Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Sejarah
Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan kajian sejarah. Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai, dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.
Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Sejarah
Kapan
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat
dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat
keyakinan bahwa Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding
Dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu peradaban
adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya
pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan Samudera Pasai sudah
menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1297 Masehi.
Sejumlah
ahli sejarah dan peneliti dari Eropa pada masa pendudukan kolonial
Hindia Belanda telah beberapa kali melakukan penyelidikan untuk menguak
asal-usul keberadaan salah satu kerajaan terbesar di bumi Aceh ini.
Beberapa sarjana dan peneliti dari Belanda, termasuk Snouck Hurgronje,
J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan,
dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa Kesultanan Samudera Pasai baru
berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan Malik
Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo,
2006:50). Nama Malik Al Salih sendiri dikenal dengan sebutan dan
penulisan yang berbeda, antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh,
Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh.
a. Asal-Usul Penamaan Samudera Pasai
Nama
lengkap Kesultanan Samudera Pasai adalah “Samudera Aca Pasai”, yang
artinya “Kerajaan Samudera yang baik dengan ibukota di Pasai” (H.M.
Zainuddin, 1961:116). Pusat pemerintahan kerajaan tersebut sekarang
sudah tidak ada lagi namun diperkirakan lokasinya berada di sekitar
negeri Blang Melayu. Nama “Samudera” itulah yang dijadikan sebagai nama
pulau yang kini disebut sebagai Sumatra, seperti yang disebut oleh
orang-orang Portugis. Sebelumnya, nama wilayah tersebut adalah Pulau
Perca.
Sedangkan
para pengelana yang berasal dari Tiongkok/Cina menyebutnya dengan nama
“Chincou”, yang artinya “Pulau Emas”, seperti misalnya yang diketahui
berdasarkan tulisan-tulisan I‘tsing. Raja Kertanegara, pemimpin Kerajaan
Singasari yang terkenal, menyebut daerah ini dengan nama Suwarnabhumi, yang artinya ternyata sama dengan apa yang disebut oleh orang-orang Tiongkok, yakni “Pulau Emas”.
Kesultanan
Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai
utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara
sekarang. Catatan tertulis yang selama ini diyakini oleh para sejarawan
untuk melacak sejarah Kesultanan Samudera Pasai adalah tiga kitab
historiografi Melayu yakni Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu, dan Hikayat Raja Bakoy. Hikayat Raja Pasai memberikan
andil yang cukup besar dalam upaya menguak riwayat Kesultanan Samudera
Pasai, meskipun nuansa mitos masih menjadi kendala dalam menafsirkan
kebenarannya.
Mengenai
nama “Samudera” dan “Pasai”, muncul sejumlah pendapat yang mencoba
mengurai asal-usul penggunaan kedua nama tersebut. Salah satunya adalah
seperti yang dikemukakan oleh sarjana Eropa, J.L. Moens, yang menyebut
bahwa kata “Pasai” berasal dari istilah “Parsi”. Menurut Moens, kaum
pedagang yang datang dari Persia mengucapkan kata “Pasai” dengan lafal
“Pa‘Se”. Analisis Moens ini bisa jadi berlaku, dengan catatan bahwa
sejak abad ke-7 Masehi para saudagar yang datang dari Persia sudah tiba
dan singgah di daerah yang kemudian menjadi tempat berdirinya Kesultanan
Samudera Pasai (M.D. Mansoer, 1963:59).
Pendapat Moens mendapat dukungan dari beberapa kalangan, termasuk Prof. Gabriel Ferrand, melalui karyanya yang berjudul L‘Empire (1922), juga dalam buku The Golden Khersonese (1961)
yang ditulis oleh Prof. Paul Wheatley. Kedua karya itu menyandarkan
data-datanya pada keterangan para pengelana dari Timur Tengah yang
melakukan perjalanan ke wilayah Asia Tenggara. Baik Gabriel Ferrand
maupun Paul Wheatley sama-sama menyepakati bahwa sejak abad ke-7 Masehi,
pelabuhan-pelabuhan besar di Asia Tenggara, termasuk di kawasan Selat
Malaka, telah ramai dikunjungi oleh kaum musafir dan para saudagar yang
berasal dari Asia Barat. Disebutkan juga bahwa pada setiap kota-kota
dagang tersebut telah terdapat fondasi-fondasi atau
permukiman-permukiman dari para pedagang Islam yang singgah dan menetap
di situ.
H.
Mohammad Said, seorang jurnalis sekaligus penulis yang mendedikasikan
hidupnya untuk meneliti dan menerbitkan buku-buku hal ihwal Aceh,
termasuk tentang Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Aceh
Darussalam, cenderung menyimpulkan bahwa asal-muasal penamaan “Pasai”
berasal dari para pedagang Cina. Menurut Said, istilah “Po Se” yang
populer digunakan pada pertengahan abad ke-8 Masehi, seperti yang
terdapat dalam catatan-catatan dan laporan perjalanan pengelana dari
Cina, identik dan mirip sekali dengan penyebutan kata “Pase” atau
“Pasai” (Said, 1963:2004-205).
Ada pula pendapat yang menyebut bahwa nama “Pasai” berasal dari kata “tapasai”, yang artinya “tepi laut”. Kata “tapa” masih banyak dijumpai dalam bahasa-bahasa Polinesia yang berarti “tepi”. Kata “sai” dapat dimaknai sebagai “laut”, yang juga termasuk dalam kosa kata Melayu-Polinesia atau Nusantara. Kata “Pasai” adalah sinonim dari kata “pantai”. Begitu pula kata “samudera” yang
juga berarti “tidak jauh dari laut”. Jadi, baik “Samudera” atau “Pasai”
mengandung arti yang kurang lebih sama, yaitu “negara yang terletak di
tepi laut” (Slamet Muljana, 2005:136).
Nama
Samudera dan Pasai sering disebut-sebut dalam berbagai sumber yang
berhasil ditemukan, baik sumber yang berasal dari luar maupun
sumber-sumber lokal. Sumber-sumber dari luar nusantara yang kerap
menyebut keberadaan wilayah yang bernama Samudera dan Pasai antara lain
adalah laporan atau catatan perjalanan para musafir asal Cina, Arab,
India, maupun Eropa, yang pernah singgah ke wilayah Samudera Pasai.
Catatan-catatan perjalanan tersebut seperti yang ditulis oleh Marco
Polo, Odorico, Ibnu Batutah, Tome Pires, serta berita-berita dari Cina. Sedangkan sumber dari dalam negeri salah satunya seperti yang termaktub dalam kitab Negara Kertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis dalam kurun abad ke-13 sampai abad ke-14 Masehi.
Ibnu
Batutah, seorang pengembara muslim dari Maghribi, Maroko, misalnya,
dalam catatannya mengatakan bahwa ia sempat mengunjungi Pasai pada 1345
M. Ibnu Batutah, yang singgah di Pasai selama 15 hari, menggambarkan
Kesultanan Samudera Pasai sebagai “sebuah negeri yang hijau dengan kota
pelabuhannya yang besar dan indah.‘‘ Ibnu Batutah menceritakan, ketika
sampai di negeri Cina, ia melihat kapal Sultan Pasai di negeri itu.
Memang, sumber-sumber Cina ada yang menyebutkan bahwa utusan Pasai
secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti.
Catatan
pada Dinasti Mongol di Cina menunjukkan beberapa kerajaan di Sumatra,
termasuk Kerajaan Samudera/Pasai, sempat menjalin relasi dengan Kerajaan
Mongol yang berada di bawah komando Kubhilai Khan. Kerajaan
Samudera/Pasai mulai mengadakan hubungan dengan Dinasti Mongol pada
1282. Kerajaan Samudera/Pasai menjalin hubungan dengan imperium besar di
Asia itu melalui perutusan Cina yang kembali dari India Selatan dan
singgah di Samudera Pasai. Peristiwa ini dianggap sebagai permulaan
kontak antara Samudera Pasai dengan Cina/Mongol (Muhammad Gade Ismail,
1997:23).
