereka
adalah para Wali keturunan Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan
dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan
sekitarnya. Dan merekalah konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu
Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan Wali Songo atau
Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja
terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan
oleh para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan
Islam Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.
Kehadiran Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat
kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah
ini dapat diartikan sebagai keberhasilan strategi Kerajaan Islam Jeumpa
Aceh yang kala itu sudah berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang
telah menggantikan peranan Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan
mengalahkan sebuah kerajaan besar Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri
sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah kekuasaan Islam di
bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah, yang ibunya
berasal dari Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat dikatakan bahwa,
Kerajaan Jeumpa Acehlah yang telah mengalahkan dominasi Kerajaan
Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat perkawinan yang
dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis hubungan dengan
Jeumpa, Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah
Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan
berkembang, maka pusat aktivitas Islamisasi nusantarapun berpindah ke
wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa Kerajaan Islam Perlak adalah
kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah
mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua Kerajaan ini
merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang
mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari
Nabi Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di
atas segala kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam
silsilahnya, Sultan Perlak yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan
Islam Jeumpa.
Menurut hasil observasi terkini di sekitar daerah yang diperkirakan
sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang
dikenal dengan Buket Teungku Keujruen, ditemukan beberapa barang
peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m,
kaca jendela, porselin dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung
rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan.
Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai
pemakaman Raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan
batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
SUMBER REFERENSI
http://fore-gone.blogspot.com/2013/02/kerajaan-jeumpa-aceh.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Jeumpa
0 #type=(blogger):
Posting Komentar