Papan Makam Sultan Pertama Samudera Pasai
Informasi
lain juga menyebutkan bahwa Sultan Samudera Pasai pernah mengirimkan
utusan ke Quilon, India Barat, pada 1282 M. Ini membuktikan bahwa
Kesultanan Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan
kerajaan-kerajaan lain di luar negeri. Selain itu, dalam catatan
perjalanan berjudul Tuhfat Al-Nazha, Ibnu Batutah menuturkan, pada masa itu Pasai telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara.
Pencatat
asal Portugis yang pernah menetap di Malaka pada kurun 1512-1515, Tomi
Pires, menyebutkan bahwa Pasai adalah kota terpenting pada masanya untuk
seluruh Sumatra, karena tidak ada tempat lain yang penting di pulau itu
kecuali Pasai. Nama kota tersebut oleh sebagian orang disebut sebagai
Samudera dan kemudian lekat dengan nama Samudera Pasai serta menjadi
simbol untuk menyebut Pulau Sumatra. Kota Pasai, menurut catatan Tomi
Pires, ditaksir berpenduduk tidak kurang dari 20.000 orang (Ismail,
1997:37).
Marco Polo
melaporkan, pada 1267 Masehi telah berdiri kerajaan Islam pertama di
kepulauan nusantara, yang tidak lain adalah Kesultanan Pasai. Marco Polo
berkunjung ke Pasai pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih,
tepatnya tahun 1292 Masehi, ketika kerajaan ini belum lama berdiri namun
sudah memperlihatkan potensi kemakmurannya. Marco Polo singgah ke
Samudera Pasai dalam rangkaian perjalanannya dari Tiongkok ke Persia.
Kala itu, Marco Polo ikut dalam rombongan dari Italia yang melawat ke
Sumatra sepulang menghadiri undangan dari Kubilai Khan, Raja Mongol,
yang juga menguasai wilayah Tiongkok. Marco Polo menyebutkan, penduduk
di Pasai pada waktu itu masih banyak yang belum memeluk agama (Islam),
namun komunitas orang-orang Arab —yang disebut Marco dengan nama Saraceen—
sudah cukup banyak dan berperan penting dalam upaya mengislamkan
penduduk Aceh. Marco Polo menyebut kawasan yang disinggahinya itu dengan
nama “Giava Minor” atau “Jawa Minor” (H. Mohammad Said, 1963:82-83).
Selain
sumber-sumber tertulis dan catatan perjalanan dari kaum pengelana,
keterangan lain yang setidaknya dapat sedikit membantu dalam menguak
riwayat Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari sisa-sisa peradaban
yang ditinggalkan, seperti makam-makam kuno yang dibuat dari batu granit
atau pualam dan mata uang—bernama Deureuham atau Dirham— yang
ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh
Darussalam. Waktu wafatnya Sultan Malik As Salih, pendiri Kesultanan
Samudera Pasai, sendiri dapat diketahui dari tulisan yang tertera pada
sebuah nisan yang ditemukan di Blang Me, yakni tahun 697 Hijriah atau
bertepatan dengan tahun 1297 Masehi. Sedangkan kapan Malik Al Salih
dilahirkan belum ditemukan keterangan yang lebih jelas.
Mata Uang yang Berlaku di Samudera Pasai
Sumber-sumber
tentang asal-muasal Kesultanan Samudera Pasai versi sarjana-sarjana
Barat yang dirumuskan pada era pemerintahan kolonial Hindia Belanda
ternyata berbeda dengan apa yang diyakini tokoh-tokoh sejarawan dan
cendekiawan nasional pada masa setelah Indonesia merdeka. Dalam “Seminar
Sejarah Nasional” yang diselenggarakan di Medan, Sumatra Utara, tanggal
17-20 Maret 1963, maupun dalam seminar "Masuk dan Berkembangnya Islam
di Daerah Istimewa Aceh", yang digelar pada 10-16 Juli 1978 di Banda
Aceh, yang antara lain dihadiri oleh Prof Hamka, Prof A. Hasjmy, Prof
H. Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said, dan M.D. Mansoer, telah
dimunculkan perspektif yang berbeda dalam upaya menelisik riwayat
berdirinya Kesultanan Samudera Pasai.
Berdasarkan
sejumlah petunjuk dan sumber-sumber yang lebih baru, di antaranya dari
keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara serta dua
naskah lokal yang ditemukan di Aceh yakni "Idhahul Hak Fi Mamlakatil
Peureula" karya Abu Ishaq Al Makarany dan "Tawarich Raja-Raja Kerajaan
Aceh", para pakar sejarah nasional berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam
Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke-11, atau tepatnya tahun 433
Hijriah alias tahun 1042 dalam penanggalan Masehi (Sufi & Wibowo,
2005:52).
Mengenai
lokasi berdirinya Kesultanan Samudera Pasai, telah dilakukan juga
usaha-usaha penelitian dan penyelidikan, salah satunya upaya penggalian
yang dikerjakan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Dari upaya penyelidikan ini diketahui
bahwa lokasi Kesultanan Samudera Pasai terletak di daerah bernama Pasai,
yakni yang sekarang berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara, Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam.
Menurut
G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang serius menyelidiki
tentang sejarah Kesultanan Samudera Pasai, mengatakan bahwa letak Pasai
mula-mula berada di sebelah kanan Sungai Pasai, sementara Samudera
terletak di sisi kiri sungai. Namun, lama-kelamaan, kedua tempat ini
terhimpun menjadi satu dan kemudian dijadikan tempat berdirinya sebuah
kerajaan besar, yakni Kesultanan Samudera Pasai (T. Ibrahim Alfian,
1973:21).
b. Samudera, Pasai, dan Pengaruh Mesir
Terdapat
beberapa pendapat berbeda yang merumuskan serta menafsirkan tentang asal
muasal berdirinya Kesultanan Samudera Pasai. Salah satunya adalah
pendapat yang mengatakan bahwa Kesultanan Samudera Pasai merupakan
kelanjutan dari riwayat kerajaan-kerajaan pra Islam yang telah eksis
sebelumnya. Dalam buku berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara”, Slamet Muljana menulis
bahwa Nazimuddin Al Kamil, Laksamana Laut dari Dinasti Fathimiah di
Mesir, berhasil menaklukkan sejumlah kerajaan Hindu/Buddha yang terdapat
di Aceh dan berhasil menguasai daerah subur yang dikenal dengan nama
Pasai. Nazimuddin Al-Kamil kemudian mendirikan sebuah kerajaan di muara
Sungai Pasai itu pada 1128 Masehi dengan nama Kerajaan Pasai. Alasan
Dinasti Fathimiah mendirikan pemerintahan di Pasai didasarkan atas
keinginan untuk menguasai perdagangan di wilayah pantai timur Sumatra
yang memang sangat ramai.
Untuk
memuluskan ambisi itu, Dinasti Fathimiah mengerahkan armada perangnya
demi merebut Kota Kambayat di Gujarat, membuka kota pelabuhan di Pasai,
dan menyerang daerah penghasil lada yakni Kampar Kanan dan Kampar Kiri
di Minangkabau. Dalam ekspedisi militer untuk merebut daerah di
Minangkabau itu, Nazimuddin Al-Kamil gugur dan jenazahnya dikuburkan di
Bangkinang, di tepi Sungai Kampar Kanan pada 1128 itu juga (Muljana,
2005:133). Pada 1168, Dinasti Fathimiah, yang berdiri sejak tahun 976
Masehi, dikalahkan oleh tentara Salahuddin yang menganut madzhab
Syafi‘i. Dengan runtuhnya Dinasti Fathimiah, maka hubungan Pasai dengan
Mesir otomatis terputus.
Dalam
sumber yang sama disebutkan bahwa penerus Nazimuddin Al-Kamil sebagai
penguasa Kerajaan Samudera adalah Laksamana Kafrawi Al-Kamil, namun pada
1204 Masehi kekuasaan Kerajaan Pasai jatuh ke tangan Laksamana Johan
Jani dari Pulau We. Di bawah kendali Laksamana Johan Jani yang merupakan
peranakan India-Parsi, Kerajaan Pasai bertambah kuat dan sempat
menjelma menjadi negara maritim yang paling kuat di Nusantara (Muljana,
2005:114).
Di Mesir,
muncul dinasti baru untuk menggantikan Dinasti Fathimiah. Dinasti baru
itu adalah Dinasti Mamaluk yang hidup dalam rentang waktu dari tahun
1285 sampai dengan 1522. Seperti halnya pendahulunya, Dinasti Mamaluk
juga ingin menguasai perdagangan di Pasai. Pada tahun-tahun awal
berdirinya, Dinasti Mamaluk mengirim utusan ke Pasai, yakni seorang
pendakwah yang lama belajar agama Islam di tanah suci Mekkah bernama
Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad, bekas ulama dari Pantai Barat India.
Di Pasai,
kedua utusan ini bertemu dengan Marah Silu yang kala itu menjadi anggota
angkatan perang Kerajaan Pasai. Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad
berhasil membujuk Marah Silu untuk memeluk agama Islam. Selanjutnya,
dengan bantuan Dinasti Mamaluk di Mesir, mereka mendirikan Kerajaan
Samudera sebagai tandingan bagi Kerajaan Pasai. Marah Silu ditabalkan
menjadi Sultan Kerajaan Samudera. Baik Kerajaan Samudera maupun Kerajaan
Pasai, keduanya berada di muara Sungai Pasai dan menghadap ke arah
Selat Malaka.
c. Riwayat Samudera Pasai dalam Hikayat
Versi lain tentang riwayat muncul dan berkembangnya Kesultanan Samudera Pasai diperoleh dari sejumlah hikayat yang mengisahkan eksistensi kerajaan ini, terutama dalam Hikayat Raja Pasai. Menurut pengisahan yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai, kerajaan yang dipimpin oleh Sultan Malik Al Salih mula-mula bernama Kerajaan Samudera. Adapun Kerajaan Pasai adalah satu pemerintahan baru yang menyusul kemudian dan mengiringi eksistensi Kerajaan Samudera. Asal mula pemberian nama kedua kerajaan ini terdapat cerita yang melatarbelakanginya.
Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, munculnya nama Kerajaan Samudera bermula ketika Marah Silu sedang berjalan-jalan bersama anjing kesayangannya yang bernama Pasai. Ketika mereka tiba di suatu tanah tinggi, anjing milik Marah Silu tiba-tiba menyalak keras karena bertemu dengan seekor semut merah yang berukuran besar. Marah Silu kemudian menangkap semut raksasa tersebut dan lantas memakannya. Dari sini timbul ilhamnya untuk menamakan kerajaan yang baru didirikannya dengan nama Kerajaan Samudera yang dalam bahasa asalnya bisa diartikan sebagai “semut merah yang besar”.
Salinan Halaman Pertama Hikayat Raja Pasai
Sedangkan
mengenai asal mula Kerajaan Pasai, hikayat yang sama mencatat, pada
suatu hari, Marah Silu yang kala itu sudah bergelar Sultan Malik Al
Salih setelah memimpin Kerajaan Samudera, bersama para pengawalnya
sedang melakukan kegiatan perburuan di mana anjing sultan yang bernama
Pasai itu pun ikut serta. Terjadi suatu kejadian yang aneh ketika Pasai
dilepaskan ke dalam hutan dan bertemu dengan seekor pelanduk, kedua
binatang berbeda spesies itu saling bercakap-cakap dengan akrabnya.
Ketika Sultan Malik Al Salih hendak menangkapnya, pelanduk tersebut lari
ke pelukan anjing Sultan yang bernama Pasai itu. Dalam keheranannya,
Sultan Malik Al Salih kemudian berpikiran untuk membangun sebuah negeri
di tempat itu.
Setelah
negeri tersebut berdiri, oleh Sultan Malik Al Salih diberi nama Pasai,
seperti nama anjing kesayangannya yang menjadi inspirasi dibangunnya
negeri baru tersebut. Anjing itu sendiri kemudian mati di negeri baru
tersebut. Sebagai wakil Sultan Malik Al Salih yang tetap bersemayam di
Kerajaan Samudera, maka dititahkanlah putra Sultan yang bernama Muhammad
Malikul Zahir untuk memimpin Kerajaan Pasai (Russel Jones [ed.],
1999:23).
Meskipun cukup banyak peneliti yang menyandarkan Hikayat Raja Pasai sebagai
landasan sumber informasi untuk menguak sejarah dan asal-usul
Kesultanan Samudera Pasai, namun tidak sedikit pula yang meragukan
kebenarannya. Hal ini disebabkan karena hikayat bukanlah suatu rangkaian
catatan sejarah murni, melainkan banyak yang disisipi dengan
cerita-cerita yang belum tentu benar-benar terjadi, malah tidak jarang
kisah-kisah itu berupa mitos yang sukar diterima logika, sebagai
legitimasi pemerintahan kerajaan yang ada pada masa itu.
Keraguan atas kebenaran yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai tersebut antara lain seperti yang dikemukakan oleh A.D. Hill yang menyatakan bahwa dari teks Hikayat Raja Pasai ternyata hanya sepertiga bagian awal saja. Demikian pula dengan Teuku Ibrahim Alfian yang karena kecewa terhadap Hikayat Raja Pasai dalam
menyebutkan data sejarah, maka ia terpaksa mengambil informasi dari
sumber-sumber lain. Bahkan, Snouck Hugronje pernah menyebut bahwa Hikayat Raja Pasai adalah “a chlidren fairy story”. Pernyataan pedas Hugronje ini tampaknya merupakan suatu puncak kefatalan Hikayat Raja Pasai sebagai
sumber informasi terhadap sejarah. Data tersebut menujukkan bahwa
selama ini karya-karya tulis tersebut telah dilihat dalam dimensi
pragmatis lewat kajian historis atau pun filologis (Siti Chamamah
Soeratno, 2002:36).
d. Perjalanan Eksistensi Samudera Pasai
Sebelum
memeluk agama Islam, nama asli Malik Al Salih adalah Marah Silu atau
Meurah Silo. “Meurah” adalah panggilan kehormatan untuk orang yang
ditinggikan derajatnya, sementara “Silo” dapat dimaknai sebagai silau
atau gemerlap. Marah Silu adalah keturunan dari Suku Imam Empat atau
yang sering disebut dengan Sukee Imuem Peuet, yakni sebutan untuk
keturunan empat Maharaja/Meurah bersaudara yang berasal dari Mon Khmer
(Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh
sebelum masuk dan berkembangnya agama Islam.
Leluhur
yang mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Aceh tersebut di
antaranya adalah Maharaja Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan
Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang mengibarkan
bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan (Bireuen), Syahir Poli
(Pau-Ling) yang menegakkan panji-panji Kerajaan Sama Indra di Pidie,
serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya Kerajaan Indra Purba di
Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan
bahwa Marah Silu berayahkan Marah Gadjah dan ibunya adalah Putri
Betung. Marah Silu memiliki seorang saudara laki-laki bernama Marah Sum.
Sepeninggal orang tuanya, dua bersaudara ini meninggalkan kediamannya
dan mulai hidup mengembara. Marah Sum kemudian menjadi penguasa di
wilayah Bieruen, sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu Sungai
Peusangan yang terletak tidak jauh dari muara Sungai Pasai hingga
akhirnya ia menjadi pemegang tahta Kerajaan Samudera.
Batu Nisan Sultan Malik Al Salih
Seperti
yang telah disebutkan sebelumnya, Marah Silu alias Sultan Malik Al Salih
memeluk Islam atas bujukan utusan Dinasti Mamaluk dari Mesir, yakni
Syaikh Ismail dan Fakir Muhammad. Keislaman Marah Silu ditegaskan
kembali dalam Hikayat Raja Pasai dengan memberikan catatan bahwa
Nabi Muhammad telah menyebutkan nama Kerajaan Samudera dan juga agar
penduduk di kerajaan tersebut diislamkan oleh salah seorang sahabat
Nabi, dalam hal ini yang dimaksud adalah Syaikh Ismail. Dengan adanya
catatan dari hikayat ini, bukan tidak mungkin ajaran agama Islam sudah
masuk ke wilayah Aceh tidak lama setelah Nabi Muhammad wafat, yakni pada
sekitar abad pertama tahun Hijriah, atau sekitar abad ke-7 atau ke-8
tahun Masehi. Dapat diperkirakan pula bahwa agama Islam yang masuk ke
Aceh dibawa langsung dari Mekkah (Sufi & Wibowo, 2005:58-59).
Data-data tentang Islam di Pasai menurut Hikayat Raja Pasai menunjukkan bahwa Pasai adalah tempat pertama kali yang diislamkan. Tampaknya, demikian seperti yang ditulis dalam Hikayat Raja Pasai,
Nabi Muhammad (Rasulullah) pulalah yang membawa Islam ke
Samudera/Pasai, ialah dalam tatap muka di kala tidur antara Marah Silu
dengan Rasulullah. Nabi Muhammad pula yang mensyahdatkan dan membuat
Marah Silu dapat membaca Alquran sebanyak 30 juz, yakni sesudah
Rasulullah meludahi mulut Marah Silu. Rasulullah pula yang membuat Marah
Silu telah berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung Rasulullah
kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Pasai. Dalam proses inilah
Marah Silu tinggal dinobatkan sehingga proses Islamisasi dapat berjalan
dengan lancar (Chamamah, 2002:40).
Ketika
Malik Al Salih dinobatkan sebagai Sultan Kerajaan Samudera pertama,
upacara penobatan dilakukan dengan gaya Arab di mana Malik Al Salih
dinobatkan dengan mengenakan pakaian kerajaan anugerah dari Mekkah. Ini
berarti, penobatan dilakukan secara Arab, bukan dengan cara India.
Artinya lagi, Malik Al Salih kemungkinan besar sudah memeluk agama Islam
pada saat dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan Samudera. Setelah upacara
penobatan, sekalian hulubalang dan rakyat serta-merta menjunjung dan
menyembah sultan baru mereka dengan menyerukan: “Daulat Dirgahayu Syah
Alam Zilluilahi fil-alam”. Penyebutan gelar kehormatan kepada raja
tersebut juga sangat lekat dengan nama Arab.
Dalam
rangkaian upacara yang sama, juga telah ditetapkan dua Orang Besar,
sebagai penasehat Sultan, yakni Tun Sri Kaya dan Tun Sri Baba Kaya.
Aroma Islam semakin terasa ketika kedua Orang Besar ini kemudian diberi
gelar berkesan Arab, masing-masing dengan nama Sayid Ali Khiatuddin
untuk Tun Sri Kaya dan Sayid Asmayuddin untuk Tun Sri Baba Kaya (Said,
1963:85).
Sultan
Malik Al Salih menikah dengan Putri Ganggang Sari, keturunan Sultan
Aladdin Muhammad Amin bin Abdul Kadi dari Kerajaan Perlak. Dari
perkawinan ini, Sultan Malik Al Salih dikaruniai dua orang putra, yaitu
Muhammad dan Abdullah. Kelak, Muhammad dipercaya untuk memimpin Kerajaan
Pasai, bergelar Sultan Muhammad Malikul Zahir (Sultan Malik Al Tahir),
berdampingan dengan ayahandanya yang masih tegap memimpin Kerajaan
Samudera. Putra kedua Sultan Malik Al Salih, Abdullah, memilih keluar
dari keluarga besar Kerajaan Samudera dan Pasai, dengan mendirikan
pemerintahan sendiri Kesultanan Aru Barumun pada 1295.
Di bawah
pimpinan Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai mengalami masa
kejayaan. Ibnu Batutah merekam masa-masa keemasan yang dicapai Kerajaan
Pasai pada era pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Zahir ini. Ibnu
Batutah mencatat bahwa tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu
subur. Aktivitas perdagangan dan bisnis di kerajaan itu sudah cukup
maju, dibuktikan dengan sudah digunakannya mata uang, termasuk mata uang
yang terbuat dari emas, sebagai alat transaksi dalam kehidupan ekonomi
warga Kerajaan Pasai. Selain menjalin kongsi dengan negara-negara dari
luar Nusantara, hubungan dagang dengan pedagang-pedagang dari Pulau Jawa
pun begitu baik. Bahkan, para saudagar Jawa mendapat perlakuan yang
istimewa karena mereka tidak dipungut pajak. Biasanya, kaum pedagang
dari Jawa menukar beras dengan lada.
Makam Sultan Muhammad Malikul Zahir
Ibnu
Batutah mengisahkan, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar
(sekarang masuk wilayah Myanmar), ia mendarat di sebuah tempat yang
sangat subur. Ibnu Batutah tidak bisa menutupi rasa kagumnya begitu
berkeliling kota pusat Kerajaan Pasai. Ia begitu takjub melihat sebuah
kota besar yang sangat elok dengan dikelilingi dinding yang megah. Ibnu
Batutah mencatat bahwa ia harus berjalan sekitar empat mil dengan naik
kuda dari pelabuhan yang disebutnya Sahra untuk sampai ke pusat
kota. Pusat pemerintahan kota itu cukup besar dan indah serta dilengkapi
dengan menara-menari yang terbuat dari kayu-kayuan kokoh. Di pusat kota
ini, tulis Ibnu Batutah, terdapat tempat tinggal para penguasa dan
bangsawan kerajaan. Bangunan yang terpenting ialah Istana Sultan dan
masjid (Ismail, 1997:37).
Di dalam
pagar yang mengelilingi kota, terdapat tempat tinggal para penguasa dan
bangsawan kerajaan yang dilindungi oleh rakyat di luar pagar. Semua
kehidupan komersial di kota, para pendatang baru dari desa, orang-orang
asing, para pengrajin, dan segala aktivitas urban lainnya ditempatkan di
luar pagar di sekeliling pusat kota. Orang-orang asing seringkali tidak
diizinkan menetap dalam jarak tertentu dari Istana Sultan, bahkan
adakalanya mereka harus tinggal di luar kota.
Apabila
penjelasan dari Ibnu Batutah ini dianggap benar, maka dapatlah dikatakan
bahwa Kota Pasai sebagai pusat pemerintahan sultan-sultan yang berkuasa
di Pasai, pada tengah-tengah areal terdapat suatu daerah inti yang
ditempati oleh Istana Sultan. Istana tersebut memiliki pagar yang
berfungsi sebagai batas yang membedakan kawasan Istana Sultan dengan
kawasan pasar di mana aktivitas perdagangan dan kegiatan lainnya
berlangsung.
Masih
menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan
sosok pemimpin yang memiliki gairah belajar yang tinggi dalam menuntut
ilmu-ilmu Islam. Batutah juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun
di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit
kerajaan. Ibnu Batutah bahkan memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul
Zahir sebagai salah satu dari tujuh raja di dunia yang memiliki
kelebihan luar biasa. Ketujuh raja yang memiliki kemampuan luar biasa
menurut Ibnu Batutah antara lain Raja Melayu Sultan Muhammad Malikul
Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, Raja Romawi
yang sangat pemaaf, Raja Iraq yang berbudi bahasa, Raja Hindustani yang
sangat ramah, Raja Yaman yang berakhlak mulia, Raja Turki yang gagah
perkasa, serta Raja Turkistan yang bijaksana.
Kesan Ibnu
Batutah terhadap sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir memang begitu
mendalam. Sebagai raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang
yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian
terhadap fakir miskin. Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan,
Sultan Muhammad Malikul Zahir tidak pernah bersikap jumawa. Sultan ini,
kata Batutah, adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum
Islam. “Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk
shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, Sultan dan rombongan
biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” begitu Ibnu
Batutah menggambarkan sosok Sultan Muhammad Malikul Zahir. Kerendahan
hati sang Sultan tersebut salah satunya ditunjukkan saat menyambut
rombongan Ibnu Batutah (Republika, 21 Mei 2008).
Di masa
keemasannya, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Samudera menjelma menjadi pusat
perdagangan internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu ramai
dikunjungi para pedagang dan saudagar dari berbagai benua seperti, Asia,
Afrika, Cina, dan Eropa. Wilayah di mana Kerajaan Samudera dan Pasai
berdiri, yakni di kawasan Selat Malaka, memang merupakan bandar niaga
yang sangat strategis. Pada saat itu, kawasan Selat Malaka merupakan
jalur perdagangan laut yang sering menjadi lokasi transaksi dan
disinggahi para saudagar dari berbagai penjuru bumi, seperti dari Siam
(Thailand), Cina, India, Arab, hingga Persia (Iran).
Di samping
sebagai pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga merupakan
pusat perkembangan agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan pertama
di Nusantara yang menganut ajaran Islam. Kejayaan Kesultanan Samudera
dan Kesultanan Pasai yang berlokasi di daerah Samudera Geudong, Aceh
Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah
Perlak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Dalam kurun abad ke-13
hingga awal abad ke-16, Pasai merupakan wilayah penghasil rempah-rempah
terkemuka di dunia, dengan lada sebagai salah satu komoditas andalannya.
Setiap tahunnya, Pasai mampu mengekspor lada dengan produksi yang cukup
besar. Tak cuma itu, Pasai pun merupakan produsen komoditas lainnya
seperti sutra, kapur barus, dan emas.
Sultan
Muhammad Malikul Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul Mahmud
dan Malikul Mansur. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya
meninggal dunia karena sakit, tampuk kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk
sementara diserahkan Sultan Malik Al Salih, yang juga memimpin Kerajaan
Samudera, karena kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir masih berusia
sangat belia. Oleh Sultan Malik Al Salih, kedua cucunya itu diserahkan
kepada tokoh-tokoh yang piawai supaya mereka dapat dengan baik memimpin
kerajaan pada suatu saat nanti. Malikul Mahmud diserahkan kepada Sayid
Ali Ghiatuddin, sementara Malikul Mansur dididik oleh Sayid
Semayamuddin.
Ketika
kedua pangeran ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap memimpin
pemerintahan, maka Sultan Malik Al Salih pun mengundurkan diri dari
singgasananya yang meliputi dua kerajaan, yakni Kerajaan Samudera dan
Kerajaan Pasai. Sebagai gantinya, sesuai dengan kesepakatan Orang-Orang
Besar, diangkatlah Malikul Mahmud menjadi Sultan Kerajaan Pasai,
sementara Malikul Mansur sebagai Sultan Kerajaan Samudera. Namun,
keharmonisan kedua sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung lama
karena terjadi perseteruan di antara mereka. Penyebabnya adalah ulah
Sultan Mansur yang ternyata menggilai salah seorang istri Sultan Mahmud
yang tidak lain adalah abang kandungnya sendiri. Pada akhirnya, Sultan
Mansur ditangkap dan diusir dari kerajaannya hingga kemudian meninggal
dunia dalam perjalanan. Jadilah Sultan Malikul Mahmud menguasai
singgasana Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai hingga digabungkanlah
kedua kerajaan itu menjadi Kesultanan Samudera Pasai.
Sejak
tahun 1346, kepemimpinan Kesultanan Samudera Pasai di bawah rezim Sultan
Malikul Mahmud digantikan oleh anaknya yang bernama Ahmad Permadala
Permala. Setelah dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Samudera Pasai,
ia kemudian dianugerahi gelar kehormatan dengan nama Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir. Dalam Hikayat Raja Pasai dikisahkan, Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir dikaruniai lima orang anak, tiga orang di antaranya laki-laki
sementara dua sisanya adalah anak perempuan. Tiga putra Sultan Ahmad
Malik Az-Zahir masing-masing bernama Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil,
serta Tun Abdul Fadil. Sedangkan dua anak perempuannya diberi nama Tun
Medam Peria dan Tun Takiah Dara.
Sempat
terjadi hal yang sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir yang pada akhirnya memang lekat dengan citra
sebagai pemimpin yang buruk. Menurut Hikayat Raja Pasai, Sang
Sultan ternyata menaruh berahi terhadap kedua anak perempuannya sendiri,
yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara. Sikap yang keterlaluan dari
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir ini tentu saja menimbulkan kemurkaan dari
banyak pihak, termasuk Tun Beraim Bapa yang tidak lain adalah putra
sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.
Tun Beraim
Bapa sekuat tenaga melindungi kedua saudara perempuannya dari kebuasan
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir dengan melarikan mereka untuk diamankan di
suatu tempat. Merasa ditentang oleh anaknya sendiri, Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir naik pitam dan kemudian memerintahkan pengawalnya untuk
membunuh Tun Beraim Bapa. Pangeran yang seharusnya menjadi putra mahkota
ini akhirnya tewas setelah memakan racun yang diberikan utusan sang
ayah (Jones [ed.], 1999:35-56). Tidak lama kemudian, kedua saudara
perempuan Tun Beraim Bapa pun menyusul abangnya dengan memakan racun
yang sama.
Keganasan
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir belum berhenti sampai di situ. Sang Sultan
kembali berulah biadab ketika mendengar kabar bahwa ada seorang putri
dari Kerajaan Majapahit, Radin Galuh Gemerencang, jatuh cinta kepada
putra kedua Sultan Ahmad Malik Az-Zahir, yakni Tun Abdul Jalil. Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir merasa terhina karena ia sendiri juga menaruh hati
pada kecantikan putri Raja Majapahit tersebut. Maka kemudian, seperti
yang termaktub dalam Hikayat Raja Pasai, Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir kembali memberikan mandat kepada anak buahnya untuk menghabisi
nyawa Tun Abdul Jalil dan ketika rencana itu berhasil, mayat Tun Abdul
Jalil ditenggelamkan ke laut. Sementara itu, oleh sebab rasa cinta yang
tidak tertahankan, Radin Galuh Gemerencang bertekad pergi ke Pasai
bersama para pengawalnya untuk menemui Tun Abdul Jalil.
Sesampainya
di Pasai, rombongan dari Majapahit itu mendapat kabar bahwa pujaan hati
Radin Galuh Gemerencang sudah tewas, dibunuh oleh ayahnya sendiri. Sang
Putri tidak kuasa menahan sedih dan kemudian menenggelamkan diri ke
dalam laut di mana jenazah Tun Abdul Jalil telah dibenamkan sebelumnya.
Sisa rombongan pengawal yang mengiringi Radin Galuh Gemerencang segera
kembali ke Jawa dan melapor kepada Raja Majapahit tentang kejadian
tragis tersebut.
Sang Raja
tentu saja murka mendengar kematian putrinya serta kebiadaban Sultan
Pasai itu, dan kemudian segera menitahkan kepada bala tentara Majapahit
untuk bersiap menyerang Kerajaan Pasai. Meski sempat memberikan
perlawanan, ternyata armada perang Kerajaan Majapahit lebih unggul dan
berhasil menduduki Pasai. Karena semakin terdesak, Sultan Ahmad Malik
Az-Zahir melarikan diri ke suatu tempat bernama Menduga, yang terletak
kira-kira lima belas hari perjalanan dari Negeri Pasai.
Sementara
itu, seusai meraih kemenangan gemilang dengan menaklukkan Pasai, pasukan
perang Majapahit mulai bersiap untuk kembali ke Jawa setelah sebelumnya
mengambil harta rampasan dan tawanan perang dari Pasai. Dalam
perjalanan menuju Jawa, laskar tentara Majapahit terlebih dahulu singgah
di Palembang dan Jambi untuk menaklukkan kedua negeri itu, sekaligus
membawa barang jarahan yang semakin banyak. Demikianlah kisah penaklukan
oleh Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Pasai seperti yang dikisahkan
dalam kitab Hikayat Raja Pasai (Jones [ed.], 1999:57-65).
Dalam
silsilah para penguasa yang memimpin Kesultanan Samudera Pasai, ternyata
terdapat sultan perempuan yang pernah bertahta di kerajaan besar
tersebut. Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah) Malikul Zahir bertahta dari
tahun 1420 hingga 1428 atau kurang lebih delapan tahun lamanya. Sultanah
Nahrasiyah memiliki penasehat bernama Ariya Bakooy dengan gelar
Maharaja Bakooy Ahmad Permala. Ariya Bakooy sebenarnya merupakan sosok
kontroversial. Ia pernah diperingatkan kaum ulama agar tidak mengawini
puterinya sendiri namun peringatan itu ditentangnya. Bahkan, Ariya
Bakooy kemudian malah membunuh 40 ulama. Ariya Bakooy akhirnya tewas di
tangan Malik Musthofa yang bergelar Pocut Cindan Simpul Alam, yang tidak
lain adalah suami Sultanah Nahrasiyah, dengan bantuan Sultan Mahmud
Alaiddin Johan Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam (1409-1465).
Sultanah
Nahrasiyah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa besar. Hal
ini dibuktikan dengan hiasan makamnya yang sangat istimewa. Pada
nisannya, tertulis nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: ”Inilah
kubur wanita yang bercahaya yang suci ratu yang terhormat, almarhum yang
diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra
Sultan Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada
mereka itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya. Mangkat dengan
rahmat Allah pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832.” (Pocut Haslinda Hamid
Azwar, www.modusaceh-news.com, 2009).
Pemugaran Kompleks Makam Sultanah Nahrasiyah (Nahrisyyah)
e. Keruntuhan dan Peninggalan Peradaban Samudera Pasai
Kejayaan
Kesultanan Samudera Pasai mulai mengalami ancaman dari peradaban
terbesar di Jawa waktu itu, yakni dari Kerajaan Majapahit dengan Gadjah
Mada sebagai mahapatihnya yang paling legendaris. Gadjah Mada diangkat
sebagai patih di Kahuripan pada periode 1319-1321 Masehi oleh Raja
Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara. Pada 1331, Gadjah Mada
naik pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin oleh Ratu
Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih
Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa,
yaitu bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah palapa sebelum seluruh
Nusantara berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Mahapatih
Gadjah Mada rupanya sedikit terusik mendengar kabar tentang kebesaran
Kesultanan Samudera Pasai di seberang lautan sana. Majapahit khawatir
akan pesatnya kemajuan Kesultanan Samudera Pasai. Oleh karena itu
kemudian Gadjah Mada mempersiapkan rencana penyerangan Majapahit untuk
menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan tentara
Majapahit, yang menganut agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam
Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi
Pamalayu armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih
Gadjah Mada memulai aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan.
Serangan
awal yang dilakukan Majapahit di perbatasan Perlak mengalami kegagalan
karena lokasi itu dikawal ketat oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai.
Namun, Gadjah Mada tidak membatalkan serangannya. Ia mundur ke laut dan
mencari tempat lapang di pantai timur yang tidak terjaga. Di Sungai
Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya dan mendirikan benteng di atas
bukit, yang hingga sekarang dikenal dengan nama Bukit Meutan atau Bukit
Gadjah Mada (Muljana, 2005:140).
Selanjutnya,
Gadjah Mada menjalankan siasat serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan
laut dan jurusan darat. Serangan lewat laut dilancarkan terhadap
pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan penyerbuan melalui jalan
darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di antara Perlak dan
Pedawa. Serangan dari darat tersebut ternyata mengalami kegagalan karena
dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara serangan
yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai istana.
Wilayah Kekuasaan Imperium Majapahit, termasuk Samudera Pasai
Selain
alasan faktor politis, serangan Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga
karena faktor kepentingan ekonomi. Kemajuan perdagangan dan kemakmuran
rakyat Kesultanan Samudera Pasai telah membuat Gadjah Mada berkeinginan
untuk dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit dalam rangka
menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan
Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu bertahan sebelum akhirnya
perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh Majapahit
di Selat Malaka.
Hingga
menjelang abad ke-16, Samudera Pasai masih dapat mempertahankan
peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan perdagangan dengan
luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya pada
perkembangan ekonomi mencatat bahwa Pasai pernah menempati kedudukan
sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di nusantara semenjak
peranan Kedah berhasil dipatahkan (Said, 1963:125).
Namun
kemudian, peranan Pasai yang sebelumnya sangat penting dalam arus
perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan dunia mengalami kemerosotan
dengan munculnya bandar perdagangan Malaka di Semenanjung Melayu
(Ismail, 1997:24). Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam bidang
perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah
Malaka dibangun, kota itu dalam waktu yang singkat segera dibanjiri
perantau-perantau dari Jawa.
Akibat
kemajuan pesat yang diperoleh Malaka tersebut, posisi dan peranan Pasai
kian lama semakin tersudut, nyaris seluruh kegiatan perniagaannya
menjadi kendor dan akhirnya benar-benar patah di tangan Malaka sejak
tahun 1450. Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang berambisi
menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang
pada 1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera Pasai (Rusdi Sufi,
2004:57).
Tidak
hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai semakin lemah ketika di Aceh
berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis menjadi sebuah peradaban
yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni Kerajaan Aceh
Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kesultanan Aceh
Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing kerajaan-kerajaan yang
pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan Indra Purba,
Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan Indrapura. Pada
1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran
Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh.
Sejak saat itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa
Kesultanan Aceh Darussalam.
Jejak-jejak
peninggalan peradaban Kesultanan Samudera Pasai yang berhasil
ditemukan, pada 1913 dan 1915 oleh seorang ilmuwan Belanda bernama J.J.
de Vink, yang berinisiatif mengadakan inventarisasi di bekas peninggalan
Samudera Pasai. Selanjutnya, pada 1937 telah dilakukan upaya pemugaran
pada beberapa makam sultan-sultan Samudera Pasai oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda. Kemudian, tahun 1972, 1973, serta tahun 1976
peninggalan Kesultanan Samudera Pasai yang ditemukan di Kecamatan
Samudera Geudong, Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, telah
diinventarisasi oleh Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Perkembangan
terbaru, dalam tahun 2009 telah ditemukan beberapa peninggalan yang
terkait dengan sejarah Kesultanan Samudera Pasai. Pada bulan Maret 2009,
Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam memberitahukan bahwa mereka telah
menemukan makam Al Wazir Al Afdal, yang pernah menjabat sebagai Perdana
Menteri Kesultanan Samudera Pasai. Makam itu berlokasi di Desa Teupin
Ara, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam.
Al Wazir
Al Afdhal diketahui pernah menjabat sebagai perdana menteri pada masa
pemerintahan rezim Samudera Pasai yang terakhir, Sultan Zain Al Abidin
atau yang sering dikenal juga dengan nama Sultan Zainal Abidin, yang
memerintah selama dua periode, yakni pada kurun 1477-1500 dan 1513-1524.
Dari penemuan itu diperoleh keterangan bahwa Al Wazir Al Afdal wafat
tanggal 7 bulan Zulkaedah tahun 923 H atau 1518 M. Di tahun yang sama,
Sultan Zainal Abidin pun wafat. Pada nisan makam Al Wazir Al Afdal,
terdapat syair yang menjelaskan tentang kezuhudan bahwa dunia ini fana,
tak ubahnya seperti sarang yang dirajut laba-laba. Syair tersebut sama
dengan yang tertulis pada makam Sultan Malik Al Salih yang mengungkapkan
tenggelamnya peradaban Samudera Pasai (www.indowarta.com, 25 Maret 2009).
Pada
kesempatan yang sama, Tim Peneliti Sejarah Kebudayaan Islam juga
menyatakan telah menemukan sebuah stempel atau cap yang diperkirakan
berusia 683 tahun. Stempel kerajaan yang ditengarai milik Sultan
Muhammad Malikul Zahir, sultan kedua Samudera Pasai, ini ditemukan tidak
jauh dari makam Abdullah bin Muhammad, di Desa Kuta Krueng, Kecamatan
Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Abdullah bin Muhammad (wafat 816 H/1414
M) sendiri adalah salah seorang keturunan Khalifah Abbasiyah,
Al-Mustanshir Billah, yang bergelar Shadr Al Akabir (pemuka para
pembesar) di Kesultanan Samudera Pasai pada waktu itu.
Stempel
yang ditemukan telah patah pada bagian gagangnya tersebut berukuran 2×1
centimeter, dan tampaknya terbuat dari bahan sejenis tanduk hewan. Dari
lokasi ditemukannya di Kuta Krueng, diperkirakan cap ini telah digunakan
sampai dengan masa pemerintahan pemimpin terakhir Samudera Pasai,
Sultan Zainal Abidin (www.acehlong.com, 17 Maret 2009).
Selanjutnya,
pada Juni 2009, tim peneliti dari Yayasan Waqaf Nurul Islam (YWNI)
Lhokseumawe mengumumkan bahwa mereka telah menemukan makam yang diyakini
sebagai tempat persemayaman terakhir Raja Kanayan, seorang panglima
perang pada pemerintahan Sultan Zain Al-Abidin. Makam Raja Kanayan
ditemukan di Desa Meunasah Ujoung Blang Me, Kecamatan Samudera,
Kabupaten Aceh Utara. Berdasarkan penelitian, diketahui bahwa Raja
Kanayan wafat pada hari Jum‘at, tanggal 3 Sya‘ban 872 H atau 1468
Masehi. Dengan demikian, Raja Kanayan telah hidup pada masa pemerintahan
beberapa rezim Kesultanan Samudera Pasai dan meninggal dunia pada masa
Sultan Zainal Abidin.
Selain
makam Raja Kanayan, ditemukan pula beberapa makam lainnya. Bahkan, tim
peneliti memprediksi masih ada nisan-nisan lain yang amblas ke dalam
tanah di kompleks makam yang terletak tidak jauh dari tepi Sungai Pasai
sebelah timur itu. Makam-makam yang baru ditemukan tersebut belum
tercatat dalam inventaris situs sejarah Dinas Kebudayaan (www.waspadaonline.com, 20 Juni 2009).
Terakhir,
pada Agustus 2009, Lembaga Penelitian Sejarah Islam (LePSI) Lhokseumawe
mengungkapkan bahwa mereka sedang mengkaji naskah surat Sultan Zainal
Abidin, wafat tahun 923 Hijriah atau 1518 Masehi. Surat itu ditujukan
kepada Kapitan Moran yang bertindak atas nama wakil Raja Portugis di
India. Fotografi naskah tersebut dapat disaksikan di Museum Negeri Aceh,
sementara naskah aslinya tersimpan di Lisabon, Portugal.
Naskah
tersebut memberikan banyak informasi sejarah tentang ihwal Samudera
Pasai di awal abad ke-16, terutama menyangkut kondisi terakhir yang
dialami kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara ini, setelah Portugis
berhasil menguasai Malaka pada 1511 Masehi. Naskah surat berbahasa Arab
itu juga mencantumkan nama beberapa negeri atau kerajaan yang punya
hubungan erat dengan Samudera Pasai sehingga dapat diketahui pengejaan
asli dari nama-nama negeri atau kerajaan tersebut, antara lain Nergeri
Fariyaman (Pariaman) dan Mulaqat (Malaka) (www.waspadaonline.com, 21 Agustus 2009).
Silsilah Raja-Raja
Berikut nama-nama sultan/sultanah yang diketahui pernah memimpin Kesultanan Samudera Pasai:
- Sultan Malik Al-Salih (1267—1297)
- Sultan Muhammad Malikul Zahir
- Sultan Malikul Mahmud
- Sultan Malikul Mansur
- Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346—1383)
- Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir (1383—1405)
- Sultanah Nahrasiyah atau Sultanah Nahrisyyah (1420—1428)
- Sultan Sallah Ad-Din (1402)
- Sultan Abu Zaid Malik Az-Zahir 1455)
- Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1455—1477)
- Sultan Zain Al-Abidin (1477—1500)
- Sultan Abdullah Malik Az-Zahir (1501—1513)
- Sultan Zain Al-Abidin (1513—1524)
Silsilah Sultan/Sultanah Kesultanan Samudera Pasai Menurut Hikayat Raja Pasai.
Sultan Malik Al Salih memimpin Kesultanan Samudera, sementara putranya, Sultan Muhammad Malikul Zahir adalah penguasa Kesultanan Pasai. Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir wafat, pemerintahan Kesultanan Pasai dipegang oleh Sultan Malik Al Salih untuk sementara sembari menunggu kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir, yakni Malikul Mahmud dan Malikul Mansur, beranjak dewasa. Setelah kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir tersebut dinilai mampu untuk menjadi pemimpin, Sultan Malik Al Salih mengundurkan diri dari sebagai sultan dari kedua kerajaan yang dipimpinnya tersebut.
Selanjutnya, Sultan Malik Al Salih menyerahkan kendali pemerintahan kepada kedua cucunya tersebut, masing-masing Kesultanan Pasai kepada Malikul Mahmud serta Kesultanan Samudera kepada Malikul Mansur. Masa periode pemerintahan ketiga sultan, yaitu Sultan Muhammad Malikul Zahir, Sultan Malikul Mahmud, dan Sultan Malikul Mansur, sengaja tidak disebutkan karena masih terdapat beberapa kejanggalan mengenai hal tersebut, termasuk yang tercatat dalam Hikayat Raja Pasai.
Kesimpang-siuran mengenai periode pemerintahan masing-masing sultan/sultanah menjadi kendala tersendiri, dan karena itulah kurun tahun yang dicantumkan dalam daftar di atas merupakan interpretasi dari beberapa informasi yang berhasil ditemukan. Demikian pula dengan penyebutan nama atau gelar dari masing-masing sultan/sultanah yang ternyata ditemukan banyak sekali versinya. Selain itu, ketidaklengkapan informasi mengenai siapa saja sultan/sultanah yang pernah memerintah Kesultanan Samudera Pasai secara urut dan runtut juga menimbulkan permasalahan lain karena belum tentu apa yang ditulis dalam silsilah di atas mencatat semua penguasa yang pernah bertahta di Kesultanan Samudera Pasai.
Wilayah Kekuasaan
Pada kurun abad ke-14, nama Kesultanan Samudera Pasai sudah sangat
terkenal dan berpengaruh serta memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas.
Armada perang yang kuat sangat mendukung Kesultanan Samudera Pasai untuk
semakin melebarkan sayap kekuasaannya, baik dengan tujuan menguasai dan
menduduki wilayah kerajaan lain ataupun demi mengemban misi menyebarkan agama
Islam. Wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai pada masa kejayaannya
terletak di daerah yang diapit oleh dua sungai besar di Pantai Utara Aceh, yaitu
Sungai Peusangan dan Sungai Pasai. Daerah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai
tersebut juga meliputi Samudera Geudong (Aceh Utara), Meulaboh, Bireuen, serta
Rimba Jreum dan Seumerlang (Perlak).
Sementara itu, ada pula yang menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera Pasai meliputi wilayah yang lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu hingga ke muara Sungai Jambu Ayer (Ismail, 1997:7). Yang jelas, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai melingkupi sepanjang aliran sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman Dataran Tinggi Gayo, sekarang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam. Kesultanan Samudera Pasai juga berhasil meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh. Beberapa daerah luar yang menjadi negeri taklukan Kesultanan Samudera Pasai antara lain Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, bahkan hingga mencapai beberapa kerajaan di pesisir pantai di Jawa (Sufi & Wibowo, 2005:61).
Sistem Pemerintahan
Sementara itu, ada pula yang menganut pendapat bahwa wilayah Kesultanan Samudera Pasai meliputi wilayah yang lebih luas lagi ke sebelah selatan, yaitu hingga ke muara Sungai Jambu Ayer (Ismail, 1997:7). Yang jelas, luas wilayah kekuasaan Kesultanan Samudera Pasai melingkupi sepanjang aliran sungai yang hulu-hulunya berasal jauh di pedalaman Dataran Tinggi Gayo, sekarang berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam. Kesultanan Samudera Pasai juga berhasil meluaskan wilayahnya ke luar dari bumi Aceh. Beberapa daerah luar yang menjadi negeri taklukan Kesultanan Samudera Pasai antara lain Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, bahkan hingga mencapai beberapa kerajaan di pesisir pantai di Jawa (Sufi & Wibowo, 2005:61).
Sistem Pemerintahan
Komposisi masyarakat yang menjadi warga Kesultanan Samudera Pasai menunjukkan sifat yang berlapis-lapis. Menurut Ayatrohaedi, lapisan itu terdiri atas Sultan dan Orang-Orang Besar kerajaan pada lapisan atas sampai dengan hamba sahaya pada lapisan yang paling bawah (Ayatrohaedi, 1992). Pada lapisan kelompok birokrasi terlihat adanya kelompok Orang-Orang Besar, perdana menteri, menteri, tentara, pegawai, dan kaum bangsawan kerajaan yang lainnya.
Adanya orang-orang yang bergerak dalam perdagangan, misalnya orang-orang yang berniaga, orang berlayar, orang pekan, nahkoda, dan lain-lainnya. Kendati jumlah populasi orang-orang Arab yang berdiam di Pasai tidak sebanyak orang-orang dari India, namun kalangan orang Arab sangat berpengaruh dalam jalannya pemerintahan kerajaan, bahkan atas kebijakan Sultan Pasai sekalipun. Keadaan ini terlihat sejak masa awal terbentuknya Kesultanan Pasai dan berlangsung lama hingga nama kerajaan ini berubah menjadi Kesultanan Samudera Pasai.
Pada masa pemerintahan Sultan Malik Al Salih sebagai penguasa pertama di Kesultanan Pasai, terdapat sejumlah Orang-Orang Besar di negeri itu, antara lain Tun Sri Kaya dan Tun Baba Kaya. Nama-nama itu jelas menunjukkan kedudukan mereka yang dinamakan Orang-Orang Besar tersebut. Hal ini sesuai dengan penyebutan Orang-Orang Besar kerajaan di Semenanjung Melayu dan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai Orang Kaya (Ismail, 1997:39).
Kedua Orang Besar yang ikut mengontrol jalannya pemerintahan di Kesultanan Pasai itu masing-masing kemudian diberi gelar Sayid Ali Ghitauddin dan Sayid Asmayuddin, seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada bagian keislaman Marah Silu atau Sultan Malik Al Salih. Dalam hikayat digambarkan dengan jelas bahwa Orang-Orang Besar itu disebutkan sebagai perdana menteri, satu untuk Kesultanan Pasai dan seorang lagi untuk Kesultanan Samudera. Kedudukan mereka yang sangat penting di sana berlangsung sejak rezim Sultan Malik Al Salih sampai era pemerintahan cucunya yaitu Malikul Mahmud dan Malikul Mansur.
Salah Satu Manuskrip yang Menunjukkan Keberadaan Pasai
Di masa kedua cucu Sultan Malik Al Salih itu berkuasa di masing-masing kerajaannya, terjadi sengketa di antara keduanya, yakni ketika Malikul Mansur melakukan perbuatan yang tidak senonoh terhadap salah seorang istri Malikul Mahmud. Mengetahui perbuatan hina saudaranya itu, Sultan Malikul Mahmud sempat berucap bahwa sekiranya ia tidak menghormati Sayid Asmayuddin, yang menjadi penasehat Sultan Malikul Mansur di Kesultanan Samudera, niscaya Sultan Malikul Mahmud sudah membunuh saudaranya sendiri atas perbuatan hina yang tidak termaafkan. Fragmen ini sudah cukup membuktikan bahwa betapa kuatnya pengaruh Orang-Orang Besar tersebut dalam ikut mengendalikan roda pemerintahan kerajaan, bahkan sampai pada tingkat mempengaruhi kondisi personal dan psikis Sultan.
Pada era kepemimpinan yang berikutnya, yakni di bawah rezim Sultan Ahmad Malik Az-Zahir (1346-1383), pemerintahan Kesultanan Samudera Pasai dikawal oleh empat orang perdana menteri, yang masing-masing bernama Tulus Agung Tukang Sukara, Baba Mentuha, Sulaiman Dendang Air, dan Tun Syah Alam Kota (Jones [ed.], 1999:36). Masih sama seperti pada masa-masa sebelumnya, keempat perdana menteri tersebut menjalankan fungsinya sebagai penasehat Sultan dan ikut mempengaruhi kebijakan kerajaan kendati keputusan akhir masih tetap berada di tangan Sultan Samudera Pasai. Kehidupan sosial dan politik warga Kesultanan Samudera Pasai sangat diwarnai oleh unsur agama dan kebudayaan Islam. Pemerintahannya bersifat teokrasi (berdasarkan ajaran Islam) dan sebagian besar rakyatnya memeluk agama Islam (Iswara NR/Ker/01/10-2009).
SUMBER REFERENSI :
http://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Samudera_Pasai
http://fore-gone.blogspot.com/2013/02/kesultanan-samudera-pasai.html
0 #type=(blogger):
Posting Komentar